Arca Ganesa dengan ketinggian 50 Cm, ditemukan di dataran tinggi Dieng-Wonosobo telah di teliti oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah dan di tempatkan di Museum Kailasa. menurut penelitian arca ini berasal dari masa hindu dieng di awal abad ke7-8
Para pengunjung terkadang bertanya-tanya ketika berkunjung ke Kompleks Percandian Dieng dan melihat struktur-struktur pondasi dari batu. Apakah fungsi dari struktur-struktur ini pada masa lalu ketika candi-candi ini masih digunakan sebagai tempat peribadatan agama Hindu. Struktur-struktur ini merupakan pondasi-pondasi dari bangunan yang disebut Dharmasala. Bangunan-bangunan ini tersebar di sekitar Kawasan Percandian Dieng. Pada masa lalu bangunan-bangunan ini berupa bangunan bertiangi kayu. Bangunan ini merupakan bangunan tanpa dinding dan terbuka. Lantainya juga terbuat dari papan kayu dan dibuat seperti panggung sehingga tidak menyentuh tanah. Jumlah tiang kayu bervariasi tergantung banyaknya umpak. Atapnya pada umumnya berbentuk limasan dengan atap berupa sirap dari kayu. Di india, tempat asal candi-candi, juga banyak ditemukan bangunan-bangunan semacam ini. Fungsinya adalah untuk memberi tempat istirahat bagi para pengunjung yang beribadat di candi-candi...
Terletak di Kompleks Candi Arjuna, tepatnya sebelum Anda memasuki kompleks candi, terdapat sebuah situs penyucian diri. Situs ini terdiri dari dua sumber mata air dan sebuah bangunan mirip yang bentuknya mirip pendapa. Sendang Sedayu dan Sendang Maerokoco merupakan dua sumber air yang sangat penting dalam ritual kebudayaan masyarakat dataran tinggi Dieng. Dua sumber air ini dianggap sebagai air suci yang dapat membersihkan diri dan jiwa umat yang ingin bersembahyang di Kompleks Candi Arjuna. Secara etimologi, “sendang” berarti kumpulan air suci, sementara “rahayu” berarti membersihkan diri. Karenanya, “sendang sedayu” dapat diartikan sebagai mata air suci yang digunakan untuk membersihkan diri. Lain halnya dengan Sendang Maerokoco. Nama “maerokoco” disematkan pada sumber air ini merujuk pada sosok Gatotkaca. Ketika dilahirkan, Gatotkaca tidak bisa melihat. Di sumber mata air ini, setiap orang yang datang diharapkan dapat me...
Bangunan Majid pada umumnya di negara lain berbentuk kubah bahkan di daerah seperti aceh dan daerah lain di Indonesia Pada Umumnya. namun di tanah jawa, bangunan masjid beratapkan limas bersusun, bangunan masjid biasanya berbentuk persegi atau kotak dan ini merupakan suatu budaya toleransi dan alkuturasi di jawa. Pada bangunan masjid jawa kuno biasanya kita akan menemukan bangunan berbentuk persegi sebagaimana bangunan kuil atau candi yang memiliki ruang utama berbentuk persegi. Pada bagian atap tidak berbentuk kubah namun berbentuk limas dengan ukiran seperti nanas yang mengantung di pojok pojok atap, biasanya tersusun 3-5 tingkatan atap. ini merupakan alkuturasi seperti bangunan candi dimana atapnya berbrntuk tingkatan atau kemucak. pada puncak atap masjid kita juga tidak akan menemukan kubah namun puncaknya berupa Mahkota atau mustiko yang berbentuk gada dengan ukiran bunga serta tumbuhan. dan Alkuturasi yang kaya akan nilai ini membuat Islam di Jawa kuat serta bertah...
Masjid Agung Nur Sulaiman merupakan salah satu bangunan cagar budaya di Kabupaten Banyumas yang telah terdaftar oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah pada 2004 dengan Nomor 11-12/Bas/44/TB/04. Masjid yang berlokasi di sebelah barat Alun-Alun Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas ini dilindungi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Semula masjid tersebut dikenal dengan sebutan Masjid Agung Banyumas. Namun sejak 1992 berganti nama menjadi Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas. Masuknya Masjid Agung Nur Sulaiman ke dalam daftar cagar budaya bukan tanpa alasan. Bangunan tersebut merupakan peninggalan sejarah yang dibangun saat ibu kota kabupaten itu masih berada di Banyumas atau sebelum dipindah ke Purwokerto. Masjid tersebut diperkirakan dibangun tidak lama setelah pembangunan pendopo "Bale Sipanji" atau rumah kabupaten. Berdasarkan Babad Banyumas yang dihimpun Oemardani dan Poerbasewojo, pendopo "Bale Sipanji" dibangun Rade...
