Di Sulawesi Tengah, Banua Mbaso atau disebut juga Souraja merupakan rumah tradisional tempat tinggal turun temurun bagi keluarga bangsawan. Souraja pertama kali dibangun oleh Raja Palu, Jodjokodi, pada tahun 1892. Souraja yang pertama kali dibuat terebut, masih bisa dilihat pada saat ini. Kata Souraja (Sou Raja) dapat diartikan rumah besar, merupakan pusat pemerintahan kerajaan masa lampau, bisa dikatakan sebagai rumah tugas dari manggan atau raja. Selama bertugas, raja beserta keluarganya tinggal di sini. Bangunan Banua Oge atau Sou Raja adalah bangunan panggung yang memakai konstruksi dari kayu dan dengan paduan arsitektur bugis dan kaili. Luas keseluruhan Banua Oge atau Sou Raja adalah 32×11,5 meter. Tiang pada bangunan induk berjumlah 28 buah dan bagian dapur 8 buah. Bangunan Induk sendiri berukuran 11,5 x 24,30 meter, yeng terbagi atas 4 bagian yaitu : a. Gandaria (Serambi) Berfungsi sebagai tempat ruang tunggu untuk tamu. Dibagian depan terletak an...
Bangunan di atas tiang yang memanjang aslinya digunakan sebagai balai pertemuan dan pengadilan adat. Beberapa lukisan yang dipajang di depannya merupakan penggambaran sangsi atas pelanggaran dan lambing kesuburan. Seluruh ruangan lobo di ruangan dimanfaatkan sebagai tempat untuk memamerkan hasil kekayaan alam dan kerajinannya. Dapat disaksikan contoh kayu hitam, hasil tambang, hasil kerajinan tangan dan contoh pakaian-pakaian adat dari berbagai suku di propinsi tersebut. Bahan dan peralatan yang digunakan untuk membuat kain tenun juga dapat diasksikan di sana seperti pembuatan kain tenun donggala yang dibuat menggunakan kulit kayu. Sumber: https://gpswisataindonesia.info/2014/11/rumah-adat-sulawesi-tengah/
Di Sulawesi Tengah, tempat tinggal penduduk disebut Tambi. Rumah ini merupakan tempat tinggal untuk semua golongan masyarakat. Bentuk rumah ini segi persegi panjang dengan ukuran rata-rata 7×5 m2, menghadap ke arah utara-selatan, karena tidak boleh menghadap atau membelakangi arah matahari. Sekilas konstuksi rumah ini seperti jamur berbentuk prisma yang terbuat dari daun rumbia atau ijuk. Keunikan rumah panggung ini adalah atapnya yang juga berfungsi sebagai dinding. Alas rumah tersebut terdiri dari susunan balok kayu, sedangkan pondasinya terbuat dari batu alam. Akses masuk ke rumah ini melalui tangga, jumlahnya berbeda sesuai tinggi rumahnya. Tambi yang digunakan masyarakat biasa memiliki anak tangga berjumlah ganjil dan untuk ketua adat berjumlah genap. Tiang-tiang penopang rumah ini terbuat dari kayu bonati. Di dalamnya hanya terdapat satu lobona (ruangan utama) yang dibagi tanpa sekat dan memiliki kamar-kamar, hanya pada bagian tengah lobona terdapat rapu (dapur) yang...
Tutuba adalah merupakan alat musik tradisional yang berasal dari Sulawesi Tengah yang merupakan alat musik berdawai yang terbuat dari bambu. Tutuba adalah alat musik khas suku To Wana. Suku Wana ( To Wana ), adalah penduduk asli di kawasan Wana Bulang yang berada di wilayah kabupaten Morowali, pemukiman berada di kecamatan Mamosolato, Petasia, dan Soyojaya, dan tedapat juga di wilayah pedalaman di kabupaten Luwuk Banggai - Sulawesi Tengah. Suku Wana disebut juga sebagai Tau Taa Wana yang berarti "orang yang tinggal di hutan". Sedangkan mereka lebih suka menyebut diri mereka sebagai Tau Taa, atau "orang Taa". Sumber : https://www.tradisikita.my.id/2015/09/7-alat-musik-tradisional-sulawesi-tengah.html
Alat musik Popondo di Sulteng juga disebut dengan alat musik Talindo atau Popondi (Sulsel). Alat musik Popondo ini terbuat dari kayu, tempurung kelapa, dan senar. Talindo/Popondi merupakan alat musik jenis sitar berdawai satu ( one stringed stick zilher ). Tempurung kelapa berfungsi sebagai resonator. Alat musik ini dimainkan secara tunggal setelah para petani merayakan pesta panen dan untuk mengisi waktu senggang bagi para remaja. Kata Tolindo adalah sebutan yang berasal dari daerah Bugis. Sedangkan kata Popondi adalah sebutan dari daerah Makasar. Alat musik tradisional Talindo / Popondi berbentuk busur seperti tanduk kerbau atau tanduk sapi yang bertumpu pada sebuah tempurung kelapa, di ujungnya atas bagian tanduk dipasang 1 buah senar dan dimainkan dengan cara dipetik. Biasanya alat musik ini dimainkan secara tunggal setelah para petani merayakan pesta panen dan untuk mengisi waktu senggang bagi para remaja. Sumber : https://www.trad...
