Dalem Prangwadanan merupakan bangunan yang terletak di sebelah timur Pura. Di sebelah timurnya masih terdapat bangunan lagi dengan bentuk pendapa yang diberi nama Panti Putra. Fungsi Dalem Prangwadanan adalah untuk tempat tinggal putra mahkota, juga sebagai tempat tinggal putera mahkota setelah diangkat sebagai Kangjeng Gusti Pangeran Prabu Prangwadana. Nama Prangwadana merupakan gelar kedua yang diberikan oleh Sunan Kuning kepada RM. Said ketika ia menyatakan diri bergabung dengan pasukan Cina melawan Kumpeni VOC pada 1741 di Kartasura. Peristiwa itu dalam sejarah Jawa biasa dikenal sebagai Geger Pacina . Sebelumnya dari Pakubuwana II RM. Said pernah mendapat gelar Pangeran Suryakusuma. Setelah Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757 RM. Said memperoleh gelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara. Sejak itu ditetapkan bahwa gelar bagi pengganti Mangkunegara I adalah Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara jika si pengganti sudah berumur 40 tahun. Jika belum ge...
Masjid Agung Palembang merupakan salah satu warisan Kesultanan Palembang. Masjid ini dikenal sebagai pusat Kota Palembang. Dibangun 1738 – 1748 oleh Sultan Mahmud Badaruddin I yang dikenal sebagai Sultan Mahmud Badaruddin Jaya Wikramo. Menutur beberapa orang masjid ini merupakan masjid terbesar di Indonesia pada zamannya. Ketika pertama kali dibangun, masjid ini meliputi lahan seluas 1.080 meter persegi (sekitar 0,26 hektar) dengan kapasitas 1.200 orang. Lahan kemudian diperluas oleh Sayid Umar bin Muhammad Assegaf Altoha dan Sayid Achamd bin Syech Sahab dibawah pimpinan Pangeran Nataagama Karta Mangala Mustafa Ibnu Raden Kamaluddin. Dari 1819 – 1821, renovasi dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Setelah itu, ekspansi lebih lanjv dilakukan pada tahun 1893, 1916, 1950, 1970, dan terakhir tahun 1990-an. Selama ekspansi pada 1966 – 1969 oleh Yayasan Masjid Agung, lantai kedua dibangun dengan luas tanah 5.520 meter persegi dengan kapasitas 7.750 orang. S...
Rumah adat Dulohupa ini letaknya di Kelurahan Limba U2, Kecamatan Kota Selatan, Kota Gorontalo. Rumah adat ini digunakan sebagai tempat bermusyawarat kerabat kerajaan pada masa lampau. Dulohupa merupakan rumah panggung yang terbuat dari papan, dengan bentuk atap khas daerah Gorontalo. Pada bagian belakang ada ajungan tempat para raja dan kerabat istana untuk beristirahat atau bersantai sambil melihat kegiatan remaja istana bermain sepak raga. Rumah adat Dulohupa ini, biasanya terdapat di sebuah bidang tanah yang luasnya kurang lebih lima ratus meter. Dan halamannya dilengkapi taman bunga, bangunan tempat penjualan sovenir, dan sebuah bangunan garasi bendi kerajaan yang bernama Talanggeda. Pada masa pemerintahan para raja, rumah adat ini digunakan sebagai ruang pengadilan kerajaan. Bagian dalamnya digunakan untuk memvonis para pengkhianat negara melalui sidang tiga alur pejabat pemerintahan, yaitu Buwatulo Bala (Alur Pertahanan atau Keamanan), Buwatulo Syara (Alur Huk...
Tempat pembangunan Benteng Orange cukup strategis, dan tersebunyi disebuah bukit sekitar 600 meter dari jalan Trans Sulawesi. Setelah memasuki areal benteng, disana terpampang papan nama benteng yang bertuliskan 'Cagar Budaya Benteng Orange' oleh kementrian Kebudayaan dan Pariwisata. Tampak, papan ini itu belum lama terpasang didepan tangga pertama benteng. Benteng Oranje Untuk menembus benteng, harus meniti 139 anak tangga terbuat dari batu gunung berukuran 1x setengah meter. Setelah melalui tangga ke 78, ditemui ada sebuah pos penjagaan. Kemudian, ketika mencapai tangga ke 120 ada satu lagi pos penjagaan. Sayangnya, pos jaga tentara Portugis ini sudah rusak, sehingga yang terlihat hanya beton bersegi empat ukuran 2×2 meter. Perjalanan belum sampai disitu, untuk memasuki pintu gerbang benteng masih ada 29 anak tangga lagi. Disamping kanan, ada post penjagaan lagi yang ukurannya cukup besar....