Rumah Tambi Rumah Tambi adalah sebuah rumah adat dari warga Sulawesi Tengah (Sulteng) pada umumnya, yakni dari bebagai golongan masyarakat. Bentuk dan penampakan rumah Tambi ini ialah persegi panjang dengan memiliki ukuran rata-rata 7×5 m2. Rumah Tambi ini sengaja dibuat menghadap kearah Utara – Selatan, dan juga tidak boleh menghadap atau membelakangi arah dari matahari. Apabila dilihat dengan secara sekilas, konstruksi dari rumah ini memang seperti jamur berbentuk Prisma yang terbuat dari daun Rumbia ataupun Ijuk kelapa atau sawit. https://www.silontong.com/2018/08/04/rumah-adat-sulawesi-tengah/
Rumah Souraja Jika rumah Tambi dipergunakan hanya bagi masyarakat dari semua golongan di Provinsi Sulawesi Tengah saja, beda lagi dengan rumah adat dari Souraja. Banua Mbaso atau yang juga kerap disebut juga Banua Oge atau yang sangat lebih sering dikenal dengan nama Souraja adalah rumah tradisional tempat tinggal bagi turun temurun untuk keluarga bangsawan. Souraja ini pertama kali dibangun oleh Raja Palu, Jodjokodi, pada tahun 1892. Souraja yang saat pertama kali dibuat terebut, masih dapat dilihat pada saat ini yakni berada di tengah pusat kota Kaledo (Palu)- Sulawesi Tengah. Kata Souraja (Sou Raja) bisa diartikan rumah besar, dan merupakan pusat pemerintahan kerajaan dari masa lampau, dapat dikatakan sebagai rumah tugas dari manggan atau raja. Selama bertugas, raja beserta dengan keluarganya tinggal di sini. Rumah panggung ini juga adalah paduan arsitektur gaya Bugis (Sulawesi Selatan) dan Kalimantan Selatan, dimana mempunyai 36 buah tiang penyangga pada rumah bagian...
Rumah Adat Lobo Rumah tradisional Lobo merupakan rumah adat khas Kulawi, Sulawesi Tengah. Rumah adat ini berfungsi sebagai balai rapat tetua adat, sidang adat, upacara, perayaan panen, dan rapat penentuan kapan membuka ladang. Lobo juga berfungsi sebagai rumah singgah jika ada warga desa lain yang kemalaman di Porelea, bisa bermalam di Lobo. Satu desa punya satu Lobo. Lobo difungsikan sebagai pengadilan bagi masyarakat di daerah Kulawi. Jika sedang difungsikan sebagai pengadilan, si pesakitan duduk di tengah, dan tetua adat melingkar di tepi. Uniknya, jika yang disidang perempuan, maka penyidangnya adalah Tinangata, yakni lembaga perempuan adat. Pertimbangannya, agar dewan adat dapat terbuka bertanya, terdakwa pun tanpa sungkan menjawab. https://www.silontong.com/2018/08/04/rumah-adat-sulawesi-tengah/
Nama resmi masjid ini adalah masjid Saka Tunggal Baitussalam, tapi lebih populer dengan nama masjid saka tunggal karena memang Masjid ini hanya mempunyai saka tunggal (tiang penyangga tunggal). Saka tunggal yang berada di tengah bangunan utama masjid, saka dengan empat sayap ditengahnya yang akan nampak seperti sebuah totem, bagian bawah dari saka itu dilindungi dengan kaca guna melindungi bagian yang terdapat tulisan tahun pendirian masjid tersebut. Masjid saka tunggal berukuran 12 x 18 meter ini menjadi satu satunya masjid di pulau Jawa yang dibangun jauh sebelum era Wali Sembilan (Wali Songo) yang hidup sekitar abad 15-16M. Sedangkan masjid ini didirikan tahun 1288M, 2 abad sebelum Wali Songo., dan sebelum Kerajaan Majapahit berdiri yang dimulai dengan penobatan Raden Wijaya sebagau Raja pertama Majapahit pada 10 November 1293. Sekaligus menjadikan Masjid Saka Tunggal Baitussalam sebagai Masjid Tertua di Indonesia. Lokasi Masjid Saka Tunggal B...