Ritual
Ritual
Hukum Adat Maluku Maluku dan Papua
Sasi
- 29 September 2016

Sasi dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumber daya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumber daya hayati (hewani maupun nabati) alam tersebut, suatu upaya untuk memelihara tata-krama hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah pemerataan pembagian atau pendapatan dari hasil sumber daya alam sekitar kepada seluruh penduduk setempat. Saat ini, sasi memang lebih cenderung bersifat hukum adat bukan tradisi, sasi digunakan sebagai cara mengambil kebijakan dalam pengambilan hasil laut dan hasil pertanian. Namun, secara umum, sasi berlaku di masayarakat sebagai bentuk etika tradisional. Sasi tidak berhubungan dengan ritus kelahiran, perkawinan, kematian dan pewarisan, melainkan lebih cenderung bersifat tabu dan kewajiban setiap individu dan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam yang dimiliki.

Sasi merupakan adat khusus yang berlaku hampir di seluruh pulau di Provinsi Maluku (Halmahera, Ternate, Buru, Seram, Ambon, Kep. Lease, Watubela, Banda, Kep.Kei, Aru, dan Kep.Barat Daya dan Kep.Tenggara di bagian Barat Daya Maluku) dan Papua (Kep.Raja Ampat,Sorong,Manokwari,Nabire,Biak, dan Nuumfor, Yapen, Waropen, Sarmi, Kai Mana, Fakfak).ama lain, yakni Yot di Kei Besar dan Yutut di Kei Kecil. Sasi juga dikenal sebagai cara pengolahan sumber daya alam di desa-desa pesisir Papua.

Sasi  memiliki  peraturan – peraturan yang ditetapkan dalam suatu keputusan kerapatan Dewan Adat yang disebut  “Saniri”. Di pulau Haruku Dewan Adat disebut nama dengan  Saniri’a Lo’osi Aman Haru-ukui, atau “Saniri Lengkap Negeri Haruku”. Keputusan  kerapatan Dewan adat inilah yang dilimpahkan kewenangan pelaksanaannya kepada lembaga Kewang. Kewang adalah “Lembaga Adat dibawah Dewan Adat/Saniri yang ditunjuk untuk melaksanakan pengawasan  pelaksanaan peraturan – peraturan Sasi.

Lokollo (1925) menjelaskan bahwa terdapat enam tujuan falsafah yang mempengaruhi pelaksanaan adat sasi, yakni sebagai berikut:

1.     Memberikan petunjuk umum tentang perilaku manusia, untuk memberikan batasan tentang hak-hak masyarakat;

2.     Menyatakan hak-hak wanita, untuk memberikan definisi status wanita dan pengaruh mereka dalam masyarakat:

3.     Mencegah kriminalitas, untuk mengurangi tindakan kejatahan seperti mencuri;

4.     Mendistribusikan sumber daya alam yang mereka miliki secara merata untuk menghindari konflik dalam pendistribusian sumber daya alam, yakni antara masyarakat dari desa atau kecamatan yang berbeda;

5.     Menentukan cara pengelolaan sumber daya alam yang di laut dan di darat guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

6.     Untuk penghijauan/pelestarian alam (konservasi).

 

Secara tradisional, sasi diterapkan dalam tiga tingkat, yaitu sebagai berikut :

1.     Sasi perorangan, yakni melindungi sumber daya alam yang bisa menjadi milik pribadi dalam batas waktu tertentu. Adapun orang-orang yang boleh mengambil pohon buah-buahan hanya orang yang menaruh tanda sasi pada pohon tertentu.

2.     Sasi umun, yakni yang diterapkan untuk perkebunan campuran berbagai pohon yang ada di Maluku dan Papua, disebut sebagai dusun, kemudian diterapkan untuk sumber daya tertentu yang ada dalam kebun tersebut.

3.     Sasi desa, yakni berlaku bagi seluruh lapisan di desa tersebut, biasanya terdiri dari beberapa dusun.

 

Setelah kewenangan sasi semakin luas dan bertambah, akhirnya sasi berkembang menjadi empat kategori, yakni sebagai berikut :

1.     Sasi perorangan, yakni berlaku hanya untuk lahan saja, karena laut milik umum.

2.     Sasi umun, hanya berlaku untuk tingkat desa saja.

3.     Sasi gereja dan sasi masjid, yaitu sasi yang disetujui oleh pihak gereja, masjid atau masyarakat umum.

4.     Sasi negeri, yakni sasi yang disetujui oleh pemerintah lokal, seperti kepala desa, para bupati, contohnya untuk mengatasi masalah perselisihan mengenai batas wilayah.

