×

Akun anda bermasalah?
Klik tombol dibawah
Atau
×

DATA


Kategori

Hukum Adat

Provinsi

Maluku

Asal Daerah

Maluku dan Papua

Sasi

Tanggal 29 Sep 2016 oleh Oase .

Sasi dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumber daya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumber daya hayati (hewani maupun nabati) alam tersebut, suatu upaya untuk memelihara tata-krama hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah pemerataan pembagian atau pendapatan dari hasil sumber daya alam sekitar kepada seluruh penduduk setempat. Saat ini, sasi memang lebih cenderung bersifat hukum adat bukan tradisi, sasi digunakan sebagai cara mengambil kebijakan dalam pengambilan hasil laut dan hasil pertanian. Namun, secara umum, sasi berlaku di masayarakat sebagai bentuk etika tradisional. Sasi tidak berhubungan dengan ritus kelahiran, perkawinan, kematian dan pewarisan, melainkan lebih cenderung bersifat tabu dan kewajiban setiap individu dan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam yang dimiliki.

Sasi merupakan adat khusus yang berlaku hampir di seluruh pulau di Provinsi Maluku (Halmahera, Ternate, Buru, Seram, Ambon, Kep. Lease, Watubela, Banda, Kep.Kei, Aru, dan Kep.Barat Daya dan Kep.Tenggara di bagian Barat Daya Maluku) dan Papua (Kep.Raja Ampat,Sorong,Manokwari,Nabire,Biak, dan Nuumfor, Yapen, Waropen, Sarmi, Kai Mana, Fakfak).ama lain, yakni Yot di Kei Besar dan Yutut di Kei Kecil. Sasi juga dikenal sebagai cara pengolahan sumber daya alam di desa-desa pesisir Papua.

Sasi  memiliki  peraturan – peraturan yang ditetapkan dalam suatu keputusan kerapatan Dewan Adat yang disebut  “Saniri”. Di pulau Haruku Dewan Adat disebut nama dengan  Saniri’a Lo’osi Aman Haru-ukui, atau “Saniri Lengkap Negeri Haruku”. Keputusan  kerapatan Dewan adat inilah yang dilimpahkan kewenangan pelaksanaannya kepada lembaga Kewang. Kewang adalah “Lembaga Adat dibawah Dewan Adat/Saniri yang ditunjuk untuk melaksanakan pengawasan  pelaksanaan peraturan – peraturan Sasi.

Lokollo (1925) menjelaskan bahwa terdapat enam tujuan falsafah yang mempengaruhi pelaksanaan adat sasi, yakni sebagai berikut:

1.     Memberikan petunjuk umum tentang perilaku manusia, untuk memberikan batasan tentang hak-hak masyarakat;

2.     Menyatakan hak-hak wanita, untuk memberikan definisi status wanita dan pengaruh mereka dalam masyarakat:

3.     Mencegah kriminalitas, untuk mengurangi tindakan kejatahan seperti mencuri;

4.     Mendistribusikan sumber daya alam yang mereka miliki secara merata untuk menghindari konflik dalam pendistribusian sumber daya alam, yakni antara masyarakat dari desa atau kecamatan yang berbeda;

5.     Menentukan cara pengelolaan sumber daya alam yang di laut dan di darat guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

6.     Untuk penghijauan/pelestarian alam (konservasi).

 

Secara tradisional, sasi diterapkan dalam tiga tingkat, yaitu sebagai berikut :

1.     Sasi perorangan, yakni melindungi sumber daya alam yang bisa menjadi milik pribadi dalam batas waktu tertentu. Adapun orang-orang yang boleh mengambil pohon buah-buahan hanya orang yang menaruh tanda sasi pada pohon tertentu.

2.     Sasi umun, yakni yang diterapkan untuk perkebunan campuran berbagai pohon yang ada di Maluku dan Papua, disebut sebagai dusun, kemudian diterapkan untuk sumber daya tertentu yang ada dalam kebun tersebut.

