Berasal dari Ciamis yang ditulis pada abad ke 18 M, dalam bahasa Jawa dan huruf Arab Pegon. NASKAH KARYA ORANG LUAR, YANG BANYAK MENCERITAKAN TENTANG SEJARAH SUNDA KLASIK Kidung Sunda / Kidung Sundayana Kidung Sunda adalah sebuah tulisan / naskah dalam bahasa Jawa pertengahan yang berbentuk syair (tembang), yang kemungkinan berasal dari Bali. Dalam kidung ini diceritakan tentang kisah pencarian seorang permaisuri Hayam Wuruk dari Majapahit, dan tragedi perang bubat yang memilukan. Kidung Sunda adalah sumber tertulis yang paling terinci dan paling penting dalam mengupas tentang peristiwa Bubat yang memilukan dan memalukan. Sebagai naskah kuno yang terdapat di Bali, Kidung Sunda memberikan yang relative adil dalam mengupas tragedy berdarah di bubat, penghianatan Gajah Mada dan kepahlawanan Sunda yang tanpa pantang menyerah. Dari kisahnya, dengan gaya bahasanya yang lugas dan lancar, tidak berbelit-belit seperti karya-karya sastra,...
Prasasti Sanghyang Tapak (juga dikenal sebagai Prasasti Jayabupati atau Prasasti Cicatih ) adalah prasasti kuno perangka tahun 952 saka (1030 M), terdiri dari 40 baris yang memerlukan 4 buah batu untuk menulisnya. Keempat batu prasasti ini ditemukan di tepi Sungai Cicatih, Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat. Tiga diantaranya ditemukan di dekat Kampung Bantar Muncang, sementara sebuah lainnya ditemukan di Kampung Pangcalikan. Prasasti ini ditulis dalam huruf Kawi Jawa. Kini keempat batu prasasti ini disimpan di Museum Nasional Republik Indonesia, Jakarta, dengan kode D 73 (Cicatih), D 96, D 97, dan D 98. Isi tiga prasasti pertama (menurut Pleyte): D 73: //O// Swasti shakawarsatita 952 karttikamasa tithi dwadashi shuklapa-ksa. ha. ka. ra. wara tambir. iri- ka diwasha nira prahajyan sunda ma-haraja shri jayabhupati jayamana- hen wisnumurtti samarawijaya shaka-labhuwanamandaleswaranindita harogowardhana wikra-mottunggadewa, ma- D 96: gaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway...
Teks di bagian muka: Inilah jejak (tapak) (di) Kawali (dari) tapa beliau Yang Mulia Prabu Raja Wastu (yang) mendirikan pertahanan (bertahta di) Kawali, yang telah memperindah kedaton Surawisesa, yang membuat parit pertahanan di sekeliling wilayah kerajaan, yang memakmurkan seluruh pemukiman. Kepada yang akan datang, hendaknya menerapkan keselamatan sebagai landasan kemenangan hidup di dunia. Teks di bagian tepi tebal: Jangan dimusnahkan! Jangan semena-mena! Ia dihormati, ia tetap. Menggunakan bahasa dan aksara Sunda (Kaganga) Ditulis pada batu. sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Astana_Gede ,
Prasasti Cikajang berisi tiga baris tulisan dalam aksara dan bahasa Sunda Kuno, mirip dengan aksara pada prasasti Kawali (Noorduyn l988). Transkripsi dari tulisan tersebut adalah: Bhagi bhagya ka nu ngaliwat J. Noorduyn, seorang ahli Sunda berkebangsaan Belanda, meragukan keaslian prasasti ini. Menurutnya, prasasti ini "sangat mungkin" dibuat oleh K. F. Holle dalam rangka menyambut kedatangan tamunya waktu itu, H.N.van der Tuuk, yang berkunjung ke Perkebunan Teh milik K.F.Holle di kawasan Waspada (Garut) pada tahun 1870-an sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Cikajang
Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal atau Padrão Sunda Kelapa adalah sebuah prasasti berbentuk tugu batu (padrão) yang ditemukan pada tahun 1918 di Batavia, Hindia-Belanda. Prasasti ini menandai perjanjian Kerajaan Sunda–Kerajaan Portugal yang dibuat oleh utusan dagang Portugis dari Malaka yang dipimpin Enrique Leme dan membawa barang-barang untuk "Raja Samian" (maksudnya Sanghyang, yaitu Sang Hyang Surawisesa, pangeran yang menjadi pemimpin utusan raja Sunda). Padrão ini didirikan di atas tanah yang ditunjuk sebagai tempat untuk membangun benteng dan gudang bagi orang Portugis. Prasasti ini ditemukan kembali ketika dilakukan penggalian untuk membangun fondasi gudang di sudut Prinsenstraat (sekarang Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Kali Besar Timur I), sekarang termasuk wilayah Jakarta Barat. Padrao tersebut sekarang disimpan di Museum Nasional Republik Indonesia, sementara sebuah replikanya dipamerkan di Museum Sejarah Jakarta. Sejarah...
