Budaya Jawa, China, dan Arab bertemu pada acara "Dugderan"½ Semarang, pawai yang menandai tepat satu hari sebelum Ramadhan, Minggu. Perpaduan tiga budaya tersebut terlihat dari sejumlah tarian dan busana dari para peserta pawai Dugderan yang dimulai dari Halaman Balai Kota Semarang Jalan Pemuda, Semarang. Acara pawai yang menyedot minat masyarakat itu, tidak hanya dimeriahkan tarian khas Kota Semarang, tetapi juga adanya aksi barongsai, rombongan sepeda "onthel"½, dan drumband dari Akpol setempat, kereta kencana yang dikendarai Wali Kota Semarang, prajurit berkuda, 80 warak ngendok, dan 80 bendi yang dikendarai para camat dan pimpinan satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Sepanjang jalan dari kawasan Balai Kota Semarang Jalan Pemuda menuju tempat tujuan pertama pawai Masjid Kauman, sekitar Pasar Johar, dipenuhi masyarakat yang ingin menyaksikan pawai dari dekat. Pawai tidak hanya berhenti di Masjid Kauman, tetapi juga diteruskan ke Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). "...
Alkisah ada sebuah rumah kecil di pinggir hutan rimba hiduplah seorang perempuan bernama Mbok Dhadap yang berusia paruh baya yang hidup sebatangkara tanpa teman dan saudara. Mbok Dhadap sangat mendambakan kehadiran seorang anak untuk menemaninya. Setiap hari ia berdoa agar mendapatkan seorang anak untuk menemaninya. Suatu hari ketika sedang mencari kayu di hutan, Mbok Dhadap bertemu dengan raksasa penguasa hutan rimba tersebut yang gemar memakan manusia. Mbok Dhadap gemetar menahan takut, karena tak kuasa menahan rasa takut, Mbok Dhadap tidak sadar bahwa kain jaritnya basah karena kencing. Raksasa itu tertawa lebar, suaranya bergemuruh memenuhi angkasa dan memekakkan gendang telinga. "Hua..haha GGGrrrrrrrhhhhhh..!!!!!, Hai Perempuan Tua !!! kau jangan takut padaku mendekatlah aku ingin menitipkan sesuatu untukmu." Mbok Dhadap tertunduk, masih menahan rasa takut yang tak terkira. "Raksasa kau jangan memakan aku, aku sudah tua." Lagi-lagi Raksasa itu tertawa. "Hua.....
Dimulai sejak tahun 1925, Bo Liem, seorang peminat seni wayang keturunan Tionghoa yang tinggal di Surakarta membuat aneka cerita dari dunia binatang lewat pagelaran Wayang Kancil. Ada sekitar 100 karakter binatang dengan gaya wayang tradisional Jawa dibuat. Wayang kancil menyajikan cerita-cerita fabel Jawa seperti dari serat Kancil Kridomartono, serat Kancil Salokadarmo atau serat Kancil Amongsastro. Saat ini, salah satu dalang yang melestarikan Wayang Kancil adalah Ki Lejar Subroto, yang tinggal di Yogyakarta. Bersama Ki Lejar, Wayang Kancil telah melanglang buana menjelajah manca negara.
Kawung diambil dari nama pohon kolang-kaling (buahnya). Artinya dalam kaweruh Jawi melambangkan ajaran sangkan paraning dumadhi. Atau ajaran terjadinya kehidupan manusia menurut Kejawen. Sedulur papat lima pancer. Pada awal Surakarta batik Kawung dipakai untuk kerabat Raja saja. Setelah mataram terbagi menjadi dua (Yogjakarta dan Surakarta) batik ini digunakan orang yang berbeda. Di Surakarta dikenakan kerabat Ponokawan (dalam pewayangan/abdi dalem). Sedangkan di Yogyakarta digunakan oleh abdi Sentana Ndhalem. Batik Kawung yang diambil dari ornamen buah pohon kolang-kaling mempunyai nilai filosofis mengisyaratkan supaya eling (ingat) kepada Tuhan Yang Maha Esa. Beberapa jenis Batik Kawung adalah Kawung Picis (diambil dari nama uang 10 sen), batik Kawung Bribil (uang pecahan 25 sen) dan batik kawung sen (uang pecahan 1 sen). Selain itu, secara umum, motif Kawung juga sering dikaitkan dengan filosofi bahwa keinginan dan usaha yang keras akan selalu membuahkan hasil, seperti rejek...
