Tumbilotohe merupakan tradisi masyarakat daerah Gorontalo pada 3 malam terakhir bulan puasa ramadhan. Tradisi ini telah berlangsung selama ratusan tahun sejak abad XV. Tumbilotohe sesuai dengan namanya "tumbilo(=pasang)" dan "tohe(=lampu)", yaitu acara menyalakan lampu. Lampu yg digunakan sekarang adalah lampu minyak (minyak tanah) yg umumnya terbuat dari botol atau kaleng bekas yg bagian tutupnya dipasangi sumbu. Sumbu yg dipakai adalah sumbu kompor (kompor minyak). Lampu2 ini di pasang berjejer di depan rumah, di pagar, maupun di pinggir. Jumlahnya pun beragam, tergantung luas halaman rumah. Ada beragam versi mengenai latar belakang tradisi ini. Ada yg bilang menyambut malam lailatul qadar; supaya orang tidak tidur & beribadah. Ada yang bilang menyambut idul fitri, dan lain2. Source: http://sachroel.blogspot.com/2006/10/tumbilotohe-tradisi-gorontalo-ratusan.html
Sudah menjadi adat dan tradisi di Gorontalo bahwa anak perempuan yang menjelang usia 2 tahun akan menjalani prosesi adat Mo Polihu Lo Limu atau sering juga disebut Molubingo. Mo polihu Lo Limu berasal dari bahasa daerah gorontalo, yang artinya mandi air ramuan jeruk purut atau mandi lemon, sedangkan Molubingo artinya Mencubit. Inti dari prosesi ini sebenarnya adalah mengkhitan anak perempuan yang ‘dibalut’ oleh adat tradisi religius dan budaya masyarakat Gorontalo. Mengenai istilah mandi lemon memang diadopsi dari bagian prosesi ritual, dimana seorang anak perempuan menjalani prosesi mandi kembang yang bercampur lemon atau jeruk dengan tumbuhan harum lainnya dipangkuan ibu yang melahirkan. Menurut tetua adat Gorontalo yang disebut Baate, ritual mandi lemon adalah sejenis khitanan bagi wanita, sebagai bukti keislaman seorang wanita sehingga agenda sakral tersebut yang harus dilalui oleh anak perempuan pada usia balita. Dijelaskan pula bahwa melalui ritual ini dapat dirama...
Pernikahan Adat Gorontalo ini perlu di lestarikan, karena mengandung nilai–nilai budaya yang tinggi. Adat Gorontalo ini semakin hari semakin terkontaminasi dengan perubahan zaman. Terlihat dimana–mana pernikahan di Gorontalo tanpa melewati lagi prosesi adat gorontalo. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Diantaranya, banyak pemuda zaman sekarang yang enggan mempelajari adat pernikahan gorontalo. Sehingga warisan leluhur ini semakin terlupakan, karena tidak adanya regenerasi penerus Adati lo Hulondhalo. Gorontalo Pernikahan Adat Gorontalo memiliki ciri khas tersendiri. Karena penduduk Provinsi Gorontalo memiliki penduduk yang hampir seluruhnya memeluk agama Islam, sudah tentu adat istiadatnya sangat menjunjung tinggi kaidah-kaidah Islam. Untuk itu ada semboyan yang selalu dipegang oleh masyarakat Gorontalo yaitu, “Adati hula hula Sareati–Sareati hula hula to Kitabullah” yang artinya, Adat Bersendikan Syara, Syara Bersendikan Kitabullah. Penga...
Adat ini ditunjukkan untuk anak perempuan yang menginjak usia 2 tahun dimana seorang anak perempuan tersebut menjalani prosesi mandi kembang yang bercampur lemon atau jeruk dengan tumbuhan harum lainnya dipangkuan ibu yang melahirkan, bermaksud untuk khitanan atau mengkhitankan anak wanita, sebagai bukti keislaman seorang wanita sehingga agenda sakral tersebut yang harus dilalui oleh anak perempuan pada usia balita.