3.     Sasi desa, yakni berlaku bagi seluruh lapisan di desa tersebut, biasanya terdiri dari beberapa dusun.

 

Setelah kewenangan sasi semakin luas dan bertambah, akhirnya sasi berkembang menjadi empat kategori, yakni sebagai berikut :

1.     Sasi perorangan, yakni berlaku hanya untuk lahan saja, karena laut milik umum.

2.     Sasi umun, hanya berlaku untuk tingkat desa saja.

3.     Sasi gereja dan sasi masjid, yaitu sasi yang disetujui oleh pihak gereja, masjid atau masyarakat umum.

4.     Sasi negeri, yakni sasi yang disetujui oleh pemerintah lokal, seperti kepala desa, para bupati, contohnya untuk mengatasi masalah perselisihan mengenai batas wilayah.

 

Sasi berdasarkan lokasi dan jenis sumber daya alam. Sasi juga dapat diberlakukan lokasi-lokasi dan jenis-jenis sumber daya alam, yang terbagi menjadi empat kelompok utama, yakni sebagai berikut:

1. Di laut (Sasi laut), sasi tersebut diberlakukan dari batas air surut ke batas awal air yang dalam pada saat tertentu, yakni sebagai berikut :

·         Menangkap ikan seperti lompa (Thryssa baelama) (Engraulidae) serta jenis ikan lainnya, termasuk teripang dan udang;

·         Menangkap ikan-ikan di teluk-teluk tertentu dan pada waktu-waktu tertentu;

·         Menangkap ikan dengan menggunakn jaring yang bermata kecil (redi karoro);

·         Menangkap ikan dengan menggunakan bom atau bahan beracun;

·         Menangkap ikan dengan menggunakan jaring khusus untuk daerah penangkapan tertentu;

·         Mengambil lola (Trochus niloticus), karang laut, karang laut hitam, batu karang dan pasir;

·         Mengumpulkan rumput laut untuk keperluan makanan atau untuk dijual.

 

2. Di sungai (Sasi kali) pada saat :

·         Menangkap ikan dan udang;

·         Menangkap ikan dengan menggunakan jaring bermata kecil;

·         Menangkap ikan dengan bom atau racun;

·         Mengumpulkan kerikil dan pasir;

·         Menebang pohon dalam radius 200 dari sungai atau dari sumber-sumber air.

 

3. Di Daratan (Sasi hutan) pada saat :

·         Mengambil hasil pohon-pohon liar yang ditanam di hutan, seperti kelapa, durian, cengkeh, pala, langsat, mangga, nenas, kenari, pinang, sagu, enau dan lain sebagainya;

·         Mengambil daun sagu untuk atap rumah;

·         Menebang pohon pinang dan pohon lainnya yang sedang berbuah untuk membuat pagar;

·         Menebang pohon untuk kayu bakar atau kayu bangunan;

·         Menebang pohon pada lereng-lereng tertentu;

·         Penghijauan;

·         Berburu burung mamalia di hutan.

 

4. Di pantai (Sasi pantai) pada saat:

·         Mengambil hasil hutan mangrove;

·         Mengambil telur burung gosong/maleo yang hitam.

 

Namun, terjadi dilema dimana sasi sendiri sudah tidak berlaku seperti pada awal mula sasi diberlakukan. Hal ini karena kepala desa atau kewang, yakni orang yang ditunjuk untuk mendisiplinkan kewenangan atas sumber daya alam dan wilayah sudah mulai malas untuk memperhatikan tradisi sasi itu sendiri. Selain itu, banyak pendatang yang susah untuk ditertibkan, karena pada pendatang tersebut tidak terikat oleh sasi. Akibatnya, pemberlakuan sasi tidak dapat ditindak secara tegas, meskipun terdapat hukuman-hukuman atas pelanggaran sasi yang sudah disepakati sebelumnya. Banyaknya pendatang serta perusahaan-perusahaan besar yang mengambil sumber daya alam di Maluku semakin mengaburkan sistem sasi secara perlahan-lahan. Contoh yang terjadi akibat adanya pendatang adalah yang terjadi di Nus Leur dan Terbang Utara, dimana terdapat perahu-perahu penangkap ikan yang melanggar batas ketika mengambil hasil laut.

Sebelum tahun 1960, sasi laut dimaksudkan untuk mengatur penangkapan terhadap berbagai jenis ikan kawanan atas atau pelagic yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, yang mana jenis ikan tersebut hanya ada pada musim-musim tertentu, mempunyai tingkat migrasi yang tinggi serta hanya hidup pada perairan setempat ataupun sungai setempat. Sasi laut diletakkan pada petuanan laut yang meliput tanah, air, dan dasarnya, mulai dari pesisir pantai atau ruat met soin sampai dengan batas air yang berwarna hitam atau tahit ni wearSasi laut, seperti halnya sasi darat, ditandai dengan memasang atau mendirikan tanda atau lambang sasi berupa janur yang disebut hawear.

Sasi meti adalah sasi yang diletakkan pada zona pasang surut air laut agar tanaman dan organisme laut lainnya dapat beregenerasi atau berkembang biak. J.P. Rahail dalam bukunya menyatakan bahwa sasi meti adalah jenis sasi yang paling umum dan paling banyak ditemukan di Kei atau bahkan di seluruh Maluku. Salah satu alasan terpenting dan seringnya diberlakukan sasi meti adalah fakta bahwa kawasan pasang surut adalah kawasan utama sumber pangan subsitem seluruh warga desa, terutama pada saat-saat musim paceklik atau cuaca buruk ketika kondisi alam tidak memungkinan untuk melaut lebih jauh. Sasi ini juga dimaksudkan agar terjadi regenerasi dari biota-biota laut yang akan sering dikonsumsi oleh warga desa dan agar kapasitas penangkapannya bisa tetap terjaga. Beberapa desa meletakkan sasi meti beberapa minggu sebelum meti kei. Pengertian dari Meti kei adalah suatu keadaan tahunan pada saat air laut surut dan membentuk suatu kawasan laut yang kering, dan biasanya terjadi pada bulan September dan Oktober. Hal tersebut dimaksudkan agar perolehan hasil laut yang maksimal pada saat musim panen, yaitu saat seluruh masyarakat desa berkumpul di kawasan laut yang surut hingga mencapai satu kilometer untuk mengambil atau mengumpulkan ikan, kerang, rumput laut, teripang, dan hasil laut lainnya yang dapat mereka temukan di kawan surut (meti) itu. Apabila sasi meti sudah diberlakukan, maka bukan saja diberlakukan larangan untuk mengambil sumberdaya di daerah meti yang di-sasi tersebut, namun juga terkandung pula larangan untuk tidak menggangu habitat atau lingkungan dari biota-biota laut yang hidup di daerah yang di-sasi, seperti mengambil sumberdaya lain selain yang di-sasi, atau batu-batuan, maupun kayu-kayuan yang terdampar di daerah itu. Hal tersebut didasarkan pada suatu pengetahuan bahwa semua hal yang terdapat di daerah yang diletakkan sasi meti atasnya bisa menjadi tempat hidup bagi ikan ataupun organisme-organisme lainnya yang menjadi sumber makanan bagi ikan, sehingga dengan tetap menjaga habitat atau lingkungan tempat mereka berkembang biak berarti juga menjaga persedian bahan pangan dari laut untuk seluruh warga desa.

Jenis sasi laut lainnya adalah sasi lola. Sasi ini diberlakukan terhadap lola yang bernama ilmiah Trochus Niloticus, yaitu sejenis kerang yang hidup di daerah yang searah dengan tiupan angin di perairan dangkal yang kedalamannya tidak lebih dari 5 sampai dengan 8 meter. Pada hakikatnya sasi lola ini juga merupakan bagian dari sasi meti karena pada umumnya lola tersebut hidup pada daerah yang sering terjadi pasang surut dan diberlakukan sasi meti. Sasi lola lebih berdimensi ekonomi dibandingkan dengan sasi meti karena kerang lola menjadi salah satu komoditi andalan terutama untuk ekspor. Pada mulanya sasi lola hanya untuk kepentingan melindungi lola sebagai kerang yang isinya banyak dikonsumsi oleh masyarakat desa yang tinggal dekat dengan petuanan laut. Namun dalam beberapa tulisan, ditemukan suatu fakta sejarah bahwa sasi lola banyak dipengaruhi oleh perkembangan perdagangan lintas negara terhadap produk lola untuk dimanfaatkan sebagai kancing mutiara serta kulit lola dipakai dalm pembuatan cat mobil untuk medapatkan efek metalik. Berdasarkan perkembangan tersebut dan dimensi ekonomis yang dimilikinya, maka beberapa ratschap yang memiliki petuanan laut menganggap sasi lola diperlukan untuk menjaga kelestarian dan kesinambungan hidup lola. Jika terhadap sasi meti diberlakukan aturan bahwa semua ikan dan biota laut dilarang untuk diambil, maka sasi lola memiliki sedikit perbedaan dalam artian bahwa apabila sasi lola diberlakukan maka larangan hanya diberlakukan terhadap pengambilan lola namun kandungan hayati laut lainnya seperti ikan-ikan dan jenis kerang lainnya yang bukan lola tetap dapat bebas ditangkap. Masa buka sasi lola sangat variatif, biasanya hanya dua sampai tiga hari dalam interval setahun sekali sampai dengan sekali dalam empat atau lima tahun. Waktu untuk membuka sasi lola juga menjadi wewenang yang memasang sasi,yang dalam hal ini biasanya dilakukan dalam suatu kerapatan adat atau ditentukan oleh para sesepuh. Pemilihan waktu buka sasi lola juga kadang ditentukan oleh kebutuhan ekonomi yang mendesak, seperti misalnya untuk perbaikan gereja atau pembuatan jalan, pembelian generator listrik untuk desa, atau kesulitan keuangan periodik, alasan-alasan ini lebih sering melatarbelakangi dibukanya sasi daripada alasan-alasan ekologis. Masa buka sasi lola juga biasanya bergantung dari pengetahuan tradisional masyarakat. Misalnya waktu untuk penentuan buka sasi lola di Kepulauan Kei ditentukan berdasarkan pengetahuan-pengetahuan logis yang sederhana: telah ada lola yang mati dan terdampar yang berati telah dapat diambil, sasi dapat dibuka hari itu sebab pasang surut, air laut jernih dan tidak kabur atau keruh oleh hujan sehingga pandangan tidak terganggu ketika menyelam untuk mengambil lola. Khusus di wilayah Maur Ohoiwut, ada ketentuan khusus dan unik pada saat buka sasi lola yaitu ketentuan bahwa lola dengan ukuran garis tengah kurang dari lebar tiga jari (sekitar 4-5 cm) tidak boleh dipanen dan wajib dilepaskan kembali ke dalam laut

