Pada zaman dahulu kala, di sebelah utara Gunung Kendeng berdiri sebuah kerajaan bernama Malowopati. Rajanya bergelar Prabu Anglingdarma. Ia seorang raja yang arif dan bijaksana serta kaya raya. Wajahnya tampan. Ia suka bertapa dan berkelana mencari pencerahan jiwa. Tak heran jika ia termasuk seorang raja yang disegani oleh kawan maupun lawan karena kelebihan dan kesaktian yang dimilikinya. Konon, Prabu Anglingdarma juga dikaruniai anugerah untuk mengerti dan mengetahui bahasa semua binatang.
Ketika Anglingdarma masih berusia muda, ia senang keluar masuk desa. Banyak negeri yang disinggahinya. Semua itu ia lakukan demi menambah wawasan, ilmu pengetahuan, dan pengalaman hidup.
"Aku tak akan mengambil seorang istri kecuali titisan dari Dewi Widowati," katanya dalam hati.
Anglingdarma terus mengembara, menuruti kata hatinya. Pada suatu waktu, ia berjumpa dengan seorang putri cantik jelita, mengenakan selendang sutra ungu, kembang beludru, dan kebaya sutra kesumba.
"Hai, Nimas siapa namamu?" tanya Anglingdarma.
Anak itu tak menjawab. Ia tersipu malu, kemudian beranjak pergi meninggalkan Anglingdarma.
"Nimas, tidakkah Nimas mau berkenalan denganku?" tanya Anglingdarma sambil mengikuti jalannya dari belakang.
Ia tampak semakin gemas. Dicubitnya anak gadis itu. "Dimas tolong aku!" teriak anak gadis itu. (dimas = dinda = adik)
Tiba-tiba, datanglah pemuda tampan yang usianya hampir sebaya dengan Anglingdarma.
"Hai, Kisanak siapa namamu?"
"Namaku Anglingdarma. Siapa namamu?"
"Namaku Batikmadrim."
"Sebuah nama yang bagus," kata Anglingdarma.
"Apakah engkau suami gadis ini?" sambung Anglingdarma.
"Bukan. Aku bukan suaminya."
"Lalu apa hubunganmu dengan gadis ini?"
"Dia adalah kakak perempuanku," jawab Batikmadrim.
Anglingdarma tersenyum simpul seolah-olah tak percaya kata-kata Batikmadrim.
"O, ya? Benarkah ia kakak perempuanmu?"
"Benar, dia kakak perempuanku."
"Kau tidak berbohong bukan?"
"Selama ini, aku belum pernah berbohong kepada siapa pun."
"Maafkan aku kalau tadi aku menggoda kakakmu. Perlu kau ketahui pula, aku sebenarnya mencintai kakakmu."
"Apa? Kau mencintai kakakku? Sudahkah kaupikirkan kata-katamu?"
"Ya, aku sangat mencintai dia!"
"Engkau boleh saja mencintai kakakku asalkan kau dapat mengalahkanku!" kata Batikmadrim.
"Sombong benar pemuda ini!" gumam Anglingdarma.
"Bagaimana? Engkau berani melayani tantanganku?"
"Baiklah, tantanganmu kuterima!"
Sesaat kemudian, keduanya telah terlibat dalam pertarungan adu kesaktian lahir dan batin. Dalam pertarungan itu, Anglingdarma mengalahkan Batikmadrim.
"Bagaimana Batikmadrim? Apakah engkau telah mengakui kekalahanmu?"
"Ya, secara kesatria dan jujur, aku mengakui kemenanganmu atas diriku. Oleh sebab itu, aku rela mengabdi pada dirimu."
Anglingdarma merasa terharu dengan kejujuran dan kesetiaan Batikmadrim.
"Batikmadrim, ketahuilah siapa diriku sebenarnya. Aku adalah raja dari Kerajaan Malowopati."
"Oh, Prabu maafkan diriku. Sungguh aku tak tahu. Sekali lagi, aku minta maaf atas kelancanganku."
"Sudahlah Batikmadrim. Sebenarnya aku tahu siapa dirimu. Oleh sebab itu, sejak tadi aku telah memaafkanmu. Aku merasa bangga dengan keberanianmu dan janji setiamu itu akan kuterima. Engkau tak hanya kujadikan seorang abdi, tetapi akan kuangkat menjadi seorang mahapatih di Malowopati."
"Terima kasih Prabu. Baktiku hendak kupersembahkan bagi bangsa, negara, dan keharuman nama Paduka."
"O, ya siapa nama kakakmu ini?"
"Kakak, engkau ditanya Sang Prabu. Jawablah dengan senang hati."
"Bukankah yang ditanya itu Dimas? Dimas saja yang menjawab."
"Namanya Dewi Setyowati, Prabu," jawab Batikmadrim.
"Bagaimana menurut pendapatmu seandainya aku mengambilnya sebagai istri?"
"Mohon maaf, Prabu. Sebaiknya, Prabu berkenan melamarnya pada Ramanda Resi."
Anglingdarma menuruti nasihat Batikmadrim. Mereka bertiga sepakat untuk menemui Sang Resi di padepokan.
Sesampainya di padepokan, Sang Resi menyambut Anglingdarma dengan senang hati. Ketika Anglingdarma menyampaikan maksudnya hendak melamar Dewi Setyowati, Sang Resi pun merestui dan mempersilakan Anglingdarma untuk memboyong putrinya, Dewi Setyowati.
Pesta pernikahan Prabu Anglingdarma dengan Dewi Setyowati berlangsung meriah. Semakin lama cinta mereka juga semakin bertambah.
Pada suatu malam, dua ekor cicak terlibat dalam percakapan akrab.
Ketika api telah berkobar, Dewi Setyowati melompat ke dalam api
"Hai, cicak betina! Lihatlah Prabu Anglingdarma dan Dewi Setyowati. Mereka pasangan yang serasi. Rasanya aku ingin seperti mereka!" kata cicak jantan.
"Cicak jantan, janganlah engkau bodoh! Tak mungkin kita bisa menjadi bangsa manusia!" kata cicak betina.
Anglingdarma yang mendengar percakapan kedua cicak itu tertawa terpingkal-pingkal. Dewi Setyowati kaget dibuatnya. Ia merasa tersinggung dengan ulah Anglingdarma.
"Mengapa Kanda tertawa sendirian? Kanda sedang menertawakan diriku?" tanya Dewi Setyowati.
"Tidak! Aku tidak sedang menertawakan dirimu, Dinda. Tetapi, coba lihatlah kedua cicak di dinding itu!" kata Anglingdarma.