 

Sasi berdasarkan lokasi dan jenis sumber daya alam. Sasi juga dapat diberlakukan lokasi-lokasi dan jenis-jenis sumber daya alam, yang terbagi menjadi empat kelompok utama, yakni sebagai berikut:

1. Di laut (Sasi laut), sasi tersebut diberlakukan dari batas air surut ke batas awal air yang dalam pada saat tertentu, yakni sebagai berikut :

·         Menangkap ikan seperti lompa (Thryssa baelama) (Engraulidae) serta jenis ikan lainnya, termasuk teripang dan udang;

·         Menangkap ikan-ikan di teluk-teluk tertentu dan pada waktu-waktu tertentu;

·         Menangkap ikan dengan menggunakn jaring yang bermata kecil (redi karoro);

·         Menangkap ikan dengan menggunakan bom atau bahan beracun;

·         Menangkap ikan dengan menggunakan jaring khusus untuk daerah penangkapan tertentu;

·         Mengambil lola (Trochus niloticus), karang laut, karang laut hitam, batu karang dan pasir;

·         Mengumpulkan rumput laut untuk keperluan makanan atau untuk dijual.

 

2. Di sungai (Sasi kali) pada saat :

·         Menangkap ikan dan udang;

·         Menangkap ikan dengan menggunakan jaring bermata kecil;

·         Menangkap ikan dengan bom atau racun;

·         Mengumpulkan kerikil dan pasir;

·         Menebang pohon dalam radius 200 dari sungai atau dari sumber-sumber air.

 

3. Di Daratan (Sasi hutan) pada saat :

·         Mengambil hasil pohon-pohon liar yang ditanam di hutan, seperti kelapa, durian, cengkeh, pala, langsat, mangga, nenas, kenari, pinang, sagu, enau dan lain sebagainya;

·         Mengambil daun sagu untuk atap rumah;

·         Menebang pohon pinang dan pohon lainnya yang sedang berbuah untuk membuat pagar;

·         Menebang pohon untuk kayu bakar atau kayu bangunan;

·         Menebang pohon pada lereng-lereng tertentu;

·         Penghijauan;

·         Berburu burung mamalia di hutan.

 

4. Di pantai (Sasi pantai) pada saat:

·         Mengambil hasil hutan mangrove;

·         Mengambil telur burung gosong/maleo yang hitam.

 

Namun, terjadi dilema dimana sasi sendiri sudah tidak berlaku seperti pada awal mula sasi diberlakukan. Hal ini karena kepala desa atau kewang, yakni orang yang ditunjuk untuk mendisiplinkan kewenangan atas sumber daya alam dan wilayah sudah mulai malas untuk memperhatikan tradisi sasi itu sendiri. Selain itu, banyak pendatang yang susah untuk ditertibkan, karena pada pendatang tersebut tidak terikat oleh sasi. Akibatnya, pemberlakuan sasi tidak dapat ditindak secara tegas, meskipun terdapat hukuman-hukuman atas pelanggaran sasi yang sudah disepakati sebelumnya. Banyaknya pendatang serta perusahaan-perusahaan besar yang mengambil sumber daya alam di Maluku semakin mengaburkan sistem sasi secara perlahan-lahan. Contoh yang terjadi akibat adanya pendatang adalah yang terjadi di Nus Leur dan Terbang Utara, dimana terdapat perahu-perahu penangkap ikan yang melanggar batas ketika mengambil hasil laut.

Sebelum tahun 1960, sasi laut dimaksudkan untuk mengatur penangkapan terhadap berbagai jenis ikan kawanan atas atau pelagic yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, yang mana jenis ikan tersebut hanya ada pada musim-musim tertentu, mempunyai tingkat migrasi yang tinggi serta hanya hidup pada perairan setempat ataupun sungai setempat. Sasi laut diletakkan pada petuanan laut yang meliput tanah, air, dan dasarnya, mulai dari pesisir pantai atau ruat met soin sampai dengan batas air yang berwarna hitam atau tahit ni wearSasi laut, seperti halnya sasi darat, ditandai dengan memasang atau mendirikan tanda atau lambang sasi berupa janur yang disebut hawear.

