Naskah Kuno dan Prasasti
Naskah Kuno dan Prasasti
falsafah kehidupan Masrakat bugis-makassar Sulawesi Selatan Bugi-Makassar
Siri' na Pacce / Pesse
- 25 Desember 2015

Sebuah dasar falsafah hidup yang menjiwai dan menjadi pegangan masyarakat Bugis-Makassar untuk senantiasa hidup baik di negeri sendiri atau negeri orang lain adalah menjadi manusia yang perkasa dalam menjalani kehidupan. Setiap manusia keturunan Bugis-Makassar dituntut harus memiliki keberanian, pantang menyerah menghadapi tantanganataupun ujian hidup. Itulah sebabnya maka setiap orang yang mengaku sebagai masyarakat Bugis-Makassar memiliki orientasi yang mampu menghadapi apapun (Moein, 1990: 12). Jika nilai ini kemudian dilihat dari sudut pandang filsafat sejarah, maka akan ditemukan bahwa hakekat prinsip tersebut bersumber pada leluhur masyarakat Bugis-Makassar yang tersimpul dengan “duai temmallaiseng, tellui temmasarang”(dua bagian yang tak terpisahkan dan tiga bagian yang tak terceraikan). Artinya bahwa nilai ini sejatinya telah dirumuskan di masa lalu oleh para tetua dan kaum adat masyarakat Bugis-Makassar.

Suku Bugis dan Makassar mempunyai falsafah kehidupan atau etika moral yang tertanam dalam diri masyarakatnya dari ajaran nenek moyangnya dulu, Ajaran moral Siri’ na pacce suku Bugis dan Makassar mirip dengan semangat Bushido kaum Samurai Jepang, bushido menekankan kesetiaan, keadilan, rasa malu, tata-krama, kemurnian, kesederhanaan, semangat berperang, kehormatan dan lain-lain.

Siri’ yang merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah masyarakat Bugis-Makassar adalah sesuatu yang dianggap sakral . Siri’ na Pacce ( Bahasa Makassar ) atau Siri’ na Pesse’ ( Bahasa Bugis ) adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan dari karakter orang Bugis-Makassar dalam mengarungi kehidupan di dunia ini.

Nilai Siri’. Nilai yang paling utama yang terkandung dalam falsafah siri’ sebagai uraian yang pertama adalah rasa malu dan harga diri. Begitu sakralnya kata itu, sehingga apabila seseorang kehilangan Siri’nya atau De’ni gaga Siri’na, maka tak ada lagi artinya dia menempuh kehidupan sebagai manusia. Bahkan orang Bugis-Makassar  berpendapat kalau mereka itu sirupai olo’ kolo’e ( seperti binatang ). Petuah Bugis berkata : Siri’mi Narituo ( karena malu kita hidup ).

Siri’ dapat dimaknai sebagai harga diri atau kehormatan, juga dapat diartikan sebagai pernyataan sikap yang tidak serakah terhadap kehidupan duniawi. Nilai tersebut dibangun dari beberapa unsur-unsur nilai yang ada dalam masyarakat Bugis-Makassar, yakni:

  1. ada’ tongeng  (senantiasa berkata yang benar)
  2. lempu’ (senantiasa menjaga kejujuran)
  3. getteng (berpegang teguh pada prinsip keyakinan dan pendirian)
  4. sipakatau (hormat-menghormati sesama manusia)
  5. mappesone ri dewata seuwae (pasrah pada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa).

Siri’ adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia, rasa dendam (dalam hal-hal yang berkaitan dengan kerangka pemulihan harga diri yang dipermalukan). Jadi Siri’ adalah sesuatu yang tabu bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam interaksi dengan orang lain.

Sedangkan Nilai pacce/pesse merupakan konsep yang membuat suku ini mampu menjaga solidaritas kelompok dan mampu bertahan di perantauan serta disegani. Pacce/pesse merupakan sifat belas kasih dan perasaan menanggung beban dan penderitaan orang lain, meskipun berlainan suku dan ras, seperti pepatah Indonesia mengatakan “ Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul ”. Itulah salah satu aplikasi dari kata pacce/pesse, Siri’ skopnya dalam skala intern, sedangkan pacce/pesse bersifat intern dan ekstern, sehingga berlaku untuk semua orang. Ketika ada anggota komunitasnya yang menderita maka terdapat rasa kepedihan (pace) terhadap sesamanya. Misalnya seorang kerabat atau tetangga atau sorang anggota komunitas dalam masyarakat Bugis-Makassar yang mendapatkan sebuah musibah, maka dengan serta merta para kerabat atau tetangga yang lain dengan senang hati membantu demi meringankan beban yang terkena musibah tadi, seolah bagi keseluruhan komunitas tersebut, merekalah yang sejatinya terkena musibah secara kolektif.