"Ada apa dengan dua ekor cicak itu?"
"Mereka iri pada kita!"
"Dari mana Kanda tahu, mereka iri pada kita?"
"Aku tahu bahasa mereka, bahkan seluruh bahasa binatang di dunia ini."
"Oh, Kanda. Kalau begitu Dinda mohon, ajarilah Dinda supaya Dinda tahu bahasa mereka seperti Kanda."
"Maafkan aku Setyowati. Terpaksa aku tak dapat meluluskan permintaanmu karena ilmu ini tak boleh diketahui oleh siapa pun termasuk dirimu selain Kanda sendiri."
"Sekarang aku tahu. Kanda tak mencintai aku lagi."
"Janganlah berkata seperti itu."
"Buktinya, Kanda tak mau mengajariku bahasa binatang itu. Oh, Kanda Prabu. Kalau Kanda Prabu tetap tak memperbolehkan diriku untuk menguasai bahasa binatang itu lebih baik aku mati obong (mati dengan cara memasuki api yang sedang berkobar-kobar). Untuk apa hidup kalau tak dapat merasakan bahagia seperti Kanda Prabu," kata Dewi Setyowati menakut-nakuti Anglingdarma.
Berulang kali Anglingdarma memberi pengertian, menasihati, dan mengingatkan Dewi Setyowati. Namun, Dewi Setyowati tetap pada pendiriannya hendak mati obong. Akhirnya, dengan berat hati Anglingdarma menuruti kehendak Dewi Setyowarti yang hendak mati obong.
Semua peralatan yang hendak digunakan mati obong oleh Dewi Setyowati telah dipersiapkan. Para brahmana suci mengelilingi perapian sambil memanjatkan doa-doa semoga roh Dewi Setyowati diselamatkan oleh Hyang Mahaagung.
Ketika api telah berkobar, Dewi Setyowati melompat ke dalam api. Meski tubuhnya hangus terbakar, rohnya diselamatkan oleh Hyang Mahaagung dan kelak bisa menitis menjadi wanita utama yang akan menjadi istri Anglingdarma.
Meskipun Dewi Setyowati telah mati obong, kesuciannya tetap terjaga. Anglingdarma menyebutnya sebagai "Ibu Negara" atau Bojonegara, artinya 'seorang kekasih yang setia'. Dewi Setyowati tak hanya istri setia Anglingdarma, tetapi telah menjadi "Istri Negara" atau Bojonegoro.
Kesimpulan
Cerita ini termasuk legenda.
Kesetiaan Dewi Setyowati terhadap Anglingdarma dan Kerajaan Malowopati tetap dikenang oleh masyarakat di Kabupaten Bojonegoro sebagai seorang pahlawan yang ikhlas tanpa pamrih.
Cerita ini memberi pelajaran kepada kita mengenai kerelaan seseorang untuk berkorban. Seorang wanita juga memiliki hak yang sama dengan kaum pria, yaitu berbakti kepada bangsa dan negara.
SUMBER. EREADING WAP PUBLIC
SEJARAH BOJONEGORO...
ZAMAN SEBELUM KABUPATEN BERDIRI
Kehidupan pra sejarah Indonesia khususnya Pulau Jawa tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Bengawan Solo, maka Bojonegoro yang dibelah oleh sungai Bengawan Solo mempunyai dua wilayah Utara dan Selatan serta dua daerah Jipang Hulu(sekarang Jipang Hulu yang berada di bawah pemerintahan desa Ngelo Kec. Margomulyo wilayah bagian barat kabupaten bojonegoro) dan Jipang Hilir dan dikelilingi gunung Kendeng dan Gunung Pandan.
Setiap makhluk hidup memerlukan air, begitu halnya dengan manusia pra sejarah, mereka juga memerlukan air untuk hidup, dan air Bengawan Solo sanggup mencukupi kebutuhan mereka akan air.
Maka oleh sebab itu dan lain hal Bengawan Solo dan daerah sekitar alirannnya menjadi tempat kubur sebagian binatang dan manusia zaman pra sejarah.
Fosil makhluk bertulang belakang ditemukan penduduk Karangpoh - Jawik kecamatan Tambakrejo di hilir sungai Tinggang (1985), seperti halnya fosil-fosil yang banyak ditemukan di daerah Trinil dan Sangiran Ngawi yang termasuik daerah aliran Bengawan Solo.
Orang Kalang
Di daerah perbatasan Blora – Tuban – Bojonegoro, sekarang masuk wilayah antara Kedewan dan Senori Tuban ditemukan 47 kuburan batu. Mereka diyakini sebagai sekelompok orang yang disebut Kalang yang hidupnya di tengah lebatnya hutan dan berlindung di gua-gua. Dan kemungkinan mereka termasuk dari rumpun Malaya-Polynesian awal yang hidup pada masa megalitikum suatu zaman yang menghasilkan bangunan-bangunan batu besar yang berkembang setelah zaman kehidupan bercocok tanam meluas.
Menurut pendapat lain, dilihat dari temuan perkakas dari logam di tempat tinggalnya seperti pisau dapur, kapak tebang dan lain-lain. Orang Kalang adalah sekelompok pekerja/kuli; seperti kuli kayu, dan kuli batu.
Masa Sejarah Kuno
Sejarah Indonesia kuno berlangsung selama 12 abad, dimulai dari abad IV Kerajaan Kutai Kaltim hingga abad XVI runtuhnya kerajaan Majapahit Jatim. Dari beberapa artefak, benda-benda peninggalan sejarah yang ditemukan dan dari cerita-cerita rakyat serta digabungkan dengan nama-nama beberapa daerah seperti Mlawatan, Badander dan Matahun bisa disimpulkan bahwa sejarah Bojonegoro Kuno bercorak Hindu di bawah kekuasaan Majapahit.
Setelah Majapahit runtuh, kehidupan politik sosial ekonomi budaya dan agama lambat laun menyesuaikan dengan penguasa yang datang setelah itu yakni kerajaan Demak yang bercirikan Islam.
ZAMAN MADYA
Setelah kerajaan super power Majapahit runtuh dan banyak daerah-daerah yang memerdekaan diri menjadi kerajaan-kerajaan kecil -salah satunya-kerajaan Islam Demak dengan penguasa pertamanya Raden Patah Senapati Jimbun Adipati Bintoro.
Tibalah masa Bojonegoro masuk wilayah kerajaan Islam Demak, Raden Patah mengangkat puteranya, Pangeran Sekar Kusuma yang dikenal dengan Pangeran Seda Lepen menjadi Adipati di Jipang. Pusat kadipaten Jipang adalah Blora Selatan antara Cepu dan kota Blora sekarang. Pangeran Sekar Kusuma yang sangat dihormati rakyat Jipang terbunuh oleh Surayata utusan Sunan Prawata sewaktu pulang dari salat Jumat, di pinggir sungai Bengawan Solo maka dijuluki SEDA (mati) LEPEN (sungai).
Setelah sultan Demak I, Raden Patah digantikan putera tertuanya, Adipati Unus atau terkenal dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor. Pangeran ini mati muda saat melawan Portugis 1521 dan belum mempunyai anak.
Yang seharusnya menggantikannya adalah Pangeran Seda Lepen, putra Raden Patah berikutnya, namun ini tidak terjadi, yang memegang pimpinan Demak adiknya, Raden Tranggono hingga terbunuh di benteng Panarukan 1546. Setelah itu ia digantikan oleh puteranya, Pangeran Prawata. Tentang suksesi itu, tidak hanya Pangeran Seda Lepen yang sakit hati tetapi juga puteranya, Pangeran Aria Penangsang, hak mereka berdua dilalui.
Untuk mengisi kekosongon pemerintahan Adipati Pajang Jaka Tingkir juga menantu Raden Tranggono didorong oleh saudara-saudara iparnya untuk menduduki jabatan Sultan Demak 1549 namun baru dinobatkan pada 1558. Masa kejayaan Demak mulai pudar dengan dipindahnya ibukota kerajaan beserta benda-benda pusaka kerajaan Demak ke daerah Pajang oleh Jaka Tingkir yang setelah menjadi raja berjuluk Sultan Adiwijaya/Sultan Pajang, maka berdirilah kerajaan Pajang.
Raden Aria Penangsang menggantikan Pangeran Sekar Kusuma menjadi Adipati Jipang, lalu berusaha membalas kematian ayahnya. Aria Penangsang tidak tunduk ke Pajang karena tidak mengakui keabsahan Adipati Pajang menjadi Sultan, memuncaklah pertikaian Jipang-Pajang yang juga melibatkan dua orang wali, Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga dalam ranah politik praktis, yang disinyalir sejak lama mereka sering bersaing dalam memengaruhi kebijakan politik kekuasaan.
Pertikaian Jipang – Pajang akhirnya dimenangkan oleh Pajang dengan bantuan dari Ki Gede Pemanahan, Ki Juru Martani dan Ki Panjawi. Jipang jatuh dalam kekuasaan Pajang pada tahun 1558. Aria Mataram, saudara Aria Penangsang dari lain ibu, diangkat menjadi Adipati Jipang oleh Sultan Pajang tindakan politis ini untuk meminimalisir dendam Jipang terhadap Pajang.
Aria Mataram sebagai Adipati Jipang segera bekerja dan meneruskan segala yang telah diperbuat oleh ayahnya, Pangeran Sekar Kusuma untuk kemakmuran rakyat Jipang yang sempat mundur karena peperangan. Aria Mataram menugaskan seorang muballigh yang terkenal dengan sebutan Kiai Menak Anggrung, makamnya di Kuncen-Padangan untuk mengajarkan agama Islam ke wilayah Jipang sebelah Timur dan Selatan Bengawan Solo.
BOJONEGORO DI MASA KERAJAAN MATARAM.
Pangeran Benawa putra Sultan Pajang tidak mampu melawan Senapati Sutawijaya yang telah merebut kekuasaan Pajang 1587. Senopati memboyong semua benda pusaka kraton Pajang ke Mataram. Senapati secara biologis anak Ki Gede Pemanahan tetapi diambil anak angkat sejak kecil oleh Sultan Adiwijaya, jadi dia adalah saudara angkat Pangeran Benawa. Semasa kecil Sutawijaya bernama Raden Mas Ngabehi Loring Pasar.
Jipang di bawah Adipati Pangeran Benawa I, tidak banyak kemajuan mungkin hanya memindah pusat kadipaten ke lebih selatan dan tetap di utara Bengawan Solo, lalu diteruskan oleh anaknya, yang juga bernama Pangeran Benawa II.
Kemudian diganti oleh Raden Jambu Adipati VI sebelum Raja II Mataram, Panembahan Krapyak mangkat 1613 menggantikan Sutawijaya pada 1601.
Jadi Raden Jambu memerintah Jipang 1598-1612. Diteruskan oleh putranya, Adipati Sukawati.
Karena jasanya kepada Mataram menaklukkan Tuban 1619 hingga penguasa Tuban, Pangeran Dalem melarikan diri ke Bawean, kembali ke desa Rajekwesi.
Lima tahun kemudian meninggal dunia dan dimakamkan di Kadipaten 1624, makamnya disebut Buyut Dalem.
Keturunan Sukawati memerintah Jipang sampai saat berdirinya Kabupaten Jipang pada tahun 1677.
TAHUN BERDIRINYA BOJONEGORO.
Kabupaten terbentuk sebagai akibat kekalahan politik Susuhunan terhadap Kompeni yang melahirkan dua Keraton; Surakarta dan Ngayogyakarta.
Maka tanggal lahir Kabupaten Bojonegoro menurut data Serat Prajangjiyan Dalem Parara Ingkang Jumeneng Nata tanggal 20 Oktober 1677 dan Mas Tumapel sebagai Bupati I.
Pada masa ini pusat pemerintahan bergeser ke seberang Bengawan Solo (Padangan, sekarang) dari arah pendudukan Kumpeni di pantai. Mas Tumapel merangkap menjadi Wedana Bupati Mancanegara Timur.
Pada tahun 1725 Susuhunan Paku Buwana II naik tahta, tahun itu juga memerintahkan Raden Tumenggung Haria Matahun I memindahkan pusat pemerintahan Jipang dari Padangan ke desa Rajekwesi. Mulai saat itu nama Kabupaten Jipang berubah menjadi Rajekwesi, letaknya 10 km arah selatan kota Bojonegoro.
Politik divide et impera Belanda berhasil memecah belah Mataram menjadi dua, Surakarta Hadiningrat dan Jogyakarta Hadiningrat melalui Perjajanjian Gianti 1755. Akibat perjanjian tersebut Jipang Bojonegoro ditetapkan menjadi wilayah Kerajaan Jogyakarta.
Pada 20 Juni 1812, Inggris melalui Thomas Stamford Rafles memperkecil Kerajaan Jogyakarta, bahwa Kabupaten Jipang diserahkan kepada Inggris. Jipang menjadi daerah jajahan, bupati berubah menjadi ‘pegawai’ gupernemen di bawah Residen Rembang, Jawa Tengah.
Rakyat Jipang bersama RT. Sosrodilogo melakukan pemberontakan-pemberontakan, tetapi pada tanggal 2 Januari 1828 Kolonel Van Griesheim berhasil merebut kota Rajekwesi, kota rusak berantakan sementara Sosrodilogo melanjutkan gerilya di pedalaman.
Tanggal 25 September 1828 nama Rajekwesi berubah menjadi Bojonegoro, kota baru ini dibangun 10 km utara kota lama Rajekwesi, di tepi Bengawan Solo, dilalui jalan pos Rajekwesi-Babad-Lamongan-Surabaya. (Kenapa tidak menetapkan tanggal 25/9/1828 sebagai hari jadi Bojonegoro karena lebih spesifik menyebut kata Bojonegoro).
Demikian ikhtisar yang singkat sejarah masa-masa awal berdirinya Kabupaten Bojonegoro. Sengaja tidak kami paparkan sejarah Bojonegoro pada zaman Penjajahan hingga hari ini, karena kami yakin referensi untuk hal itu lebih banyak dan mudah di dapat. Semoga bisa diambil hikmahnya dan bermanfaat bagi kita generasi selanjutnya.BERSAMA TEAM INK
Kabupaten Bojonegoro
Dari Wikipedia
Moto: Jer Karta Raharja Mawa Karya
(Jika Ingin Sejahtera Harus Bekerja)
Kabupaten Bojonegoro, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Ibu kotanya adalah Bojonegoro. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Tuban di utara, Kabupaten Lamongan di timur, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Madiun, dan Kabupaten Ngawi di selatan, serta Kabupaten Blora (Jawa Tengah) di barat. Bagian barat Bojonegoro (perbatasan dengan Jawa Tengah) merupakan bagian dari Blok Cepu, salah satu sumber deposit minyak bumi terbesar di Indonesia.
Daftar isi
Bengawan Solo mengalir dari selatan, menjadi batas alam dari Provinsi Jawa Tengah, kemudian mengalir ke arah timur, di sepanjang wilayah utara Kabupaten Bojonegoro. Bagian utara merupakan Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo yang cukup subur dengan pertanian yang ekstensif. Kawasan pertanian umumnya ditanami padi pada musim penghujan, dan tembakau pada musim kemarau. Bagian selatan adalah pegunungan kapur, bagian dari rangkaian Pegunungan Kendeng. Bagian barat laut (berbatasan dengan Jawa Tengah) adalah bagian dari rangkaian Pegunungan Kapur Utara.
Kota Bojonegoro terletak di jalur Surabaya-Cepu-Semarang. Kota ini juga dilintasi jalur kereta api jalur Surabaya-Semarang-Jakarta.
Kabupaten Bojonegoro terdiri atas 27 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah 419 desa dan 11 kelurahan. Pusat pemerintahan di Kecamatan Bojonegoro.
Sejarah
Masa kehidupan sejarah Indonesia Kuno ditandai oleh pengaruh kuat kebudayaan Hindu yang datang dari India sejak Abad I. Hingga abad ke-16, Bojonegoro termasuk wilayah kekuasaan Majapahit. Seiring dengan berdirinya Kesultanan Demak pada abad ke-16, Bojonegoro menjadi wilayah Kerajaan Demak. Dengan berkembangnya budaya baru yaitu Islam, pengaruh budaya Hindu terdesak dan terjadilah pergeseran nilai dan tata masyarakat dari nilai lama Hindu ke nilai baru Islam dengan disertai perang dalam upaya merebut kekuasaan Majapahit (wilwatikta). Peralihan kekuasaan yang disertai pergolakan membawa Bojonegoro masuk dalam wilayah Kerajaan Pajang (1586), dan kemudian Mataram (1587).
Daftar Bupati
Sebelum kemerdekaan
Tahun Nama
1943-1945 R. Tumenggung Oetomo
1937-1943 R. Tumenggung Achmad Surjodiningrat
1936-1937 R. Dradjat
1916-1936 R. Adipati Aryo Kusumoadinegoro
1890-1916 R. Adipati Aryo Reksokusumo
1888-1890 R. M. Sosrokusumo
1878-1888 R. M. Tumenggung Tirtonoto II
1844-1878 R. Adipati Tirtonoto I
1828-1844 R. Adipati Djojonegoro
1827-1828 R. Tumenggung Sosrodilogo
1825-1827 R. Adipati Djojonegoro
1823-1825 R. Tumenggung Purwonegoro
1821-1823 R. Tumenggung Sosrodiningrat
1816-1821 R. Tumenggung Sumonegoro
1811-1816 R. Prawirosentiko
1800-1811 R. Ronggo Djenggot
1760-1800 R. M. Guntur Wirotedjo
1756-1760 R. Purwodidjojo
1755-1756 R. Ronggo Prawirodirjo I
1743-1755 R. Tumenggung Hario Matahun III
1741-1743 R. Tumenggung Hario Matahun II
1718-1741 Ki Songko (R. Tumenggung Hario Matahun I)
1705-1718 Ki Wirosentiko (R. Tumenggung Surowidjojo)
1677-1705 Pangeran Mas Toemapel
Sesudah kemerdekaan
Tahun Nama
2008-2013 Drs. H. Suyoto, M.Si.
2003-2008 Kolonel (pur) H.M. Santoso
1998-2003 Drs. H. Atlan
1993-1998 Drs. H. Imam Soepardi
1988-1993 Drs. H. Imam Soepardi
1983-1988 Drs. Soedjito
1978-1983 Drs. Soeyono
1973-1978 Kolonel Invantri Alim Sudarsono
1968-1973 Letnan Kolonel Invantri Sandang
1960-1968 R. Tamsi Tedjo Sasmito
1959-1960 R. Soejitno
1955-1959 R. Baruno Djojoadikusumo
1951-1955 Mas Kusno Suroatmodjo
1950-1951 R. Sundaru
1949-1950 R. Tumenggung Sukardi
1947-1949 Mas Surowijono
1945-1947 R. Tumenggung Sudiman Hadiatmodjo
Budaya
Masyarakat Samin
Dusun Jepang, salah satu dusun dari 9 dusun di Desa Margomulyo yang berada di kawasan hutan memiliki luas 74,733 hektar. Jarak sekitar 4,5 kilometer dari ibu kota Kecamatan Margomulyo, 69 kilometer arah barat-selatan atau kurang lebih dengan jarak tempuh antara 2-2,5 jam perjalanan dengan kendaraan dari ibu kota Bojonegoro dan 259 kilometer dari ibu kota Provinsi Jawa Timur (Surabaya).
