|
|
|
|
Mengenang Ujung K yang Tak dipandang Tanggal 08 Aug 2018 oleh Oskm18_19718034_hutahaeanandina . |
" Mengenang Ujung K yang Tak Dipandang "
Suku Polahi merupakan salah satu suku di Indonesia yang berada tepat di ujung utara Pulau Sulawesi tepatnya di pedalaman hutan Pegunungan Boliyuhoto, Gorontalo. Suku atau kelompok ini merupakan kelompok mayoritas di Gorontalo dan Gorontalo utara.
Suku Polahi memiliki budaya yang sangat beragam, dapat dilihat dari segi pakaian, adat istiadat dan bahkan tradisi, kebiasaan serta aturan perkawinan di dalam Suku Polahi berbeda dengan perkawinan yang pada umumnya. Perkawinan Suku Polahi yang menerapkan perkawinan sedarah atau incest menjadi perbincangan para ahli budaya. Pola pernikahan yang seperti itu memberikan kebebasan kepada setiap anggota keluarga untuk menikah dengan sesama anggota keluarga dan atau masih memiliki hubungan darah.
Pada mulanya adanya Suku Polahi ataupun mengenai tradisi perkawinan sedarah tersebut diawali pada abad ke-19, masih pada masa penjajahan kolonial Belanda. Saat itu, diberlakukannya pemungutan pajak paksa yang membuat sebagian masyarakat kabur ke hutan untuk menghindari pajak paksa tersebut. Namun, selang beberapa waktu pajak paksa itu pun ditiadakan. Hal ini mengakibatkan ada sebagian masyarakat yang di hutan kembali ke kampung halamannya ada pula yang menetap di hutan. Kelompok menetap inilah yang sekarang kita kenal Suku Polahi. Suku Polahi ini memiliki ketertutupan yang sangat tinggi, tidak ingin bersosialisasi dengan masyarakat luar. Oleh karena itu, timbullah tradisi atau kebiasaan perkawinan sedarah yang tentunya tidak lazim di telinga masyarakat pada umumnya.
Tradisi ini diawali dengan adanya sebuah keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak. Lalu, terjadilah perkawinan sedarah dalam keluarga tersebut, baik anak laki-laki dengan anak perempuan, atau orang tua dengan anaknya. Setelah melakukan perkawinan, mereka akan keluar dari keluarganya dan membentuk komunitas baru, begitulah seterusnya.
Pada intinya, setiap kebudayaan tidak ada kata benar ataupun salah di mata masyarakat, namun sebuah kebudayaan harus disaring terlebih dulu, mana yang membawa hal baik ataupun sebaliknya. Jika budaya tersebut membawa dampak yang baik bagi kita, hendaknya kita lestarikan. Namun, bila budaya itu membawa ke arah yang yang buruk, maka perlu dipikirikan apakah masih perlu dipertahankan atau tidak.
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |