Bahan-bahan: 600 gr kaki sapi 100 gr daging sandung lamur, potong2 3000 ml air 10 buah cabe rawit, haluskan 4 1/2 sdt garam 2 1/2 sdt gula pasir 2 mata asam jawa Langkah Rebus air, kaki sapi, dan daging sampai daging matang dan empuk. Masukkan cabe rawit, garam dan gula pasir. Masak sampai mendidih. Menjelang diangkat, masukkan asam. Didihkan. Sajikan panas.
Bahan-bahan: 250 gram teri halus 5 buah bawang merah Cabe rawit sesuai selera (saya pakai kisaran 20 buah) 4 buah tomat buah diiris tipis2 Minyak untuk menumis Langkah: Goreng teri hingg mateng (tanda mateng mulai menguning) angkat dan sisihkan Cincang kasar bawang merah lalu sisihkan Ulek cabe rawit lalu sisihkan Potong tomat secara memanjang dan tipis. Tumis bawah merah hingga harum dan menguning, lalu masukan cabe, aduk terus, lalu masukan tomat, aduk lagi hingga tercampur rata. Tekan-tekan tomatnya agar hancur sampai berubah seperti saos dan tambahkan air 50ml,aduk hingga mengental. Lalu masukan teri aduk terus, diamkan 1 menit. Kemudian angkat. Ingat koreksi rasa, biasanya tanpa perlu memasukkan garam karena terinya sudah asin.
Permainan nogarata, nogalasa garata atau juga yang sering disebut sebagai galasa adalah nama tumbuhan yang berduri dan bijinya bundar seperti kelereng. Permainan ini mempunyai alat pelengkap lainnya selain biji-bijian garat atau galasa yaitu sebuah kayu yang berbentuk persegi empat dengan ukuran panjang +- 60-75 cm dan lebar +- 30-40 cm dan tebal +- 5-7 cm. Kayu ini diberi lobang sebelah menyebelah masing-masing 6 buah menurut panjang dan 2 buah lobang pada ujung lebar kayu tersebut. Warna permainan ini tidak tentu karena tergantung dari warna kayu yang dipakai, dan membuat warna garata / galasa yang kelihatannya keabu abuan. Permainan garata / galasa ini mempunyai makna sebagai alat penghibur, untuk kesenangan atau perintang waktu. Namun pada mulanya permainan hanya biasa dimainkan pada saat duka, biasanya apabila ada raja atau keluarga raja yang meninggal. Alat, bahan dan cara membuat Garata/Galasa Memilih buah/biji garata diperlukan perhatian yang serius, sebab ada beberapa jeni...
Ritual adat Tumpe di Luwuk, Sulawesi Tengah, punya banyak cerita untuk dibagikan. Salah satunya kisah bernuansa mistis terjadinya Ritual Tumpe. Tumpe yang artinya adalah telur pertama merupakan ritual tahunan bagi masyarakat Batui dan Banggai. detikTravel mendapat kesempatan untuk melihat langsung acara ritual Tumpe atas undangan Donggi-Senoro LNG, Jumat (2/12/2016) lalu. detikTravel pun berkunjung ke salah satu tetua adat yang disebut Monsuhangi Kabasaran atau Penjaga Kantir untuk mendapatkan cerita latar belakang terjadinya ritual adat Tumpe. Latar belakang ritual ini ternyata bernuansa mistis. Dimulai dari perjalanan Adisoko dari tanah Jawa ke Sulawesi Tengah, menjadikannya raja pertama di Banggai. Sebutannya adalah Mumbu Doi Jawa yang artinya Tuan dari Jawa. Adisoko pun menikah dengan perempuan gaib yang memberikannya anak ajaib yaitu Abu Kasim. Saat Abu Kasim di dalam kandungan, Adisoko memutuskan untuk kembali ke tanah Jawa. Selama 10 tahun, rakyat Banggai hidup tanpa ad...