Molontalo atau raba puru bagi sang istri yang hamil 7 bulan anak pertama, merupakan pra acara adat dalam rangka peristiwa adat kelahiran dan keremajaan. Acara Molonthalo ini merupakan pernyataan dari keluarga pihak suami bahwa kehamilan pertama adalah harapan yang terpenuhi akan kelanjutan turunan dari perkawinan yang syah. Serta merupakan maklumat kepada pihak keluarga kedua belah pihak, bahwa sang istri benar-benar suci dan merupakan dorongan bagi gadis-gadis lainnya untuk menjaga diri dan kehormatannya.
Dayango adalah salah satu bentuk diantara beberapa ragam budaya animisme di Gorontalo. Ritual ini, sejenis upacara memanggil roh-roh arwah untuk dijadikan mediator untuk menyembuhkan orang sakit, yang penyembuhannya dilakukan dengan gerakan-gerakan dan teriakan.
Bagi masyarakat modern, pernikahan adalah sebuah institusi yang sakral. Ada beberapa batasan yang harus dihormati, salah satunya pernikahan sedarah atau antar saudara sendiri. Namun hal tersebut bukan sesuatu yang aneh bagi Suku Polahi, yang mendiami pedalaman hutan Humohulo di Gorontalo. Bagi suku ini, perkawinan sedarah sudah menjadi sesuatu yang lazim. Bahkan keturunan yang dihasilkan dari tradisi aneh ini tidak mengalami kecacatan seperti yang diyakini kebanyakan ahli. Kebiasaan itu konon dilakukan untuk mencegah suku Polahi dari kepunahan. Jadi pernikahan antara ayah dan anak maupun kakak dengan adik bukan sesuatu yang luar biasa bagi mereka. Sumber : https://travelingyuk.com/tradisi-aneh-suku-indonesia/86951/
" Mengenang Ujung K yang Tak Dipandang " Suku Polahi merupakan salah satu suku di Indonesia yang berada tepat di ujung utara Pulau Sulawesi tepatnya di pedalaman hutan Pegunungan Boliyuhoto, Gorontalo. Suku atau kelompok ini merupakan kelompok mayoritas di Gorontalo dan Gorontalo utara. Suku Polahi memiliki budaya yang sangat beragam, dapat dilihat dari segi pakaian, adat istiadat dan bahkan tradisi, kebiasaan serta aturan perkawinan di dalam Suku Polahi berbeda dengan perkawinan yang pada umumnya. Perkawinan Suku Polahi yang menerapkan perkawinan sedarah atau incest menjadi perbincangan para ahli budaya. Pola pernikahan yang seperti itu memberikan kebebasan kepada setiap anggota keluarga untuk menikah dengan sesama anggota keluarga dan atau masih memiliki hubungan darah. Pada mulanya adanya Suku Polahi ataupun mengenai tradisi perkawinan sedarah tersebut diawali pada abad ke-19, masih pada masa penjajahan kolonial Belanda. Saat itu, diberlakukannya pemungutan pajak paksa yan...
" Mengenang Ujung K yang Tak Dipandang " Suku Polahi merupakan salah satu suku di Indonesia yang berada tepat di ujung utara Pulau Sulawesi tepatnya di pedalaman hutan Pegunungan Boliyuhoto, Gorontalo. Suku atau kelompok ini merupakan kelompok mayoritas di Gorontalo dan Gorontalo utara. Suku Polahi memiliki budaya yang sangat beragam, dapat dilihat dari segi pakaian, adat istiadat dan bahkan tradisi, kebiasaan serta aturan perkawinan di dalam Suku Polahi berbeda dengan perkawinan yang pada umumnya. Perkawinan Suku Polahi yang menerapkan perkawinan sedarah atau incest menjadi perbincangan para ahli budaya. Pola pernikahan yang seperti itu memberikan kebebasan kepada setiap anggota keluarga untuk menikah dengan sesama anggota keluarga dan atau masih memiliki hubungan darah. Pada mulanya adanya Suku Polahi ataupun mengenai tradisi perkawinan sedarah tersebut diawali pada abad ke-19, masih pada masa penjajahan kolonial Belanda. Saat itu, diberlakukannya pemungutan pajak paksa yan...