Menurut tuturan cerita rakyat Haruku, konon, dahulu kala di kali Learisa Kayeli terdapat seekor buaya betina. Karena hanya seekor buaya yang mendiami kali tersebut, buaya itu dijuluki oleh penduduk sebagai “Raja Learisa Kayeli”. Buaya ini sangat akrab dengan warga negeri Haruku. Dahulu, belum ada jembatan di kali Learisa Kayeli, sehingga bila air pasang, penduduk Haruku harus berenang menyeberangi kali itu jika hendak ke hutan. Buaya tadi sering membantu mereka dengan cara menyediakan punggungnya ditumpangi oleh penduduk Haruku menyeberang kali. Sebagai imbalan, biasanya para warga negeri menyediakan cincin yang terbuat dari ijuk dan dipasang pada jari-jari buaya itu. Pada zaman datuk-datuk dahulu, mereka percaya pada kekuatan serba-gaib yang sering membantu mereka. Mereka juga percaya bahwa binatang dapat berbicara dengan manusia. Pada suatu saat, terjadilah perkelahian antara buaya-buaya di pulau Seram dengan seekor ular besar di Tanjung Sial. Dalam perkelahian tersebut, buaya-buaya Seram itu selalu terkalahkan dan dibunuh oleh ular besar tadi. Dalam keadaan terdesak, buaya-buaya itu datang menjemput Buaya Learisa yang sedang dalam keadaan hamil tua. Tetapi, demi membela rekan-rekannya di pulau Seram, berangkat jugalah sang “Raja Learisa Kayeli” ke Tanjung Sial. Perkelahian sengit pun tak terhindarkan. Ular besar itu akhirnya berhasil dibunuh, namun Buaya Learisa juga terluka parah. Sebagai hadiah, buaya-buaya Seram memberikan ikan-ikan lompa, make dan parang parang kepada Buaya Learisa untuk makanan bayinya jika lahir kelak. Maka pulanglah Buaya Learisa Kayeli ke Haruku dengan menyusur pantai Liang dan Wai. Setibanya di pantai Wai, Buaya Learisa tak dapat lagi melanjutkan perjalanan karena lukanya semakin parah. Dia terdampar disana dan penduduk setempat memukulnya beramai-ramai, namun tetap saja buaya itu tidak mati. Sang buaya lalu berkata kepada para pemukulnya: “Ambil saja sapu lidi dan tusukkan pada pusar saya”. Penduduk Wai mengikuti saran itu dan menusuk pusar sang buaya dengan sapu lidi. Dan, mati lah sang “Raja Learisa Kayeli” itu. Tetapi, sebelum menghembuskan nafas akhir, sang buaya masih sempat melahirkan anaknya. Anaknya inilah yang kemudian pulang ke Haruku dengan menyusur pantai Tulehu dan malahan kesasar sampai ke pantai Passo, dengan membawa semua hadiah ikan-ikan dari buaya-buaya Seram tadi. Karena lama mencari jalan pulang ke Haruku, maka ikan parangparang tertinggal di Passo, sementara ikan lompa dan make kembali bersamanya ke Haruku. Demikianlah, sehingga ikan lompa dan make (Sardinilla sp) merupakan hasil laut tahunan di Haruku, sementara ikan parang parang merupakan hasil ikan terbesar di Passo.

 

Sumber:

https://id.wikipedia.org/wiki/Sasi

https://soloraya.com/2014/10/13/sasi-lompa-tradisi-pelestarian-lingkungan-warga-maluku/

http://www.wacana.co/2015/05/penerapan-sasi-dalam-sektor-perairan-orang-kei-maluku/

DISKUSI


TERBARU


Bubur Pedas

Oleh Sherly_lewinsky | 25 Apr 2024.
Makanan khas Kalimantan Barat

Bubur pedas adalah salah satu makanan khas dari Kalimantan Barat. Biasanya, bubur ini akan dilengkapi dengan berbagai macam sayuran seperti daun kuny...

ANALISIS FENOME...

Oleh Keishashanie | 21 Apr 2024.
Keagamaan

Agama Hindu Kaharingan yang muncul di kalangan suku Dayak sejak tahun 1980. Agama ini merupakan perpaduan antara agama Hindu dan kepercayaan lokal su...

Kue Pilin atau...

Oleh Upikgadangdirantau | 20 Apr 2024.
Kue Tradisional

Kue pilin atau disebut juga kue bapilin ini adalah kue kering khas Sumatera Barat.Seperti namanya kue tradisional ini berbentuk pilinan atau tamb...

Bika Panggang

Oleh Upikgadangdirantau | 20 Apr 2024.
kue tradisional

Bika Panggang atau bisa juga disebut Bika bakar merupakan salah satu kue tradisional daerah Sumatera Barat. Kue Bika ini sangat berbeda dengan Bika...

Ketipung ngroto

Oleh Levyy_pembanteng | 19 Apr 2024.
Alat musik/panjak bantengan

Ketipung Ngroto*** Adalah alat musik seperti kendang namun dimainkan oleh dua orang.Dalam satu set ketipung ngroto terdapat 2 ketipung lanang dan we...

FITUR


Gambus

Oleh agus deden | 21 Jun 2012.
Alat Musik

Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual...

Hukum Adat Suku...

Oleh Riduwan Philly | 23 Jan 2015.
Aturan Adat

Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala...

Fuu

Oleh Sobat Budaya | 25 Jun 2014.
Alat Musik

Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend...

Ukiran Gorga Si...

Oleh hokky saavedra | 09 Apr 2012.
Ornamen Arsitektural

Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai...