Peresean merupakan kesenian tradisional masyarakat Suku Sasak yang mempertarungkan dua lelaki bersenjatakan tongkat rotan dan perisai. Kesenian ini merupakan tradisi lama Suku Sasak di Pulau Lombok, NTB, yang masih ada hingga sekarang. Dalam kesenian tersebut para lelaki berkumpul untuk menguji keberanian dan ketangkasan mereka dalam bertarung. Walaupun terdapat unsur kekerasan, namun kesenian ini memiliki pesan damai di dalamnya. Menurut sumber sejarah yang ada, Peresean ini dulunya merupakan luapan emosional para Raja dan para prajurit setelah memenangkan pertempuran di medan perang. Selain itu Peresean ini juga merupakan media untuk para petarung dalam menguji keberanian, ketangguhan dan ketangkasan mereka dalam bertarung. Kesenian ini terus berlanjut sampai sekarang di kalangan masyarakat Suku Sasak hingga menjadi suatu tradisi. Dalam perkembangannya, kesenian ini tidak hanya diadakan untuk masyarakat lokal saja, namun juga digelar untuk menyambut para tamu besar atau wisata...
Barodak Rapancar adalah tradisi luluran dan mewarnai tangan. Kedua kata tersebut berasal Dari bahasa asli Sumbawa. Kata Barodak diambil Dari kata 'Odak' yang berarti Lulur sedangkan Rapancar berasal dari kata Pancar yang berarti memerahkah kuku tangan dengan daun pacar. Ritual Barodak/ Rapancar ini biasanya dilakukan setelah didahului berbagai prosesi perkawinan lainnya seperti Bajajak (menjajaki), Bakatoan (Melamar), Basaputis (Menetapkan hari baik), Bada (pemberitahuan), dan Nyorong (Antaran) . Kemudian setelah Barodak Rapancar, dilanjutkan dengan acara Nikah (menikah), Rame Mesa (Meramaikan ditempat acara) dan Tokal Basai (resepsi). Rangkaian tahapan ini, hampir utuh dijalani oleh masyarakat Kabupaten Sumbawa sejak berpuluh tahun lamanya. Di dalamnya juga termasuk ritual Maning Pengantan yang dilakukan oleh ‘Ina Odak’ (Juru Lulur) untuk mengawali seluruh prosesi barodak. Kegiatan ritual barodak ini, bagi masyarakat Sumbawa memiliki makna filosofis...
Ritual nyalamaq laut ini mulai diselenggarakan sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda. Waktu itu, para pembesar Belanda konon begitu antusias dengan acara ini, terutama pada saat siraman air laut. Mereka ikut disiram air laut dan sangat senang menonton acara pencak silat dengan iringan gendang pencak yang disebut sarone. Seiring waktu, ritual ini sempat mereduppada zaman penjajahan Jepang. Upacara mengumpulkan massa sangat dilarang waktu itu. Karena Jepang khawatir akan muncul pengerahan massa yang menentang kehadiran mereka. Namun, nelayan bersikeras melaksanakannya dengan dipimpin tokoh saat itu yang berasal dari Batu Nampar bernama Wak Nunok tahun 1943. Sejak saat itu, upacara ini tetap digelar rutin. “Filosofinya adalah suku-suku Sulawesi perantauan bersama-sama melakukan nyelamaq di laut di Tanjung Luar,” sungkap salah satu tokoh masyarakat Tanjung Luar, HM Saifullah saat mengikuti ritual nyelamaq, Rabu kemarin (4/7). Digelarnya ritual nyelamaq laut laut ini...
Umumnya, warga Sasak menganut agama Islam. Sehingga, ada tradisi agama Islam yang juga dilakukan oleh warga Sasak. Pertama kali yang dilakukan jika ada anggota keluarga yang meninggal dunia adalah memukul beduk dengan irama pukulan panjang agar masyarakat sekitar tahu ada yang meninggal. Tradisi ini disebut juga nepong tanaq atau nuyusur tanaq. Kemudian, masyarakat pun berdatangan baik dari desa tersebut maupun dari desa lainnya jika masih punya hubungan saudara atau pertemanan dengan almarhum. Kedatangan masyarakat tersebut disebut langgar (melayat). Dengan tujuan untuk menghibur mereka yang berduka cita. Biasanya, mereka juga membawa beras seadanya untuk memantu meringankan beban keluarga yang terkena musibah. Sumber: https://www.pegipegi.com/jelajahi-indonesiamu/nusa-tenggara/3-tradisi-suku-sasak-di-lombok-saat-kerabat-meninggal
Sebelum dilakukan betukaq (penguburan), ada beberapa persiapan yang dilakukan, yaitu: 1. Setelah seseorang dinyatakan meninggal, orang tersebut dihadapkan ke kiblat. Di ruangan tempat orang yang meninggal dibakar kemenyan dan dipasangi langit-langit (bebaq) dengan menggunakan kain putih (selempuri) dan kain tersebut baru boleh dibuka setelah hari kesembilan meninggalnya orang tersebut. Setelah dibungkus, jenazah disholatkan di rumah oleh keluarganya sebagai sholat pelepasan, lalu dibawa ke masjid atau musala. 2. Pada hari tersebut (jelo mate) diadakan unjuran sebagai penyusuran bumi (penghormatan bagi yang meninggal dan akan dimasukkan ke dlaam kubur). Untuk itu perlu penyembelihan hewan sebagai tumbal. 3. Nelungdan mituq, yaitu upacara yang dilakukan keluarga untuk doa dan keselamatan arwah yang meninggal dengan harapan dapat diterima di sisi Tuhan Yang Maha Es. Juga dilakukan agar keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan. Selanjutnya ada upacara nyiqaq dan beg...
Mbolo Weki merupakan ritual atau acara adat yang menjadi ciri khas dari suku Bima. Sebelum mengenal lebih jauh apa itu Mbolo Weki. Mari kita sedikit mengenal "Bima" sebagai suku, dimana Mbolo Weki itu berasal. Bima (dalam konteks ini) dapat merujuk pada dua hal. Yaitu; nama suku, dan nama kabupaten yang berada di Provinsi NTB (Nusa Tenggara Barat). Suku Bima secara dominan, utamanya menempati dua kabupaten di NTB, yaitu Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu. Sebagai contoh, dimisalkan dalam sebuah dialog berikut, yang diawali dengan pertanyaan; "aslinya mana?". Lalu dijawab; "aslinya Bima". Maka dapat diartikan bahwa orang tersebut berasal dari Suku Bima. Namun, tidak serta-merta mengartikan orang tersebut berasal dari Kabupaten Bima. Maka, tanyalah lagi; "Bima-nya mana?". Jawabannya bisa saja seperti ini; "Bima-nya Kota Bima" atau "Bima-nya Kota Dompu". Contoh lain yang serupa adalah; A: "Aslinya mana?" B: "Aslinya Jawa" A: "oawalaaahhh, Jawa-nya mana...
Tradisi Khatam Al-qur an atau dalam bahasa Bima "Khata Karo a" sudah menjadi tradisi masyarakat Bima. Biasanya tradisi ini dilakukan bersamaan dengan acara Khitanan atau dalam bahasa Bima di sebut "Suna Ra Ndoso" dan sangat berbangga orang tua saat acara untuk memberitahukan kepada khalayak ramai, bahwa anak-anak ini akan menjaga kelakukan mereka, karena sudah dikenal sebagai anak-anak yang telah tamat membaca Alquran. Saat acara Suna Ra Ndoso di mulai awal acara dibuka dengan pembacaan Al-qur an oleh yang khatam, biasa yang khatam Al-Qur an berumur 9 hingga 10 tahun dimana mereka sudah mengaji dari umur 7 tahun. Khatam Karo a dilakukan secara meriah dan banyak hadiah yang di dapat oleh anak tersebut supaya memotivasi anak-anak yang lain untuk mau belajar mengaji Al-Qur an. Acara tradisi khatam Al-qur`an ini biasanya dilakukan sejak siang hari sekitar pukul satu, dan ada juga yang dengan arak-arakan atau pawai dengan di selingi oleh pukulan rebana dan hadrah. Menggunakan pakaian...
Yang dimaksud dengan upacara nggana ro nggoa ialah rangkaian upacara adat yang dimulai dan upacara "Salama Loko" sampai dengan upacara "dore ro boru". Upacara salama loko. Upacara Salama Loko disebut juga dengan Kiri Loko dilakukan ketika kandungan seorang ibu berumur tujuh bulan. Upacara ini hanya dilakukan bagi seorang ibu yang pertama kali mengandung. Jalannya upacara dihadiri oleh kaum ibu dan dipimpin oleh sando nggana (dukun beranak) yang dibantu oleh enam orang tua adat wanita. Upacara akan dimulai pada saat maci oi ndeu (waktu yang tepat untuk mandi) di sekitar jam 07.00. Sando nggana menggelar tujuh lapis sarung. Setiap lapis ditaburi beras dan kuning uang perak sa ece (satu ketip = 10 sen). Selain itu disimpan pula dua liku atau dua leo mama (dua bungkus bahan untuk menyirih). Maksud dan taburan beras kuning, ialah agar ibu beserta calon bayinya akan hidup bahagia dan jaya. Uang sa ece, sebagai peringatan kepada ibu bersama calon bayi, bahwa uang merupakan salah sa...
Sejak masa pemerintahan Kesultanan Bima masih berkuasa dari tahun 1640 hingga 1951 masehi ada tradisi yang wajib dilakukan pada saat hari-hari besar Islam yaitu disebut "Doho Sara" yang dilakukan pada waktu Maulid Nabi Muhammad SAW, Idul Fitri dan Idul Adha, Doho bahasa Bima yang berarti Duduk sedangkan Sara yang berarti Pemerintahan. Ketiga hari besar itupun dalam tradisi kesultanan Bima disebut "Rawima Tolu Kali Samba`a" yaitu kegiatan yang diadakan tiga kali setahun dalam tradisi keagamaan Kesultanan. Setelah perayaan hari besar tersebut, mereka (pejabat Kesultanan) berkumpul pada ruang tertentu di Istana Sultan untuk memulai Doho Sara. Doho Sara selain untuk silaturahmi antar para pejabat juga sekaligus dilangsungkannya sidang lengkap untuk Paruga Suba (majelis kesultanan yang tertinggi) yang membahas mengenai perkembangan Agama, Keamanan, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, juga merencanakan hal-hal yang akan dilakukan kesultanan untuk pembangunan kelak, semua para majelis...