Prasasti Rumatak adalah salah satu dari prasasti peninggalan Kerajaan Galuh. Lokasi penemuan terletak di Gunung Gegerhanjuang, Desa Rawagirang, Singaparna, pada tahun 1877. Prasasti ini kini disimpan di Museum Nasional Indonesia dengan nomor inventaris D.26. Prasasti ini dipahatkan pada batu pipih berukuran 85 x 62 cm2. Isinya pendek, dengan tiga baris tulisan dalam aksara dan bahasa Sunda Kuno. Telaahan terhadap prasasti Rumatak dilakukan oleh K.F. Holle (l877), Saleh Danasasmita (l975; l984), Atja (l990), Hasan Djafar (l991), dan Richadiana Kartakusuma (l991). Transkripsi dari tulisan tersebut adalah sebagai berikut: tra ba I gune apuy na sta gomati sakakala rumata k disusuk ku batari hyang pun Maksud dari tulisan tersebut adalah mengenai pendirian pusat kerajaan (nu nyusuk) di Rumatak oleh Batara Hiyang. Pertanggalannya dituliskan dalam kalimat candrasangkala yang berbunyi gune apuy nasta gomati yang oleh Saleh Danasamita, juga oleh Atja, disebutkan b...
Naskah Sukapura berasal dari Bapak R. Sulaeman Anggapradja di Jalan Ciledug Garut. Secara fisik naskah ini masih utuh, sampul naskah luar bewarna coklat, dan diperkirakan sampul ini merupakan pemberian pemerhati. Sementara sampul dalam yang diduga sampul aslinya, bewarna coklat kehijau-hijauan dengan motif seperti pecahan-pecahan kaca. Secara keseluruhan kondisi naskahnya masih kokoh. Tulisannya rapi dan menggunakan tinta bewarna hitam di atas kertas putih kecoklatan. Ukurannya 16 x 20,3 cm dengan ruang tulisannya 14 x 16 cm.Tebalnya sebanyak 136 halaman penuh tulisan, dan jumlah baris yang terdapat pada tiap halaman naskah memiliki jumlah yang sama yaitu 11 baris dan ditulis dengan menggunakan huruf Arab pegon bertanda vokal. Namun, di dalamnya tidak terdapat kolofon, iluminasi, atau watermark . Naskah ini disusun dalam bentuk dangding dengan mempergunakan delapan macam pupuh, yaitu Dangdanggula, Asmarandana, Sinom, Kinanti, Magatru, Durma, Pangkur, dan Maskumambang. &...
Naskah Kalupasan (Moksa) terdiri dari bilah bambu dengan jumlah bilah bambu 31 bilah. Setiap bilah bambu mengandung satu baris tulisan. Bentuk naskahnya menyerupai tusuk konde dengan pinggiran elips tanpa sudut. Ukuran panjang 14 cm, dengan lebar sisi kanan dan sisi kiri berlainan. Sisi kanan berukuran 9 mm, dan sisi kanan 5 mm. Dari 31 bilah bambu, 29 bilah mengandung tulisan dan 2 bilah kosong. Naskah ini beraksara Sunda Kuna dan berbahasa Sunda Kuna. Kondisi naskah masih baik. Judul naskah pada label adalah 31 bilah bambu. Pemberian Judul Naskah Kaleupasan (Moksa) dilakukan penyunting setelah mambaca isi dari naskah tersebut yang isinya berupa ajaran kaleupasan bagi seorang pertapa. Berikut ini sebagian isinya: Transliterasi: 1. wadon ngawisésa kita mangké \\\ 2. hya Batari asih di kita \\ 3. hya Déwata asih di kita \\ 4. hya laba kita mangké \\ 5. hya mulah maras temu deui \\ 6. angamarasnya ra bayané \\ 7. hya kasuk...
Naskah dari daun rontal ini berjudul Jatiniskala . Menurut Jakob Sumardjo, naskah ini diduga berasal dari zaman Kerajaan Galuh, Ciamis. Naskah ini ditemukan di Kabuyutan Kawali, Ciamis Utara, yang diberikan oleh Bupati Galuh R.A.A. Kusumadiningrat (1839-1886) kepada Bataviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW), lembaga yang khusus bergerak dalam bidang seni-budaya dan temuan-teman sejarah di Batavia; ada pun menurut Atja, naskah ini diserahkan oleh Raden Saleh. Kini naskah ini menjadi koleksi Perpustakaan Nasional, Jakarta, dengan nama register Kropak 422 . Kondisi Fisik Naskah Kondisi naskah secara keseluruhan masih bagus, hanya ada beberapa lempir yang telah rusak, bolong-bolong akibat gigitan kutu, dan sebagian lagi telah menghitam. Teksnya ditulis memakai pisau pangot, dengan bahasa dan aksara Sunda Kuno. Naskah ini terdiri atas 14 lempir/lembar rontal yang berukuran 31,8 x 4,1 cm. Ada pun luas marjin teksnya 29 x 2,7 cm. Setiap lempir terdiri...