Mbolo Weki merupakan ritual atau acara adat yang menjadi ciri khas dari suku Bima. Sebelum mengenal lebih jauh apa itu Mbolo Weki. Mari kita sedikit mengenal "Bima" sebagai suku, dimana Mbolo Weki itu berasal.
Bima (dalam konteks ini) dapat merujuk pada dua hal. Yaitu; nama suku, dan nama kabupaten yang berada di Provinsi NTB (Nusa Tenggara Barat). Suku Bima secara dominan, utamanya menempati dua kabupaten di NTB, yaitu Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu.
Sebagai contoh, dimisalkan dalam sebuah dialog berikut, yang diawali dengan pertanyaan;
"aslinya mana?".
Lalu dijawab; "aslinya Bima".
Maka dapat diartikan bahwa orang tersebut berasal dari Suku Bima.
Namun, tidak serta-merta mengartikan orang tersebut berasal dari Kabupaten Bima.
Maka, tanyalah lagi; "Bima-nya mana?".
Jawabannya bisa saja seperti ini; "Bima-nya Kota Bima" atau "Bima-nya Kota Dompu".
Contoh lain yang serupa adalah;
A: "Aslinya mana?"
B: "Aslinya Jawa"
A: "oawalaaahhh, Jawa-nya mana?"
B: "Jawa-nya Tegal".
Selain itu, suku Bima juga memiliki bahasa sendiri. Yaitu Bahasa Bima. Nah, penduduk dari kedua kabupaten tadi (Kab. Bima & Kab. Dompu) manggunakan Bahasa Bima sebagai bahasa utama/sehari-hari.
Melalui penjelasan diatas, semoga kita dapat tahu dan mampu membedakan fungsi istilah "Bima" sebagai nama dari suku, kabupaten, dan bahasa daerah.
Kembali pada Mbolo Weki. Secara arti kata (dalam bahasa Bima). Mbolo berarti lingkar dan atau melingkar. Sedangkan Weki dapat berarti masa, kumpulan, kerumunan dan atau sekelompok.
Mbolo Weki adalah acara musyawarah mufakat yang biasanya diselenggarakan untuk mempersiapkan suatu acara juga pesta (penting) dari sebuah keluarga pada Suku Bima. Diantaranya pernikahan, khitanan, dan atau tahlil/doa pasca meninggalnya anggota keluarga. Mbolo Weki biasanya dihadiri oleh setidaknya perwakilan dari seluruh keluarga besar, kerabat, juga tetangga dan masyarakat setempat. Hal-hal yang dimusyawarahkan dalam Mbolo Weki biasanya seperti penentuan hari baik, pembagian tugas (kepanitiaan acara), mendata segala kebutuhan dan keperluan acara, menyepakati apa-apa yang akan dilaksanakan dalam berlangsungnya acara tersebut.
Orang-orang yang datang (Weki), biasanya langsung memposisikan diri untuk duduk mebentuk lingkaran (Mbolo). Kaum laki-laki/bapak-bapak berada di ruang tamu, atau ruang utama yang lebih luas. Kaum laki-laki biasanya akan bermusyawarah perihal keperluan yang berbentuk fisik, seperti tempat penyelenggaraan acara, panggung hiburan, seragam dan sebagainya. Sementara kaum perempuan/ibu-ibu berada di dapur atau ruangan yang terpisah dari kaum laki-laki/bapak-bapak.
Selain untuk mempertahankan budaya ketimuran soal interaksi antara laki-laki dan perempuan, biasanya kaum perempuan/ibu-ibu akan bermusyawarah dan atau dipercaya untuk menentukan hal-hal yang berbeda dengan kaum laki-laki. Masalah yang dibahas cenderung kepada apa-apa yang membutuhkan ketelitian lebih dan dikuasai oleh kaum perempuan/ibu-ibu. Seperti perbendaharaan anggaran, konsumsi, peralatan masak, tata rias, juga terkait apa-apa yang harus dibelanjakan. Atau bisa juga Mbolo Weki dilaksanakan di halaman rumah, tanah lapang dan sebagainya untuk menyesuaikan jumlah orang yang hadir di acara tersebut. Setelah tercapai kesepakatan, semua yang hadir akan mendengarkan kesepakatan itu dibacakan. Lalu menutup acara Mbolo Weki dengan doa dan salawat sambil bersalam-salaman.
Salah satu hal unik dalam Mbolo Weki yaitu keluarga yang menyelenggarakan acara tidak akan menanggung sendiri beban materil dalam menyelenggarakan acara tersebut. Orang-orang yang hadir akan turut memberi sumbangsih sesuai kapasitas dan kemampuan. Pemberiannya bisa bermacam-macam, bisa berupa uang tunai, hewan ternak, padi/beras, hasil kebun, dan lain sebagainnya.