Masjid Hunto (Masjid Sultan Amay) Hunto Sultan Amay merupakan Mesjid tertua di Gorontalo. Mesjid ini berdiri pada tahun 899 Hijriah bertepatan 1495 Masehi. Dibalik tiang-tiangnya yang kokoh Mesjid ini memiliki kisah sejarah yang unik dan menarik untuk diketahui. "Islam sebenarnya sudah masuk di Gorontalo semenjak 1300an Masehi, hanya saja perkembangannya nanti pada tahun 1490an tepatnya pada saat Mesjid ini berdiri," sebelum Mesjid tersebut berdiri wilayah yang kini telah menjadi Kelurahan Biawu, Kecamatan Kota Selatan, Kota Gorontalo dipimpin oleh Raja Amay seorang pemimpin muda, ganteng, dan masih lajang. Raja dan para pengikutnya saat itu menganut kepercayaan animisme. Patung, pohon, dan hal-hal yang dianggap mistik merupakan sesembahan masyarakat saat itu. Sang Raja kemudian jatuh cinta pada putri raja. Putri Boki Antungo yang merupakan putri Raja Palasay, gadis cantik asal Mautong Sulawesi Tengah. Berniat hendak meminang sang putri, Raja Amay kemudian mendatangi lan...
Kompleks Benteng Otanaha yang terletak di atas bukit desa Dempe, Gorontalo merupakan peninggalan bersejarah yang dibangun oleh Portugis pada abad ke 15. Bangunan yang keseluruhannya terdiri dari tiga buah benteng (Benteng Otanaha, Benteng Otahiya, dan Benteng Ulupahu) ini dibangun sebagai wujud kerjasama antara Portugis dengan Raja Ilato yang tengah berkuasa pada tahun 1505 – 1585. otanahaBenteng Otanaha Dikisahkan, suatu saat kapal orang Portugis singgah di Gorontalo. Perwakilan orang Portugis itu kemudian menemui Raja Ilato dan mewarkan kerjasama untuk memperkuat sistem pertahanan dan keamamanan kerajaan. Sebagai tanda kesepakan, Portugis bersedia membangun tiga benteng yang terletak di atas bukit. Pada tahun 1525, saat Gorontalo diserang musuh, terkuaklah akal bulus Portugis. Rupanya, upaya pendekatan Portugis dengan Raja Ilato hanyalah strategi untuk menyerang Gorontalo. Pada saat terjadi serangan dari musuh itu, Portugis sama sekali tidak membantu G...
Rumah adat isasadu ni menjadi tempat warganya berkumpul, bersantap, dan berbagi nilai-nilai leluhur dan kearifan lokal yang terus dipegang teguh melekat dalam kesehariannya. Rumah adat sasadu mencerminkan watak suku Sahu yang terbuka dan ramah. Bangunan yang tanpa pintu adalah isyarat bahwa siapapun dapat masuk ke dalamnya baik itu masyarakat asli maupun suku pendatang akan diterima dengan tangan terbuka. Ini juga menyiratkan tidak ada paksaan dalam berkomunikasi antarsesama. Semuanya berlangsung secara alami dan sukarela. Rumah adat ini memiliki enam pintu untuk jalan masuk dan keluar, meskipun setiap sisinya tidak berdinding. Dua pintu untuk jalan masuk keluar bagi perempuan, dua pintu bagi lelaki, dan dua pintu bagi para tamu. Rumah adat ini juga dilengkapi bendera besar (panji) dan bendera kecil (dayalo) serta sekelilingnya dihiasi kain putih berbentuk bukit-bukit kecil (paturo) yang melambangkan NKRI. Sasadu mem...
Rumah adat Mandar (rumah adat Mamuju) dilengkapi bangunan semacam bale (bandara raja) dan model perahu layar (sandeq) sebagai symbol Sulawesi barat. Bangunan rumah adat ini biasanya disebut salassa atau rumah raja sebagai rumah induk. Rumah adat ini digunakan untuk pameran dan peragaan aspek budaya seperti pakaian adat dan benda-benda hasil kerajinan tangan. Di dalam ruangan bagian depan terdapat peragaan sepasang pakaian adat dari berbagai kabupaten, sedangkan di ruang utama atau ruang tengah digunakan sebagai tempat peragaan pelaminan dengan sepasang pengantin berpakaian adat pada pesta perkawinan. Selain itu terdapat lemari-lemari kaca yang berisi berbagai kain sarung sutra mandar, sarung tenun Sekomandi, dan pernak-pernik. Kemudian, tiang-tiang di dalam rumah dihiasi berbagai aksesoris dan benda-benda budaya yang berkaitan dengan provinsi Sulawesi barat.
Istana Kesultanan Bima berdiri megah sampai sekarang, bangunan ini terletak di daerah Bima Nusa Tenggara Barat, Istana ini juga disebut Asi Mbojo, mengacu dari maknanya berarti tempat keluarnya sesuatu, ini diartikan sebagai tempat mengeluarkan segala keputusan baik hukum pemerintahan aturan-aturan dalam bermasyarakat dan sebagainya, semuanya terpusat di dalam Asi, bisa dikatakan istana sebagai pusat pemeritahan, sedangkan Mbojo adalah nama suku yang ada di Bima. Kesultanan Bima banyak dipengaruhi oleh kesultanan Makasar, karena keluarga dari kerajaan Bima yang ke XXVII menikah dengan keluarga kesultanan Makasar, sehingga corak pemerintahan sedikit tidak terpengaruh oleh kesultanan Makasar, ini terlihat dari gelar yang dipakai pada kerajaan Bima yaitu sultan, karena sebelumnya memang kerajaan Bima memeluk agama Syiwa, tetapi setelah ada hubungan dengan Sultan Alaudin Makasar, kerjaan tersebut memluk Islam, inilah yang mengawali tonggak kesultanan Bima berdiri. &nb...