Masyarakat Samin yang tinggal di dusun tersebut, adalah figur tokoh atau orang-orang tua yang gigih berjuang menentang Kolonial Belanda dengan gerakan yang dikenal dengan Gerakan Saminisme, yang dipimpin oleh Ki Samin Surosentiko. Dalam Komunitas Samin tidak ada istilah untuk membantu Pemerintah Belanda seperti menolak membayar pajak, tidak mau kerja sama, tidak mau menjual apalagi memberi hasil bumi kepada Pemerintah Belanda. Prinsip dalam memerangi Kolonial Belanda melalui penanaman ajaran Saminisme yang artinya sami-sami amin (bersama-sama) yang dicerminkan dan dilandasi oleh kekuatan, kejujuran, kebersamaan dan kesederhanaan.
Sikap perjuangann mereka dapat dilihat dari profil orang samin yakni gaya hidup yang tidak bergelimpangan harta, tidak menjadi antek Belanda, bekerja keras, berdoa, berpuasa dan berderma kepada sesama. Ungkapan-ungkapan yang sering diajarkan, antara lain: sikap lahir yang berjalan bersama batin diungkapkan yang berbunyi sabar, nrimo, rilo dan trokal (kerja keras), tidak mau merugikan orang lain diungkapkan dalam sikap sepi ing pamrih rame ing gawe dan selalu hati-hati dalam berbicara diungkapkan ojo waton ngomong, ning ngomong kang maton. Lokasi masyarakat Samin (dusun Jepang) memiliki prospek untuk dikembangkan menjadi obyek Wisata Minat Khusus atau Wisata Budaya Masyarakat Samin melalui pengembangan paket Wisata Homestay bersama masyarakat Samin. Hal yang menarik dalam paket ini ialah para wisatawan dapat menikmati suasana dan gaya hidup kekhasan masyarakat Samin. Untuk rintisan tersebut, kebijakan yang telah dilakukan adalah melalui penataan kampung dan penyediaan fasilitas sosial dasar.
Tari tayub
Tayub merupakan tari pergaulan yang populer bagi masyarakat Bojonegoro dan sekitarnya. Tarian ini biasanya dilakukan oleh pria dengan diiringi gamelan dan tembang Jawa yang dilantunkan oleh waranggono yang syairnya sarat dengan petuah dan ajaran.
Pertunjukan tari ini banyak dipergunakan untuk meramaikan kegiatan hajatan yang banyak dilaksanakan oleh warga Bojonegoro ataupun kegiatan kebudayaan yang lain. Biasanya dalam mengadakan kegiatannya, tarian tayub ini sudah terkoordinasi dalam suatu kelompok tertentu dengan nama khas masing-masing.
Biasanya kelompok-kelompok tari tayub ini banyak terdapat di Kecamatan Temayang dan Bubulan yang terletak sekitar 30 km dari Kecamatan Kota Bojonegoro.
Wayang thengul
Wayang Thengul adalah kesenian wayang khas ponorogo yang populer juga di Bojonegoro. dalam bentuk 3 dimensi dengan diiringi gamelan pelog/slendro seperti halnya reog ponorogo.
Walaupun wayang thengul ini jarang dipertunjukkan lagi, tetapi keberadaannya tetap dilestarikan di Kabupaten Bojonegoro, khususnya di Kecamatan Kanor yang berasalkan dari kata KANORAGAN karena pada ssat itu warok ponorogo menunjukan kekuatan kanoragaanya di sela- sela pentas reog ponorogo dan wayang thengul, daerah ini yang berjarak ± 40 Km dari Kota Bojonegoro. Sedangkan jalan cerita dari wayang thengul ini lebih banyak mengambil warok suromenggolo dan sekitarnya.
Produk unggulan
Kerajinan mebel kayu jati
Produk unggulan ini telah lama dikenal dan berkualitas ekspor, karena Bojonegoro merupakan penghasil kayu jati berkualitas. Corak dan desain telah disesuaikan dengan situasi zaman, baik lemari, buffet, meja, kursi atau tempat tidur.
Adapun daerah-daerah yang terkenal sebagai industri mebel yaitu diantaranya sukorejo dan temayang. apa yang membedakan mebel bojonegoro dengan mebel yang lain, mebel bojonegoro dibuat dari kayu-kayu jati asli dan memiliki umur yang bisa di bilang sudah cukup tua, dengan menggukan kayu yang tua maka hasil mebelnya dan ukirannya akan sangat indah sehingga memberikan corak yang khas.
Kerajinan bubut-cukit
Bentuk souvenir kayu jati khas Bojonegoro yang tetap menonjolkan guratan kayu jati. Penggarapannya dilakukan secara teliti dan detail, tapi tetap mempertimbangkan aspek estetika. Khususnya berupa miniatur mobil, sepeda motor, becak, kereta api, jam dinding atau guci, penghias interior.
Kerajinan limbah kayu
Kerajinan limbah kayu jati yang dibentuk menjadi karya seni dalam berbagai model sudah merambah pasar ekspor ke berbagai negara.
Kerajinan batu onix
Bojonegoro memiliki tambang batu onix yang melimpah sehingga berbagai produk kerajinan onix dapat dihasilkan dengan kualitas sangat memuaskan. Pusat kerajinan batu onix terdapat di Kecamatan Bubulan.
Ledre
Ledre adalah makanan khas Bojonegoro. Berbentuk gapit (seperti emping gulung) dengan aroma khas pisang raja yang manis. Sangat tepat untuk teman minum teh atau dan sajian tamu atau untuk oleh-oleh.
Perbedaan ledre dengan gapit yaitu ledre lebih halus, lembut dan aroma pisangnya menyengat, sementara gapit agak kasar. selain dari pisang raja ledre juga bisa terbuat dari berbagai pisang misalnya pisang saba, pisang hijau, pisang susu,dll. tetapi yang khas di daerah bojonegoro atau lebih optimalnya dalam membuat ledre yaitu menggunakan pisang raja.
Salak Wedi
Salak Wedi rasanya manis, masir, renyah, segar dan besar. Dapat dijumpai di setiap pekarangan rumah penduduk di desa Wedi dan sekitarnya. Perbedaan Salak Wedi dengan salak lain, seperti Salak Pondoh, adalah kandungan air yang lebih banyak sehingga membuat Salak Wedi terasa lebih segar.
Keberadaan Salak Wedi sudah ada sejak puluhan bahkan ratusan tahun silam, yang secara turun-temurun telah menjadi sumber pendapatan bagi warga Desa Wedi. Konon asal muasal bibit salak ini pertama kali dibawa oleh seorang Ulama' yang mengajarkan agama Islam di desa Wedi. Dari bibit tersebut terus berkembang hingga tidak hanya desa Wedi tetapi meliputi juga beberapa desa sekitar Wedi, yaitu Kalianyar dan Tanjungharjo.
Blimbing Ngringinrejo
Blimbing dengan berat 2 - 3 ons per buah dapat dijumpai di kebun buah desa Ngringinrejo, Kecamatan Kalitidu, Bojonegoro. Rasanya manis, segar dan harum, sangat tepat untuk hidangan penutup, rujak dan lain-lain.
Agrowisata tembakau
Bojonegoro adalah penghasil tembakau virginia terbesar di Indonesia dan telah lama dikenal sebagai tembakau terbaik di dunia. Hijaunya tanaman tembakau hampir di seluruh wilayah Bojonegoro dapat dilihat antara bulan Mei - Oktober.
Tempat wisata
Bojonegoro memiliki banyak tempat wisata meskipun belum terkelola secara maksimal. Akan tetapi hal ini tentu saja bisa menjadi daya tarik tersendiri. Berikut adalah beberapa diantaranya:
Kahyangan Api
Merupakan sumber api alam yang menyala sepanjang tahun. dan terletak pada posisi yang sangat strategis yaitu dikelilingi oleh hutan-hutan yang dilindungi dan bebas dari pencemaran polusi. selain sumber api abadi di kahyangan api juga terdapat mata air yang konon dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit kulit.
Anehnya air ini dari jauh berbau busuk tetapi setelah mendekat baunya itu hilang dan dari jauh air ini kelihatang seperti air mendidih tetapi kalau kita sudah mengambilnya maka air tersebut terasa dingin dan sejuk.
Konon, menurut suatu cerita rakyat, keampuhan lokasi Kahyangan Api telah dirasakan semenjak pemerintah Maha Prabu Angling Dharma (Sri Aji Dharma) dari Malawapati, yang melatih para prajurit Malawapati di lokasi Kahyangan Api tersebut. Bahkan, ada beberapa pusaka Malawapati yang ditempa di Kahyangan Api, termasuk pusaka-pusaka andalan Kerajaan Malawapati dan Kerajaan Bojonegoro pada zaman Hindu madya di masa silam. Meskipun benar tidaknya cerita tersebut belum diketahui secara pasti, Serat Astra Dharma yang saat ini tersimpan di salah satu museum terkenal di Belanda, dapat menjelaskan bahwa hal tersebut benar-benar nyata. Serat yang ditulis pada masa Raja Astra Dharma alias Prabu Purusangkana, ayah kandung Prabu Angling Dharma (putera Prabu Kijing Wahana, suami Dewi Pramesthi) yang legendaris tersebut. Apabila Serat Astra Dharma tersebut dapat dikembalikan ke Indonesia, dapat diketahui dengan pasti bagaimana silsilah raja-raja Malawapati, Yawastina, dan Mamenang yang bersumber dari satu asal yaitu Prabu Parikesit, raja Hastinapura dari India.
Waduk Pacal
Waduk Pacal yaitu merupakan salah satu tempat wisata yang ada di bojonegoro, wisata ini menyuguhkan lingkungan alam yang sangat mempesona karena di kelilingi oleh bukit-bukit yang sangat indah.
Wana Wisata Dander
keunggulan dari wisata ini yaitu tempat yang sangat luas dan dilengkapi dengan padang golf, wisata ini sangat cocok untuk anak-anak karena selain padang golf, disana juga terdapat berbagai macam permainan anak-anak, seperti taman bermain, kolam untuk mandi bola, kolam renang dan sungai yang sangat jernih dengan keadaan sekelilingnya yang sejuk dan tentu saja bebas dari polusi.
Forum Warga Bojonegoro
Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur
Sejarah Kabupaten Bojonegoro
Masa kehidupan sejarah Indonesia kuno ditandai oleh pengaruh kuat kebudayaan Hindu yang datang dari India sejak abad I yang membedakan warna kehidupan sejarah Indonesia jaman Madya dan jaman Baru. Sedangkan Bojonegoro masih dalam wilayah kekuasaan Majapahit, sampai abad XVI ketika runtuhnya kerajaan Majapahit, kekuasaan pindah ke Demak, Jawa Tengah. Bojonegoro menjadi wilayah kerajaan Demak, sehingga sejarah Bojonegoro kuno yang bercorak Hindu dengan fakta yang berupa penemuan-penemuan banyak benda peninggalan sejarah asal jaman kuno di wilayah hukum Kabupaten Bojonegoro mulai terbentuk. Slogan yang tertanam dalam tradisi masyarakat sejak masa Majapahit “sepi ing pamrih, rame ing gawe” tetap dimiliki sampai sekarang.
Bojonegoro sebagai wilayah kerajaan Demak mempunyai loyalitas tinggi terhadap raja dan kerajaan. Kemudian sehubungan dengan berkembangnya budaya baru yaitu Islam, pengaruh budaya Hindu terdesak dan terjadilah pergeseran nilai dan tata masyarakat dari nilai lama Hindu ke nilai baru Islam tanpa disertai gejolak. Raden Patah, Senopati Jumbun, Adipati Bintoro, diresmikan sebagai raja I awal abad XVI dan sejak itu Bojonegoro menjadi wilayah kedaulatan Demak. Dalam peralihan kekuasaan yang disertai pergolakan membawa Bojonegoro masuk dalam wilayah kerajaan Pajang dengan raja Raden Jaka Tinggkir Adipati Pajang pada tahun 1568.
Pangeran Benawa, putra Sultan Pajang, Adiwijaya merasa tidak mampu untuk melawan Senopati yang telah merebut kekuasaan Pajang 1587. Maka Senopati memboyong semua benda pusaka kraton Pajang ke Mataram, sehingga Bojonegoro kembali bergeser menjadi wilayah kerajaan Mataram. Daerah Mataram yang telah diserahkan Sunan Amangkurat kepada VOC berdasarkan perjanjian, adalah pantai utara Pulau Jawa, sehingga merugikan Mataram.
Perjanjian tahun 1677 merupakan kekalahan politik berat bagi Mataram terhadap VOC. Oleh karena itu, status kadipaten pun diubah menjadi kabupaten dengan wedana Bupati Mancanegara Wetan, Mas Toemapel yang juga merangkap sebagai Bupati I yang berkedudukan di Jipang pada tanggal 20 Oktober 1677.
Maka tanggal, bulan dan tahun tersebut ditetapkan sebagai HARI JADI KABUPATEN BOJONEGORO. Pada tahun 1725 Susuhunan Pakubuwono II naik tahta. Tahun itu juga Susuhunan memerintahkan agar Raden Tumenggung Haria Mentahun I memindahkan pusat pemerintahan kabupaten Jipang dari Padangan ke Desa Rajekwesi. Lokasi Rajekwesi ± 10 Km di selatan kota Bojonegoro. Sebagai kenangan pada keberhasilan leluhur yang meninggalkan nama harum bagi Bojonegoro, tidak mengherankan kalau nama Rajekwesi tetap dikenang di dalam hati rakyat Bojonegoro sampai sekarang.
Meluruskan Sejarah Bojonegoro
Pertanyaan pertama yang muncul dalam pikiran kita saat melintas di depan Pendopo Pemkab Bojonegoro yang bertuliskan PENDOPO MALOWOPATI adalah apakah benar Bojonegoro itu bumi Angling Dharmo ??
Sebagai pemerhati sejarah kiranya penulis akan mengulas tentang pelurusan sejarah Bojonegoro. Agar generasi saat ini sampai mendatang tidak terbelenggu dengan mitos yang tidak bisa dibuktikan secara akademis/keilmuan.
Sebagaimana saat anda memasuki wilayah Bojonegoro akan terpampang jelas dengan kalimat sambutan "Selamat Datang Di Bumi Angling Dharmo". Tidak hanya itu saja tim sepakbola kebanggaan warga Bojonegoro memiliki sebutan "Laskar Angling Dharmo". Kemudian Radio Pemerintah Pemkab Bojonegoro pun menamakan stasiun radionya dengan "Stasiun Radio Malowopati". Bahkan Pendopo Pemkab Bojonegoro pun menggunakan nama "Pendopo Malowopati". Nama Malowopati itu sendiri diambil dari lokasi Kerajaan yang dipimpin Prabu Angling Dharmo yaitu Kerajaan Malowopati. Bahkan sebagian besar warga Bojonegoro pun meyakini bahwa Angling Dharmo adalah prabu yang memiliki kerajaan di Bojonegoro. Ditambah lagi dengan ditayangkannya serial Prabu Angling Dharmo di stasiun televisi swasta nasional seolah-olah menambah keyakinan masyarakat Bojonegoro bahwa Prabu Angling Dharmo memang berasal dari Bojonegoro.
Pemkab saat itu menegaskan bahwa Bojonegoro adalah Bumi Angling Dharmo. Hingga saat ini yang tertanam di pikiran masyarakat Bojonegoro, ANgling Dharmo adalah leluhur Bojonegoro.
Perlu diketahui Pemkab Bojonegoro sekitar tahun 1988 dalam buku Sejarah Kabupaten Bojonegoro, ditambah dengan terbitnya buku Sejarah Kepolisian Resort Bojonegoro yang mnegaskan bahwa tidak ada bukti peninggalan Kerajaan Malowopati. Penegasan secara ilmiah ini dinyatakan oleh Balai Arkeologi Jogjakarta.
Namun ironis sekali, sejarah yang ditulis secara ilmiah itu ternyata tidak sampai pada generasi muda Bojonegoro saat ini. Akibatnya, generasi muda Bojonegoro hingga kini masih belum memahami sejarah yang benar. Seharusnya di sekolah mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Melalui pelajaran sejarah atau IPS bisa menjelaskan sejarah kelahiran Bojonegoro ini. Jadi maklum saja, di sekolah mereka tidak mendapatkan sejarah yang benar. Mereka hanya percaya tanpa bukti sejarah. Sehingga sejarah yang diterima di kepala siswa adalah cerita mitos Prabu Angling Dharma tanpa bukti ilmiah, kaum muda Bojonegoro dipaksa untuk percaya cerita rakyat atau legenda yang jelas-jelas tanpa ada bukti sejarah yang konkret. Dalam ilmu sejarah ada 3 (tiga) unsur dalam sejarah. Yaitu yang pertama; Manusia, yaitu sebagai pelaku sejarahnya, Kedua; Tempat, yaitu dimana letak/lokasi peristiwa sejarah itu, dan ketiga; waktu, yaitu kapan terjadinya peristiwa tersebut. Untuk Cerita Angling Dharmo jelas tidak memenuhi salah satu unsur keilmuan sejarah. Dan bisa disimpulkan itu adalah legenda/cerita rakta. Ironi kan ??
Penulis khawatir jika sejarah yang benar tidak diajarkan kepada siswa, maka akibatnya generasi muda Bojonegoro percaya kepada mitos. Apabila masyarakat mempercayai mitos maka logika sederhana tentang realita keilmuan akan hablur.
Pada kenyataannya Angling Dharmo ternyata bukan hanya klaim dari Bojonegoro. Di daerah lain yaitu di Jawa Tengah seperti Pati, Sragen juga mengklaim sebagai daerah asal Prabu Angling Dharmo. Banyaknya klaim tersebut menegaskan jika Angling Dharmo adalah cerita rakyat, bukan sejarah yang harus diakui kebenarannya.
Pada bulan Agustus 2012 Tim Balai Arkeologi Jogjakarta juga menegaskan situs Mlawatan di wilayah kecamatan Kalitidu tepatnya di desa Wotangare yang di percaya sebagai petilasan Batik Madrim yaitu adik dari Prabu Angling Dharmo juga ditemukan bekas bangunan kerajaan. Tetapi Balai Arkeologi tidak menegaskan bahwa itu adalah situs lokasi reruntuhan bangunan kerajaan, melainkan sisa-sisa reruntuhan lokasi bangunan kompleks rumah. Dengan ciri bata nerah panjang 40 C cm lebar 20 cm dengan ketebalan 5 cm merupakan ciri khas bata masa kerajaan Majapahit.
Memang di lokasi tersebut (situs Mlawatan) ditemukan tumpukan batu bata, tetapi itu bukan komleks bangunan kerajaan. Oleh karena itu penyebutan Bojonegoro sebagai bumi Nagling Dharmo perlu ditinjau ulang. Khususnya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Sebab jika generasi muda diberi sejarah yang menyesatkan maka akan sesat pula generasi selanjutnya tentang jati diri Bojonegoro.
Sejarah Bojonegoro sendiri adalah merupakan bekas dari wilayah kerajaan Rajekwesi yang merupakan wilayah perdikan dari kerajaan Pajang di Jawa Tengah. Yang berlokasi di wilayah Mojoranu sekarang ini.
Penulis : Achmad Satria Utama, S.Pd (Guru Mata pelajaran Sejarah SMA Negeri 1 Dander Bojonegoro)
Sejarah kayangan api.
12 12 2011
Setiap daerah masing-masing punya karakteristik menyangkut suksesi kepemimpinan yang dihelat lima tahunan sekali. Termasuk di dalamnya, bagaimana menyikapi budaya yang berkemabang kental di sana, terutama, bagi seseorang yang ingin meraih tahta sebagai seorang bupati.
Dan bagi para kandidat calon bupati (cabup) di kota berjuluk Bumi Anglingdarma atau Kota Ledre seperti Kabupaten Bojonegoro, mesti hati-hati pada simbol-simbol yang muncul jauh sebelum pesta itu sendiri diputar. Sumber api abadi bernama Kahyangan Api, kerap dipercaya sebagai pertanda siapa pewaris trah manakala yang bersangkutan bias ‘menjinakkan’ nyala apinya.
Menjinakkan nyala api di sumber api abadi Kahyangan Api, tidak lantas bermakna memadamkan nyala apinya. Tapi, lebih diartikan sebagai gerakan menyatukan keinginan masyarakat yang dari waktu ke waktu terus berkembang dan beragam aspirasinya. Namun, sesungguhnya hanya satu kata yang diinginkan: jangan pernah berbohong dan mebohongi diri sendiri.
Akan tetapi, jangan sekali-kali seorang kandidat cabup melintas jalanan Kahyangan Api yang dikelilingi rerimbunan hutan jati, bila hatinya tak bersih. Seperti misalnya, menonjolkan sifat takabur dan cuma ingi meraih kedudukan apalagi semata berniat mengumpulkan harta.
“Orang boleh mempercayainya atau tidak. Tapi, coba renungkan bagaimana sikap para bupati pendahulu kita, ketika era kerajaan dulu. Siapa yang waspada dan hati-hati, niscaya akan menggapai kemakmuran bersama,” tutur Mbah Rujito, yang setiap hari malam pon kerap terlihat duduk bersila di dekat perapian sumber api abadi Kahyangan Api.
Seperti diketahui, Kahyangan api adalah salah satu obyek pariwisata yang ada di Kabupaten Bojonegoro. Sumber api yang tidak pernah kunjung padam, yang terletak di kawasan hutan lindung, tepatnya berada pada Desa Sendangharjo, Kecamatan Ngasem dikelilingi kabut misteri yang belum terpecahkan hingga kini. Ada kepercayaan di kalangan pesinden dan pedagang yang ingin meraih sukses untuk melakukan ritual di sana.
Kahyangan api, konon, adalah tempat bersemayamnya Mbah Kriyo Kusumo atau Empu Supa atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah Pande yang berasal dari Kerajaan Majapahit. Ada bukti historis yang penting yang menguatkan kahyangan api dengan ditemukannnya 17 lempeng tembaga yang berangka 1223 / 1301 Masehi.
Penemuan prassati di Desa Mayangrejo, Kecamatan Kalitidu pada tanggal 12 Maret 1992 tersebut, berbahasa jawa kuno yang menurut penelitian berasal pada zaman Raja Majapahit I yakni, Kertarajasa Jaya Wardhana. Isi dari prasasti tersebut, adalah pembebasan desa Adan-adan dari kewajiban membayar pajak dan juga ditetapkannya daerah tersebut sebagai sebuah sima perdikan atau swantantra.
Penghargaan Ini diberikan oleh Raden Wijaya terhadap salah satu rajarsi (pungawa, red) atas jasa dan pengabdiannya yang besar terhadap Kerajaan Majapahit saat itu. Dan rajarsi tersebut tidak lain adalah Empu Supa yang lebih mashur deangan sebuatan Mbah Pande.
Sebelah barat sumber api terdapat kubangan lumpur yang berbau belerang. Dan menurut kepercayaan masyarakat setempat, dikubangan itulah Mbah Pande, melakukan aktivitas membuat alat-alat perang hingga alat pertanian. Masyarakat sekitar menganggap keberadaan api abadi tersebut keramat hingga-harus melakukan ritual jika, hendak mengambil pi tersebut.
Menurut cerita, api tersebut hanya boleh diambil jika ada upacara penting seperti yang telah dilakukan pada masa lalu, seperti upacara Jumenengan Ngarsodalem Hamengku Buwono X dan untuk mengambil api melalui suatu prasyarat yakni selamatan/wilujengan dan tayuban dengan gending eling-eling, wani-wani dan gunungsari yang merupakan gending kesukaan Mbah Kriyo Kusumo. Oleh sebab itu ketika gending tersebut dialunkan dan ditarikan oleh waranggono (penembang lagu jawa, red) tidak boleh ditemani oleh siapapun.
Kepercayaan tersebut, dipegang teguh oleh masyarak Bojonegoro. Ini terbukti, pada acara ritual pengambilan api tersebut juga dilakukan digelar. Terlebih, pengambilan api PON yang pertama dilakukan di pimpin oleh tetua masyarakat yang dipercaya pada saat itu. Sementara untuk prosesi tersebut meliputi, Asung sesaji (menyajikan sesaji) dan dilanjutkan dengan tumpengan (selamatan).
Dari berbagai sumber cerita, maka kahyangan api yang letakya sekitar 25 km dari ibukota Bojonegoro dijadikan sebagai obyek wisata alam dan dijadikan tempat untuk upacara penting yakni Hari Jadi Kabupaten Bojonegoro, ruwatan masal dan Wisuda Waranggono.
Tempat wisata ini telah dibenahi dengan berbagai fasilitas seperti pendopo, empat jajanan, jalan penghubung ke lokasi dan fasilitas lainnya. Lokasi kahyangan api sangat baik untuk kegiatan sebagai
lokasi wisata alam bebas(outbound).
Dan pada hari-hari tertentu terutama pada hari Jum’at Pahing banyak orang berdatangan di lokasi tersebut untuk maksud tertentu seperti agar usahanya lancar, dapat jodoh, mendapat kedudukan dan bahkan ada yang ingin mendapat pusaka. Acara tradisional masyarakat yang dilaksanakan adalah Nyadranan (bersih desa) sebagai perwujudan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa.
Pengembangan wisata alam Kahyangan api diarahkan pada peningkatan prasarana dan sarana transportasi, telekomunikasi dan akomodasi yang memadai. Kunjungan ke obyek wisata Kahyangan api dapat dilanjutkan perjalanan ke obyek wisata alam Watu Jago Bojonegoro.
Sumber: http://mitos-cerita-legenda.blogspot.com/2017/01/legenda-asal-usul-nama-bojonegoro.html