Sigi, Portalsulawesi.com – Setiap suku memiliki tradisi masing-masing, hal yang sama juga berlaku bagi Suku Kaili di Sulawesi Tengah. ‘Balabe’ misalnya. ‘Balabe’ adalah ritual adat muslim suku Kaili. ’Balabe’ membacakan doa untuk sanak saudara yang telah tiada, sebagai bentuk mengirimkan makanan ke arwah mereka agar mereka juga merasakan apa yang dimakan orang yang masih hidup. ‘Balabe’ biasanya dilakukan setiap memen-momen tertentu, seperti hari raya idul fitri misalnya dan di hari-hari besar lainnya. Sebelum melangsungkan ‘Balabe’ mereka terlebih dahulu menyiram kubur atau ziarah ke makam. “Tradisi ini sudah turun temurun,” kata salah satu Tokoh Adat Kaili di Desa Bangga, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah yang akrap dipanggil Ratu (27/6/2017). Menurutnya ‘Balabe’ juga berlaku bagi suku lain, diantaranya Suku Bugis di Sulawes...
Hujan yang tidak pernah turun beberapa bulan ini membuat ribuan hektar sawah milik warga di lima desa di Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, mengalami kekeringan. Para tetua adat di Kabupaten Sigi pun turun tangan dengan melakukan ritual adat minta hujan atau Mora’akeke . Ratusan warga dari Desa Oloboju, Bora, Sidera, Soulove dan Vatunonju di Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah mulai berdatangan untuk menyaksikan pelaksanaan ritual yang digelar pada awal September 2015 lalu. Ritual ini bertujuan memohon kepada Tuhan untuk meredupkan sinar matahari yang menyebabkan kemarau panjang sekaligus menambah deras air Sungai Vuno yang mengering. Di tepian Sungai Vuno, berbagai perlengkapan ritual prosesi adat Mora’akeke disiapkan. Dua orang topogimba atau penabuh kendang mulai menabuh, pertanda prosesi dimulai. Setelah menyembelih tiga ekor kambing di pinggir Sungai Vuno, para tetua adat menghanyutkan darah ketig...
Rabu di pertengahan Oktober 2014. Satu persatu warga di Kelurahan Lasoani, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, mulai berkumpul di tanah lapang. Meski terik menyengat, tak menyurutkan langkah mereka. Warga menggelar terpal sebagai alas duduk dan sebagian membawa sesajen. Seorang lelaki paruh baya maju ke depan. Tak lama kemudian, sebuah permohonan diucapkan. Dengan menggunakan bahasa daerah mulutnya komat kamit. Suaranya terdengar berat. Ya, ini adalah ritual adat Pompaura Posunu Rumpu yang dilakukan oleh Suku Kaili, suku asli di Sulawesi Tengah. Sudah tiga bulan ini, Kota Palu dan sebagian wilayah di Sulawesi Tengah mengalami musim kemarau. Hujan tak kunjung turun. Tanaman mengalami kekeringan. Sehingga, perlu dilakukan ritual adat. Pompaura Posunu Rumpu adalah salah satu ritual adat yang dilaksanakan secara turun-temurun oleh Suku kaili. Pompaura dalam Bahasa Indonesia artinya mengembalikan. Sedangkan Posunu artinya menggeser, menyingkirkan, atau membersihkan. Dan Rumpu artin...
Alkisah Rakyat ~ Dahulu kala, jauh sebelum Belanda masuk ke Tanah Mori, Tanah Mori terdiri dari berpuluh-puluh suku bangsa atau suku kecil yang tidak mempunyai raja tertentu. Tiap-tiap suku itu mempunyai Mokole tersendiri dan tiap-tiap Mokole tidak mau takluk satu sama lain (Mokole ialah organisasi Pemerintahan dari satu suku yang dipimpin atau dikepalai oleh seorang Kepala suku yang bergelar "Mokolempalili"). Dari sekian banyak suku-suku di tanah Mori itu, ada beberapa suku yang dianggap besar pengaruhnya dan luas wilayahnya, yakni Suku Moleta bagian Mori atas, Suku Petasia dan Suku Lembo bagian Mori bawah, Suku Murungkuni, Suku Tovatu dan Suku Musimbatu. Oleh karena tidak ada raja yang mampu mempersatukan suku-suku atau Mokole-mokole itu, maka sering terjadi kekacauan dan selalu timbul peperangan antara satu Mokole dengan Mokole yang lain. Oleh sebab itu, beberapa Mokole yang besar di Tanah Mori itu mengadakan musyawarah untuk mencari dan men...