Tari Bedayan merupakan salah satu tarian khas Kota Malang yang biasa difungsikan sebagai tarian penyambutan tamu. Menurut legenda, Tari Bedayan menggambarkan pertemuan raja-raja Jawa dengan Ratu Laut Selatan Nyi Roro Kidul. Tari Bedayan mengisyaratkan keterbukaan dan perlakuan istimewa terhadap tamu, di mana diharapkan akan mendapatkan keberkahan. Tari Bedayan dibawakan oleh sembilan penari dengan nama atau julukan beserta peran yang berbeda-beda. Nama-nama tersebut antara lain Apit ngajeng, Apit Meneng, Apit Wingking, Batak, Buncit, Dada, Endel, Endel Weton, dan Gulu. Peran berbeda yang dimaksudkan di sini adalah setiap penari memiliki bagian tersendiri namun tetap selaras dalam kesatuan gerakan. Ciri khas dari Tari Bedayan adalah gerakan tarian yang lemas gemulai dengan formasi yang teratur. Musik yang digunakan untuk mengiringi tarian ini berjenis musik alunan Jawa dengan iring-iringan gamelan sendu membuat para penonton Tari Bedayan merasakan keterikatan em...
Pelaksanaannya di tanggal yang sama tiap tahunnya. Hal ini dimaksudkan untuk bersyukur kepada Sang Kuasa atas segala berkah yang diberikan, termasuk hasil panen wilayah tersebut dan membuang sial. Acara bersih desa dilaksanakan selama sehari semalam. Dimulai dengan hajatan warga yaitu makan bersama setelah melakukan doa bersama di tempat yang dikeramatkan di daerah tersebut. Setelah itu puncak acara dilaksanakan di rumah tetua desa. Biasanya acaranya menggelar wayang kulit, campursari atau tari remo tergantung kebiasaan di wilayah tersebut. Jadi "Bersih Desa" sendiri tidak bisa diartikan secara harfiah bersih-bersih.
Warga Bawean kalau tidak bisa menciptakan sesuatu yang sifatnya alternatif, sekalipun hal itu berupa kesenian. Khawatir dengan budaya modern yang terlalu mengumbas goyangan erotis dan pornoaksi, sejumlah seniman Bawean menciptakan kesenian Kercengan. Karena dicipatkan seniman asli Bawean, tarian ini bernuansa religius. Kalau kita pernah melihat tarian Saman dari Nagro Aceh Darussalam, maka kesenian tersebut hampir mirip dengan seni Kercengan di Bawean. Bedanya penari Kercengan membawa alat musik kercengan yang menari mengikuti alunan alat musik kercengan. Sementara tari Saman, penarinya murni melakukan atraksi olah tubuh tari-tarian degan diiringi nyanyian sang penari. Serupa tapi tidak sama, demikian penilaian orang saat membandingkan Kercengan dengan tarian Saman. Untuk tarian Kercengan, penarinya terdiri puluhan orang gadis berjejer beberapa baris di depan. Seperti dengan tarian Saman, seni Kercengan juga mengutamakan gerak tangan, menggunakan dua unsur gerak yang menjadi uns...
“Reogke” secara etimologi merujuk pada reog, yaitu kesenian topeng harimau yang erat hubungannya dengan masyarakat Ponorogo. Sementara, “ke” pada “reogke” lebih mengidentifikasikan sang pencipta kesenian reog, yakni Ki Ageng Kutu. Reogke merupakan bentuk lain dari kesenian reog. Kesenian ini merupakan pertunjukan tari kreasi. Dalam tari reogke, sosok Ki Ageng Kutu dihadirkan dalam pementasan menjelma menjadi Bujanganong. Sebagai kesenian rakyat, reog tercipta sebagai media untuk menyampaikan kritik terhadap pemerintahan Majapahit yang saat itu dipimpin oleh Bre Kertabumi. Kesenian ini tercipta berkat kepekaan Ki Ageng Kutu menangkap gejala yang terjadi di dalam istana. Saat itu, Bre Kertabumi yang bijaksana telah dikendalikan oleh permaisurinya yang berasal dari Kerajaan Campa. Gerak dalam tari reogke merupakan perwujudan dari cara Permaisuri mengendalikan kekuasaan Raja Bre Kertabumi. Misalnya gerak yang menggambar...
Dungkrek atau dongkrek merupakan salah satu jenis musik masyarakat Caruban-Madiun, yang sekarang sudah terkubur keberdaannya atau punah. Alat musik dungkrek terdiri dari : Bedug Keteg, terbuat dari perunggu. Kempul, terbuat dari perunggu. Kentongan, terbuat dari bambu. Gong beri. Kecer, terbuat dari perunggu. Dua buah korek-korek, terbuat dari kayu. Nama dungkrek diambil dari alat musik terakhir di atas yaitu korek-korek. Cara memainkan alat musik korek-korek yaitu ujungnya dipegang dan diputar, maka timbullah bunyi atau suara ‘krek-krek’. Adapun bunyi ‘dung’ nya ditimbulkan dari alat-alat ritmis lainnya seperti bedug. Pada hakekatnya fungsi bunyi-bunyian dungkrek ini adalah untuk mengiringi suatu tarian yang juga dinamakan tari dungkrek. Jadi nama dungkrek meliputi tarian maupun iringan musiknya. Sumber : budayajawa.id/seni-musik-tradisional-dungkrek/
Pada zaman dahulu kala, di sebelah utara Gunung Kendeng berdiri sebuah kerajaan bernama Malowopati. Rajanya bergelar Prabu Anglingdarma. Ia seorang raja yang arif dan bijaksana serta kaya raya. Wajahnya tampan. Ia suka bertapa dan berkelana mencari pencerahan jiwa. Tak heran jika ia termasuk seorang raja yang disegani oleh kawan maupun lawan karena kelebihan dan kesaktian yang dimilikinya. Konon, Prabu Anglingdarma juga dikaruniai anugerah untuk mengerti dan mengetahui bahasa semua binatang. Ketika Anglingdarma masih berusia muda, ia senang keluar masuk desa. Banyak negeri yang disinggahinya. Semua itu ia lakukan demi menambah wawasan, ilmu pengetahuan, dan pengalaman hidup. "Aku tak akan mengambil seorang istri kecuali titisan dari Dewi Widowati," katanya dalam hati. Anglingdarma terus mengembara, menuruti kata hatinya. Pada suatu waktu, ia berjumpa dengan seorang putri cantik jelita, mengenakan selendang sutra ungu, kembang beludru, dan kebaya sutra kesumba....
Dewi Sanggalangit, putri Raja Kediri tampak berduka. Ia bingung memilih siapa yang tepat menjadi suaminya. Sementara, puluhan raja menantikan kepastian dari sang Dewi. Sore itu datang dua pelamar lagi. Mereka adalah Patih Iderkala dan Patih Bujang Ganong. Patih Iderkala melamarkan Raja Singabarong dari kerajaan Ladoya, Blitar. Patih Bujang Ganong mewakili Raja Kelana Suwandana dari Kerajaan Wengker, Ponorogo. "Kali ini kau harus bisa menentukan pilihanmu. Kedua raja itu amat sakti. Mereka akan menyerang kita kalau mereka kau buat malu," nasehat ayah Dewi Sanggalangit. "Beri hamba waktu sepuluh hari Ayahanda, agar hamba bisa menimbang dengan bijaksana," sahut Dewi Sanggalangit. "Baik. Janjimu itu akan Ayah teruskan kepada raja pelamarmu," ujar ayah Dewi Sanggalangit lega. Dewi Sanggalangit masuk ke kamarnya. Ia bersemedi dengan khidmat. Ketika genap sepuluh hari, Dewi Sanggalangit memperoleh...
ari Mung Dhe adalah tari tradisional yang berasal dari Desa Garu, kecamatan Baron, Nganjuk . Dalam tari ini bertemakan kepahlawanan dan cinta tanah air, heroik, patriotisme . Selain itu tari ini berkaitan erat dengan kalahnya prajurit Diponegoro yang dipimpin oleh Sentot Prawirodirdjo ). Dalam tari ini menggambarkan beberapa prajurit yang sedang berlatih perang yang lengkap dengan orang yang membantu dan memberi semangat kepada kedua belah pihak yang sedang latihan. Pihak yang membantu dan memberi semangat, di sebut botoh. Botohnya ada dua yaitu penthul untuk pihak yang menang dan tembem untuk pihak yang kalah. Sikap dan tingkah laku kedua botoh ini gecul atau lucu, sehingga membuat orang lain yang menyaksikan tari Mung Dhe, terkesan tegang dan kadang merasa geli, karena yang berlatih perang memakai pedang , sedangkan botohnya lucu . Secara keseluruhan, tari Mung Dhe melibatkan 14 pema...
Kethek Ogleng adalah sebuah tari yang gerakannya menirukan tingkah laku kethek (kera).Tari Kethek Ogleng dipentaskan oleh 3 penari wanita dan seorang penari laki-laki sebagai manusia kera. Tari diawali dengan ketiga penari wanita masuk panggung terlebih dulu, kemudian 2 penari berlaku sebagai dayang-dayang dan seorang penari memerankan sebagai putri Dewi Sekartaji, Putri Kerjaan Jenggala, Sidoarjo. Sedangkan seorang penari laki-laki berperan sebagai Raden Panji Asmorobangun dari kerajaan Dhaha Kediri. Awalnya, tari ini ditarikan oleh masyarakat Desa Tokawi, Kecamatan Nawangan, Pacitan. Dengan menceritakan kisah Raden Asmorobangun dan Dewi Sekartaji yang keduanya saling mencintai dan bercita-cita ingin membangun kehidupan harmonis dalam sebuah keluarga. Namun, Raja Jenggala, ayahanda Dewi Sekartaji, mempunyai keinginan untuk menikahkan Dewi Sekartaji dengan pria pilihannya. Ketika Dewi Sekartaji tahu akan dinikahkan dengan laki-laki pilihan ayahnya, diam-diam Dewi Sekartaji...