Dalam konteks acara pernikahan misalnya, Mbolo Weki terkesan filosofis sekali. Tetua-tetua keluarga dari anak yang menikah beserta kerabat yang menghadiri Mbolo Weki Akan memberikan bantuan yang bukan hanya untuk terselenggaranya acara, melainkan sebagai bekal bagi anak yang menikah itu tadi. Bekal-bekal tersebut seperti peralatan ibadah, pakaian dan sarung adat, juga petuah-petuah. Tak terlewatkan juga, bekal seperti beras dalam jumlah yang cukup banyak, hewan ternak, sebidang tanah dan semacamnya. Hal ini melambangkan betapa orang tua beserta keluarga besar ingin melepas anaknya menuju kehidupan dan tanggung jawab baru, dengan modal yang cukup secara materil juga moril.
Sejak selesai Mbolo Weki sampai pada hari pernikahan berlangsung. Di rumah keluarga yang anaknya menikah akan ada kesibukan-kesibukan yang cukup khas dan berkesan. Seperti para nenek dari keluarga tersebut berkumpul untuk menampih (membersihkan) beras, menumbuk gabah, atau meramu bumbu untuk masakan-masakan khas. Terkadang pada situasi demikian, anak-anak kecil akan girang penuh tawa mendengar celoteh sang nenek. Bisa berupa pantun, senandung, atau bahkan cerita anak sampai legenda Abu Nawas. Cerita dan dongeng ini semuanya menggunakan Bahasa Bima.
Demikianlah sedikit cerita mengenai sebagian kecil dari apa-apa yang unik dan khas milik Nusantara. Walau sekarang pelaksanaannya (mungkin) tak sekental dahulu. Sebab jaman semakin maju, dan beberapa item dalam ritual-ritual tertentu dirasa tidak perlu lagi dilakukan, demi penyesuaian-penyesuaian yang baik tentunya. Meski demikian, "mbolo weki" adalah satu dari sekian banyak tradisi khas Suku Bima yang masih sangat berperan dalam memperkuat tali persaudaraan dan kekeluargaan. Terutama bagi masyarakat Suku Bima yang berada di tanah rantau.
Meski belum ada sumber secara jelas dan valid yang menerangkan asal muasal tradisi Mbolo Weki ini, dan kapan pertama kali dilaksanakan. Hanya menurut pendapat beberapa sepuh atau orang-orang tua di Suku Bima, Mbolo Weki sudah dilaksanakan secara turun-temurun sejak jaman buyut-buyut terdahulu.
Tapi paling tidak, dengan menengok dan mencari tahu sejarah, mulai dari diri sendiri, suku sendiri, hingga bangsa kita sendiri. Kita dapat mengenal apa-apa yang belum kita kenal, dan celakanya banyak sekali yang belum kita kenal mengenai ragamnya Nusantara. Berangsur hilang, ditelan jaman, termakan kemajuan.
Mungkin dengan mengenal sejarah dan budaya asli Nusantara. Kita bisa tahu dan mengerti. Bahwa, Mbolo Weki, sistem barter antara suku Wanna dan orang-orang Bajo, juga Lewa menangkap ikan di Lembata, dan banyak lagi, adalah sebuah gambaran yang menjelaskan pada kita tentang suatu bangsa yang pernah hidup dalam sistem ekonomi kerakyatan yang terbangun secara alamiah. Pernah bertahan melalui gotong-royong yang tidak menimbulkan sekat sosial antara kaya dan miskin. Pernah "ber-bhineka tunggal ika" dalam keragaman dibawah Pancasila. Jauh sebelum Negara ini dijajah lalu merdeka.
Sumber: https://travelnatic.com/mbolo-weki-tradisi-musyawarah-mufakat-ala-suku-bima/
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja
Jembatan Plunyon merupakan bagian dari wisata alam Plunyon-Kalikuning yang masuk kawasan TNGM (Taman Nasional Gunung Merapi) dan wisatanya dikelola Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) setempat, yaitu Kalikuning Park. Sargiman, salah seorang pengelola wisata alam Plunyon-Kalikuning, menjelaskan proses syuting KKN Desa Penari di Jembatan Plunyon berlangsung pada akhir 2019. Saat itu warga begitu penasaran meski syuting dilakukan secara tertutup. Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan zoom-in-whitePerbesar Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan "Syuting yang KKN itu kebetulan, kan, 3 hari, yang 1 hari karena gunungnya tidak tampak dibatalkan dan diu...