Teh Poci dan Sate Kambing Muda adalah makanan dan minuman khas yang banyak ditemui disekitaran daerah Brebes atau Tegal, biasanya dinikmati oleh masyarakat dimalam ataupun siang hari. RM/Toko yang Menyediakan : Sate Batibul Bang Awi Indonesian Restaurant Address: Jl. Raya Ujungrusi No.11, Ujungrusi, Adiwerna, Tegal, Jawa Barat 52194 Phone: (0283) 3448049
Lalitavistara: Kitab yang menceritakan Kisah kehidupan Sang Buddha. Di dalam candi Borobudur, tepatnya di sekeliling lantai kedua, di panel bagian atas di sebelah dalam, diilustrasikan kisah lengkap Lalitavistara. Berikut ini adalah hasil dokumentasi yang dilakukan disertai dengan kisahnya terkait kitab Lalitavistara. Catatan : 1. Halaman ini memuat beberapa puluh gambar, tunggu beberapa saat untuk bisa me-load semua gambar 2. Keterangan tentang adegan yang digambarkan dalam relief terdapat dalam keterangan tiap gambar.
Kisah Manohara adalah kisah yang ada dalam 20 panel relief Candi Borobudur, di lantai kedua bagian dalam, panel bawah, tepat di bawah kisah dari kitab Lalitavistara . Berikut di bawah ini adalah dokumentasi lengkap dari kisah Manohara di relief Candi Borobudur berikut interpretasi tekstualnya. Catatan : 1. Halaman ini memuat beberapa puluh gambar, tunggu beberapa saat untuk bisa me-load semua gambar 2. Keterangan tentang adegan yang digambarkan dalam relief terdapat dalam keterangan tiap gambar.
Kisah Mandathar ini merupakan salah satu dari kisah dari kitab Avadhana yang digambarkan dalam 20 panel di lantai kedua bagian dalam Candi Borobudur. Tepat di atasnya adalah bagian dari kisah Lalitavistara (Kisah Hidup Buddha) dan berada pada satu deret panel yang sama dengan relief kisah Manohara . Berikut ini adalah hasil dokumentasi yang dilakukan disertai dengan kisahnya terkait kitab Mandathar. Catatan: 1. Halaman ini memuat beberapa puluh gambar, tunggu beberapa saat untuk bisa me-load semua gambar 2. Keterangan tentang adegan yang digambarkan dalam relief terdapat dalam keterangan tiap gambar.
Masjid Laweyan ini merupakan akulturasi kebudayaan Hindu dan Islam. Sebelumnya Masjid ini merupakan Pura (tempat peribadatan umat Hindu). Perubahan fungsi dari Pura menjadi Masjid ini tidak lain merupakan peran dari Ki Ageng Henis yang bersahabat dengan seorang pandhita agama Hindu Ki Beluk. Masjid Laweyan ini dibangun tahun 1546 sekitar 200 tahun sebelum kota Solo terbentukMasjid Laweyan ini merupakan akulturasi kebudayaan Hindu dan Islam. Sebelumnya Masjid ini merupakan Pura (tempat peribadatan umat Hindu). Perubahan fungsi dari Pura menjadi Masjid ini tidak lain merupakan peran dari Ki Ageng Henis yang bersahabat dengan seorang pandhita agama Hindu Ki Beluk. Masjid Laweyan ini dibangun tahun 1546 sekitar 200 tahun sebelum kota Solo terbentuk