Sasi meti adalah sasi yang diletakkan pada zona pasang surut air laut agar tanaman dan organisme laut lainnya dapat beregenerasi atau berkembang biak. J.P. Rahail dalam bukunya menyatakan bahwa sasi meti adalah jenis sasi yang paling umum dan paling banyak ditemukan di Kei atau bahkan di seluruh Maluku. Salah satu alasan terpenting dan seringnya diberlakukan sasi meti adalah fakta bahwa kawasan pasang surut adalah kawasan utama sumber pangan subsitem seluruh warga desa, terutama pada saat-saat musim paceklik atau cuaca buruk ketika kondisi alam tidak memungkinan untuk melaut lebih jauh. Sasi ini juga dimaksudkan agar terjadi regenerasi dari biota-biota laut yang akan sering dikonsumsi oleh warga desa dan agar kapasitas penangkapannya bisa tetap terjaga. Beberapa desa meletakkan sasi meti beberapa minggu sebelum meti kei. Pengertian dari Meti kei adalah suatu keadaan tahunan pada saat air laut surut dan membentuk suatu kawasan laut yang kering, dan biasanya terjadi pada bulan September dan Oktober. Hal tersebut dimaksudkan agar perolehan hasil laut yang maksimal pada saat musim panen, yaitu saat seluruh masyarakat desa berkumpul di kawasan laut yang surut hingga mencapai satu kilometer untuk mengambil atau mengumpulkan ikan, kerang, rumput laut, teripang, dan hasil laut lainnya yang dapat mereka temukan di kawan surut (meti) itu. Apabila sasi meti sudah diberlakukan, maka bukan saja diberlakukan larangan untuk mengambil sumberdaya di daerah meti yang di-sasi tersebut, namun juga terkandung pula larangan untuk tidak menggangu habitat atau lingkungan dari biota-biota laut yang hidup di daerah yang di-sasi, seperti mengambil sumberdaya lain selain yang di-sasi, atau batu-batuan, maupun kayu-kayuan yang terdampar di daerah itu. Hal tersebut didasarkan pada suatu pengetahuan bahwa semua hal yang terdapat di daerah yang diletakkan sasi meti atasnya bisa menjadi tempat hidup bagi ikan ataupun organisme-organisme lainnya yang menjadi sumber makanan bagi ikan, sehingga dengan tetap menjaga habitat atau lingkungan tempat mereka berkembang biak berarti juga menjaga persedian bahan pangan dari laut untuk seluruh warga desa.

Jenis sasi laut lainnya adalah sasi lola. Sasi ini diberlakukan terhadap lola yang bernama ilmiah Trochus Niloticus, yaitu sejenis kerang yang hidup di daerah yang searah dengan tiupan angin di perairan dangkal yang kedalamannya tidak lebih dari 5 sampai dengan 8 meter. Pada hakikatnya sasi lola ini juga merupakan bagian dari sasi meti karena pada umumnya lola tersebut hidup pada daerah yang sering terjadi pasang surut dan diberlakukan sasi meti. Sasi lola lebih berdimensi ekonomi dibandingkan dengan sasi meti karena kerang lola menjadi salah satu komoditi andalan terutama untuk ekspor. Pada mulanya sasi lola hanya untuk kepentingan melindungi lola sebagai kerang yang isinya banyak dikonsumsi oleh masyarakat desa yang tinggal dekat dengan petuanan laut. Namun dalam beberapa tulisan, ditemukan suatu fakta sejarah bahwa sasi lola banyak dipengaruhi oleh perkembangan perdagangan lintas negara terhadap produk lola untuk dimanfaatkan sebagai kancing mutiara serta kulit lola dipakai dalm pembuatan cat mobil untuk medapatkan efek metalik. Berdasarkan perkembangan tersebut dan dimensi ekonomis yang dimilikinya, maka beberapa ratschap yang memiliki petuanan laut menganggap sasi lola diperlukan untuk menjaga kelestarian dan kesinambungan hidup lola. Jika terhadap sasi meti diberlakukan aturan bahwa semua ikan dan biota laut dilarang untuk diambil, maka sasi lola memiliki sedikit perbedaan dalam artian bahwa apabila sasi lola diberlakukan maka larangan hanya diberlakukan terhadap pengambilan lola namun kandungan hayati laut lainnya seperti ikan-ikan dan jenis kerang lainnya yang bukan lola tetap dapat bebas ditangkap. Masa buka sasi lola sangat variatif, biasanya hanya dua sampai tiga hari dalam interval setahun sekali sampai dengan sekali dalam empat atau lima tahun. Waktu untuk membuka sasi lola juga menjadi wewenang yang memasang sasi,yang dalam hal ini biasanya dilakukan dalam suatu kerapatan adat atau ditentukan oleh para sesepuh. Pemilihan waktu buka sasi lola juga kadang ditentukan oleh kebutuhan ekonomi yang mendesak, seperti misalnya untuk perbaikan gereja atau pembuatan jalan, pembelian generator listrik untuk desa, atau kesulitan keuangan periodik, alasan-alasan ini lebih sering melatarbelakangi dibukanya sasi daripada alasan-alasan ekologis. Masa buka sasi lola juga biasanya bergantung dari pengetahuan tradisional masyarakat. Misalnya waktu untuk penentuan buka sasi lola di Kepulauan Kei ditentukan berdasarkan pengetahuan-pengetahuan logis yang sederhana: telah ada lola yang mati dan terdampar yang berati telah dapat diambil, sasi dapat dibuka hari itu sebab pasang surut, air laut jernih dan tidak kabur atau keruh oleh hujan sehingga pandangan tidak terganggu ketika menyelam untuk mengambil lola. Khusus di wilayah Maur Ohoiwut, ada ketentuan khusus dan unik pada saat buka sasi lola yaitu ketentuan bahwa lola dengan ukuran garis tengah kurang dari lebar tiga jari (sekitar 4-5 cm) tidak boleh dipanen dan wajib dilepaskan kembali ke dalam laut