Cerita Rakyat Tolelembunga ini adalah salah satu legenda yang ada di Desa Sedoa Kecamatan Lore Utara Kabupaten Poso Sulawesi Tengah. Tolelembunga ini adalah seekor kerbau yang sangat disayangi oleh Puteri Bunga Manila, kemanapun kerbau ini pergi Puteri Bunga Manila pun mengikutinya, sehingga setiap tempat pemberhentian mereka di jadikan pemukiman yang sampai saat ini sudah terbentuk desa. Bahwa nenek moyang mereka pertama kali mendiami lembah Napu dan menetap di Desa Sedoa, sehingga untuk menjaga agar tetap dikenang oleh seluruh keluarganya, maka nama-nama tokoh yang berperan sangat penting dalam kisah legenda-legenda seperti Bunga Manila, Tolelembunga, dll diabadikan pada penamaan jalan-jalan diseputar pusat Desa Sedoa. Cerita Rakyat Tolelembunga ini adalah salah satu legenda yang ada di Desa Sedoa Kecamatan Lore Utara Kabupaten Poso Sulawesi Tengah. Adapun dekripsi cerita dari Tolelembunga ini adalah sebagai berikut : Pada jaman dahulu terdapat sebuah kerajaan di Kecamatan Sig...
Alkisah, pada zaman dahulu di daerah Bulunggatugo atau Limboro/Towale ada seorang raja baik hati. Apabila sedang tidak mengurusi masalah kerajaan, dia menghabiskan waktu dengan menekuni hobi lamanya, yaitu mencari dan menangkap udang di sungai dekat benteng kerajaan. Tetapi karena telah lanjut usia, secara ngerangsur-angsur hobi ini tidak dilakukan sendiri, melainkan menitah belasan orang dayang istana yang berparas cantik jelita dan menggemaskan untuk mencarinya. Suatu hari Sang Raja ingin sekali mendapat udang dari kuala sungai yang bermuara di Gunung Ravi. Untuk itu, dikerahkanlah para dayang agar segera mempersiapkan segala perlengkapan dan peralatan penangkap udang. Setelah siap, berangkatlah mereka (para dayang) secara beriringan menuju kuala yang diperkirakan masih terdapat banyak udang berukuran relatif besar. Sesampai di lokasi para dayang mulai merentang jaring. Namun, setelah ditunggu sekian lama, tidak ada seekor pun yang berhasil terjaring. Mereka lalu pindah ke lokas...
Situs Tohaka adalah sebuah situs megalitikum yang terletak di desa Tori, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso. Situs ini terletak di atas bukit tohaba yang dikelilingi oleh sungai. Arca ini sendiri berada dalam posisi berdiri miring menghadap kearah selatan denga kondisi arca yang masih utuh, namun bagian badannya pecah, atribut pada bagian wajah sudah tidak kelihatan akibat aus dan permukaan arca ditumbuhi lichen dan lumut di bawah arca ini juga terdapat sebuah batu yang memiliki lubang-lubang dakon sebanyak 18 buah lubang.
Situs Tunduwanua ini terletak di Desa Hanggira , kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso. Letak situs ini berada di atas bukit Tunduwanua pada ketinggian 1272 mdpl. Bagi masyarakat setempat Tunduwanua berarti "Punggung kampung". Oleh para ahli, situs ini di duga sebagai pemukiman masa lalu. Hal ini di dukung dengan temuan menhir yang berfungsi sebagai umpak rumah adat tambi. Menhir di Situs Tunduwanua letaknya perpola, dengan bentuk segi empat dengan jumlah empat buah menhir dengan ukuran, rata- rata tinggi 106 cm dan lebar 60 cm, dengan jumlah menhir sebanyak 21 buah. Tidak hanya menhir, di situs ini juga ditemukan Lumpang yang merupakan alat rumah tangga yang berfungsi untuk menumbuk biji-bijian dan Batu Dakon yang berfungsi untuk menghitung hari di masa lalu. Selain itu juga terdapat arca yang berjumlah dua buah. Salah satunya adalah arca yang oleh masyarakat setempat di kenal dengan nama arca Buangke. Arca Buangke melambangkan seorang perempuan, pada bagian wajah terdapa...
Lokasi Arca Loga berada di lingkungan jalan Produksi, Desa Pada, Kecamatan Lore Selatan. Loga dalam arti masyarakat setempat adalah patung yang menerawang di tengah padang, sehingga lokasi arca tersebut dinamakan Padang Loga. Arca Loga berjumlah 1 buah, dengan posisi Arca Loga tidak berdiri tegak dengan posisi miring ke sebelah Barat dan menghadap ke sebelah Selatan dengan bagian wajah yang dilengkapi mata yang berbentuk lonjong, hidung yang lebar, dan telinga serta kepala berbentuk lonjong.