Galo-galo (bahasa Sahu) dapat diartikan dengan “menangkap bilah”. Dinamakan demikian karena dalam permainan ini, pemain diharuskan untuk menangkap bilah bambu dengan menggunakan jari-jari tangan. Jika bilah bambunya tinggal dua buah, maka cara menangkapnya dengan menggunakan jari telunjuk dan jari tengah. Awal mula permainan ini sudah sulit diketahui. Namun, yang jelas permainan ini sudah turun-temurun dilakukan oleh masyarakat Maluku Utara, Indonesia, seperti di daerah Jailolo, Sahu, Ternate dan Tembelo. Pemain Permainan galo-galo bersifat individual dan dapat dimainkan oleh siapa saja dan usia berapa saja (anak-anak, pemuda, orang tua, baik wanita maupun pria). Untuk satu kali bermain pesertanya tidak ditentukan. Jadi, boleh 2, 3, hingga 6 orang. Walaupun dilakukan secara individu, permainan ini dapat pula dibagi menjadi kelompok. Apabila ada enam orang yang bermain dapat dibagi menjadi 2 kelompok dengan masing-masing anggotanya terdiri...
Nuaulu adalah salah satu sukubangsa yang ada di Provinsi Maluku, Indonesia. Mereka mendiami salah satu pulau yang tergabung dalam provinsi tersebut, yaitu Pulau Seram yang termasuk dalam wilayah Maluku Tengah. Di kalangan mereka ada suatu tradisi yang termasuk dalam upacara lingkaran hidup individu, yaitu upacara yang berkenaan dengan masa kandungan seseorang apabila telah mencapai usia sembilan bulan. Kehamilan bagi masyarakat Nuaulu dianggap sebagai suatu peristiwa biasa, khususnya masa kehamilan seorang perempuan pada bulan pertama hingga bulan kedelapan. Namun pada saat usia kandungan seorang perempuan telah mencapai sembilan bulan, barulah mereka akan mengadakan suatu upacara. Upacara baru diadakan pada usia kandungan telah mencapai sembilan bulan karena masyarakat Nuaulu mempunyai anggapan bahwa pada saat usia kandungan seorang perempuan telah mencapai 9 bulan, maka pada diri perempuan yang bersangkutan banyak diliputi oleh pengaruh roh-roh jahat yang dapat menimbul...
Tenun Tanimbar Maluku umumnya dihasilkan oleh para penennun perempuan yang tersebar hampir di semua desa di Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Kebanyakan motif berci khas garis vertical cuku besar yang diselingi corak. Biasanya diadopsi dari bentuk hewan dan tumbuhan. Dalam buku Kain Tenun Sebagai Pengetahuan Tradisional Masyarakat Hukum Adat Maluku, Sarah S. Kauhaty menyebut ada empat puluh satu ragam corak dengan berbgai makna dalam tiap corak. Diantara motif yang terdapat pada tenun Tanimbar Maluku adalah pohon, manusia, ikan, katkatan (alat tenun), vatvedan (penyumbat), bunga – bungaan, sair sirakas (bendera bergerigi), siaha (anjing), kembang jambangan, niri (lebah) dan lain – lain.
MENYELISIK PENAMAAN KECAMATAN DI KABUPATEN BULUKUMBA (BAGIAN PERTAMA) Berbicara tentang wilayah Administratif kabupaten Bulukumba seperti saat ini maka kita perlu merunut masa. mulai dari tahun 1511 saat Malaka jatuh di tangan bangsa Portugis. Kedatangan bangsa-bangsa barat ke nusantara pada abad ke-16 mula-mula karena ketertarikan mereka akan rempah-rempah yang berasal dari kepulauan maluku. Hal senada juga di ungkapkan salah satu makalah tentang awal mula penamaan Bulukumba dalam naskah lontara Jayalangkara, dalam naskah lontara tersebut dengan jelas telah tertulis kata Bulukumba. Lontara Jayalangkara atau dapat juga disebut makassarsche Chrestomathik adalah sejarah Gowa Tallo. kata Bulukumba tersendiri dalam Lontara Jayalangkara Lengkapnya tertulis "... iaminne Karaeng Tumapa’risi Kallonna ambet...
"pela gandong", yaitu "sumpah persaudaraan yang diikrarkan dengan meminum darah antar desa" yang dilakukan oleh Suku Hatuhaha. Suku Hatuhaha, adalah suku yang berdiam di pulau Haruku yang berada di kecamatan pulau Haruku kabupaten Maluku Tengah provinsi Maluku. Suku Hatuhaha tersebar di 5 desa, yaitu desa Kailolo (Aman Hatu Amen), Pelau (Aman Hatu Sina), Hulaliu (Aman Hatu Alasi), Rohomoni (Aman Hatu Waela), Kabauw (Aman Hatu Hutui). Desa Pelaw sebagai ibukota kecamatan pulau Haruku Tradisi ini merupakan tradisi yang merupakan warisan nenek moyang mereka.
Sasi merupakan aturan adat yang menjadi pedoman setiap warga masyarakat Maluku dalam mengelola lingkungan termasuk pedoman pemanfaatan sumber daya alam. Sasi laut disebut juga sebagai sasi labuan. Tradisi sasi laut melarang menangkap suatu jenis hewan atau tanaman untuk selama waktu tertentu. Misalnya sasi untuk ikan lompa (di Haruku), kelapa, bialola (sejenis kerang laut) dan teripang (di Kepulauan Kei). Setelah masa larangan berakhir, masyarakat Maluku dapat menangkap lagi ikan-ikan tersebut.
· Sasi ; penetapan larangan untuk mengeksploitasi sumberdaya alam tertentu dalam periode waktu tertentu. Ada 3 hal penting dalam ketentuan “hukum adat sasi”, yaitu ; 1. Terdapat larangan memanfaatkan sumberdaya alam dalam jangka waktu tertentu untuk memberi kesempatan kepada flora dan fauna untuk memperbaharui dirinya memelihara kualitas dan memperbanyak populasi sumberdaya alam tersebut. 2. Ketentuan sasi tidak saja mencakup lingkungan alam, tetapi juga lingkungan sosial dan lingkungan buatan manusia. Misalnya, melarang masyarakat bepergian keluar desa karena alasan tertentu, melarang bentuk-bentuk keramaian ...
Hukum Belo terkait dengan perlindungan ekosistem dari eksploitasi. Dalam Hukum Belo kita juga diajarkan untuk melindungi ekosistem dengan menanam Belo (tiang / saham) sebagai penanda dan pelindung lingkungan sekitar pasak. Belo telah dimasukkan dan diikat dengan daun pohon kelapa itu sudah ketentuan bahwa pohon dan alam sekitarnya tidak harus dirusak oleh siapa pun. Di wilayah Maluku hukum adat adalah hukum yang berlaku saat menebang satu pohon sagu maka kita harus memiliki 10 anak sagu sebagai penggantinya. Ada juga aturan untuk tidak membuat keributan di hutan ketika pohon-pohon berbunga, karena akan mengganggu proses pembuahan dan hubungan akan jatuh.
Sasi dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumber daya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumber daya hayati (hewani maupun nabati) alam tersebut, suatu upaya untuk memelihara tata-krama hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah pemerataan pembagian atau pendapatan dari hasil sumber daya alam sekitar kepada seluruh penduduk setempat. Saat ini, sasi memang lebih cenderung bersifat hukum adat bukan tradisi, sasi digunakan sebagai cara mengambil kebijakan dalam pengambilan hasil laut dan hasil pertanian. Namun, secara umum, sasi berlaku di masayarakat sebagai bentuk etika tradisional. Sasi tidak berhubungan dengan ritus kelahiran, perkawinan, kematian dan pewarisan, melainkan lebih cenderung bersifat tabu dan kewajiban setiap individu dan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam yang dimiliki. Sasi merupakan adat khusus yang berlaku hampir di seluruh pulau di Provinsi Maluku (Halmahera, Ternate, Buru, Seram, Ambon, Kep....