Menurut tuturan cerita rakyat Haruku, konon, dahulu kala di kali Learisa Kayeli terdapat seekor buaya betina. Karena hanya seekor buaya yang mendiami kali tersebut, buaya itu dijuluki oleh penduduk sebagai “Raja Learisa Kayeli”. Buaya ini sangat akrab dengan warga negeri Haruku. Dahulu, belum ada jembatan di kali Learisa Kayeli, sehingga bila air pasang, penduduk Haruku harus berenang menyeberangi kali itu jika hendak ke hutan. Buaya tadi sering membantu mereka dengan cara menyediakan punggungnya ditumpangi oleh penduduk Haruku menyeberang kali. Sebagai imbalan, biasanya para warga negeri menyediakan cincin yang terbuat dari ijuk dan dipasang pada jari-jari buaya itu. Pada zaman datuk-datuk dahulu, mereka percaya pada kekuatan serba-gaib yang sering membantu mereka. Mereka juga percaya bahwa binatang dapat berbicara dengan manusia. Pada suatu saat, terjadilah perkelahian antara buaya-buaya di pulau Seram dengan seekor ular besar di Tanjung Sial. Dalam perkelahian tersebut, buaya-buaya Seram itu selalu terkalahkan dan dibunuh oleh ular besar tadi. Dalam keadaan terdesak, buaya-buaya itu datang menjemput Buaya Learisa yang sedang dalam keadaan hamil tua. Tetapi, demi membela rekan-rekannya di pulau Seram, berangkat jugalah sang “Raja Learisa Kayeli” ke Tanjung Sial. Perkelahian sengit pun tak terhindarkan. Ular besar itu akhirnya berhasil dibunuh, namun Buaya Learisa juga terluka parah. Sebagai hadiah, buaya-buaya Seram memberikan ikan-ikan lompa, make dan parang parang kepada Buaya Learisa untuk makanan bayinya jika lahir kelak. Maka pulanglah Buaya Learisa Kayeli ke Haruku dengan menyusur pantai Liang dan Wai. Setibanya di pantai Wai, Buaya Learisa tak dapat lagi melanjutkan perjalanan karena lukanya semakin parah. Dia terdampar disana dan penduduk setempat memukulnya beramai-ramai, namun tetap saja buaya itu tidak mati. Sang buaya lalu berkata kepada para pemukulnya: “Ambil saja sapu lidi dan tusukkan pada pusar saya”. Penduduk Wai mengikuti saran itu dan menusuk pusar sang buaya dengan sapu lidi. Dan, mati lah sang “Raja Learisa Kayeli” itu. Tetapi, sebelum menghembuskan nafas akhir, sang buaya masih sempat melahirkan anaknya. Anaknya inilah yang kemudian pulang ke Haruku dengan menyusur pantai Tulehu dan malahan kesasar sampai ke pantai Passo, dengan membawa semua hadiah ikan-ikan dari buaya-buaya Seram tadi. Karena lama mencari jalan pulang ke Haruku, maka ikan parangparang tertinggal di Passo, sementara ikan lompa dan make kembali bersamanya ke Haruku. Demikianlah, sehingga ikan lompa dan make (Sardinilla sp) merupakan hasil laut tahunan di Haruku, sementara ikan parang parang merupakan hasil ikan terbesar di Passo.

 

Sumber:

https://id.wikipedia.org/wiki/Sasi

https://soloraya.com/2014/10/13/sasi-lompa-tradisi-pelestarian-lingkungan-warga-maluku/

http://www.wacana.co/2015/05/penerapan-sasi-dalam-sektor-perairan-orang-kei-maluku/

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Dari Rendang Hingga Gudeg: 10 Mahakarya Kuliner Indonesia yang Mengguncang Lidah
Makanan Minuman Makanan Minuman
DKI Jakarta

1. Rendang (Minangkabau) Rendang adalah hidangan daging (umumnya sapi) yang dimasak perlahan dalam santan dan bumbu rempah-rempah yang kaya selama berjam-jam (4–8 jam). Proses memasak yang sangat lama ini membuat santan mengering dan bumbu terserap sempurna ke dalam daging. Hasilnya adalah daging yang sangat empuk, padat, dan dilapisi bumbu hitam kecokelatan yang berminyak. Cita rasanya sangat kompleks: gurih, pedas, dan beraroma kuat. Rendang kering memiliki daya simpan yang panjang. Rendang adalah salah satu hidangan khas Indonesia yang paling terkenal dan diakui dunia. Berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat, masakan ini memiliki nilai budaya yang tinggi dan proses memasak yang unik. 1. Asal dan Filosofi Asal: Rendang berasal dari tradisi memasak suku Minangkabau. Secara historis, masakan ini berfungsi sebagai bekal perjalanan jauh karena kemampuannya yang tahan lama berkat proses memasak yang menghilangkan air. Filosofi: Proses memasak rendang yang memakan waktu lama mela...

avatar
Umikulsum
Gambar Entri
Resep Ayam Goreng Bawang Putih Renyah, Gurih Harum Bikin Nagih
Makanan Minuman Makanan Minuman
Jawa Barat

Ayam goreng adalah salah satu menu favorit keluarga yang tidak pernah membosankan. Namun, jika kamu ingin mencoba variasi yang lebih gurih dan harum, ayam goreng bawang putih renyah adalah pilihan yang tepat. Ciri khasnya terletak pada aroma bawang putih yang kuat serta kriukannya yang renyah saat digigit. Resep ini juga sangat mudah dibuat, cocok untuk menu harian maupun ide jualan. Bahan-Bahan Bahan Ayam Ungkep ½ kg ayam (boleh potong kecil agar lebih cepat matang) 5 siung bawang putih 4 siung bawang merah 1 sdt ketumbar bubuk 1 ruas kunyit (opsional untuk warna) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400 ml Bahan Kriuk Bawang 5–6 siung bawang putih, cincang halus 3 sdm tepung maizena ¼ sdt garam ¼ sdt lada Minyak banyak untuk menggoreng Cara Membuat Ungkep ayam terlebih dahulu Haluskan bawang putih, bawang merah, kunyit, dan ketumbar. Tumis sebentar hingga harum. Masukkan ayam, aduk rata, lalu tuang air. Tambahkan garam dan kaldu...

avatar
Apitsupriatna
Gambar Entri
Resep Ayam Ungkep Bumbu Kuning Cepat, Praktis untuk Masakan Harian
Makanan Minuman Makanan Minuman
Jawa Barat

Ayam ungkep bumbu kuning adalah salah satu menu rumahan yang paling praktis dibuat. Rasanya gurih, aromanya harum, dan bisa diolah lagi menjadi berbagai hidangan seperti ayam goreng, ayam bakar, hingga pelengkap nasi kuning. Keunggulan lainnya, resep ini termasuk cepat dan cocok untuk kamu yang ingin memasak tanpa ribet namun tetap enak. Berikut resep ayam ungkep bumbu kuning cepat yang bisa kamu coba di rumah. Bahan-Bahan ½ kg ayam, potong sesuai selera 4 siung bawang putih 5 siung bawang merah 1 ruas kunyit 1 ruas jahe 1 ruas lengkuas (geprek) 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 batang serai (geprek) 1 sdt ketumbar bubuk (opsional) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400–500 ml Minyak sedikit untuk menumis Cara Membuat Haluskan bumbu Blender atau ulek bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, dan ketumbar bubuk (jika dipakai). Semakin halus bumbunya, semakin meresap ke ayam. Tumis bumbu hingga harum Panaskan sedikit m...

avatar
Apitsupriatna
Gambar Entri
Konsep Ikan Keramat Sebagai Konservasi Lokal Air Bersih Kawasan Goa Ngerong Tuban
Cerita Rakyat Cerita Rakyat
Jawa Timur

Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...

avatar
Muhammad Rofiul Alim
Gambar Entri
Upacara Kelahiran di Nias
Ritual Ritual
Sumatera Utara

Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...

avatar
Admin Budaya