Unsur nilai yang lain yang diturunkan dari falasafah pace ini adalah nilai semangat kesetiakawanan dan loyalitas atau kesetiaan terhadap sesama manusia. Hal ini terlihat jelas dalam pepatah Bugis-Makassar yang berbunyi taro ada’ taro gau’ (satu kata satu perbuatan), yang dimaksudkan sebagai sebuah simbol loyalitas terhadap apa yang menjiwai masyarakat Bugis-Makassar itu sendiri dalam bertindak. Unsur ini juga terlihat dalam ungkapan lontara’ masyarakat Bugis-Makassar yang tercatat dalam Pelras (2006: 58) bahwa jika anda telah kehilangan harga diri atau kehormatan, maka pertahankanlah rasa kemanusiaan yang anda miliki dengan menegakkan kesetiakawanan dan menunjukkan kesetiaan (loyalitas) yang ada dalam dirimu ( punna tena nia’ siri’nu panaiki paccenu).

Pernyataan diatas juga mengandung makna bahwa masyarakat Bugis-Makassar itu sendiri memiliki sikap loyalitas dan solidaritas yang sangat mendalam, memiliki sikap setia kawan yang sukar untuk dikhianati atau ditukar dengan apa pun, Lebih konkritnya ialah hal ini merupakan manifestasi dari wujud kehidupan masyarakat Bugis-Makassar yang senantiasa tahu untuk membalas kepercayaan seseorang yang diberikan kepadanya atau bentuk dari balas budinya terhadap apa yang telah diberikan kepadanya, sehingga hal ini secara tidak langsung juga menyentuh sendi-sendi kehidupan yang mengutamakan budi yang luhur dalam segenap persoalan yang dilakoni dalam kehidupan

Karena falsafah dan ideologi Siri’ na pacce/pesse, maka keterikatan dan kesetiakawanan di antara mereka mejadi kuat, baik sesama suku maupun dengan suku yang lain, Konsep Siri’ na Pacce/pesse bukan hanya di kenal oleh kedua suku ini, tetapi juga suku-suku lain yang menghuni daratan Sulawesi, seperti Mandar dan Tator. Hanya saja kosakatanya yang berbeda, tapi ideologi dan falsafahnya memiliki kesamaan dalam berinterasi. Menurut A. Zainal Abidin Farid siri’ terbagi dalam dua jenis:

1. Siri’ Nipakasiri’, yang terjadi bilamana seseorang dihina atau diperlakukan di luar batas kemanusiaan. Maka ia (atau keluarganya bila ia sendiri tidak mampu) harus menegakkan Siri’ nya untuk mengembalikan Dignity yang telah dirampas sebelumnya. Jika tidak ia akan disebut mate siri (mati harkat dan martabatnya sebagai manusia).“

Untuk orang bugis-makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi dari pada menjaga Siri’ nya, dan ketika masyarakat bugis-makassar tersinggung atau dipermalukan (Nipaka siri’) mereka lebih senang mati dengan perkelahian untuk memulihkan Siri’nya dari pada hidup tanpa Siri’. Dalam artian kalau diperlakukan tidak sesuai dengan derajatnya sebagai manusia. Meninggal karena Siri’ disebut Mate nigollai, mate nisantangngi artinya mati diberi gula dan santan atau mati secara manis dan gurih atau mati untuk sesuatu yang berguna.

Sebaliknya, hanya memarahi dengan kata-kata seorang lain, bukan karena Siri’ melainkan dengan alasan lain dianggap hina. Begitu pula lebih-lebih dianggap hina melakukan kekerasan terhadap orang lain hanya dengan alasan politik atau ekonomi, atau dengan kata lain semua alasan perkelahian selain daripada Siri’ dianggap semacam kotoran jiwa yang dapat menghilangkan kesaktian. Tetapi kita harus mengerti bahwa Siri’ itu tidak bersifat menentang saja tetapi juga merupakan perasaan halus dan suci, Seseorang yang tidak mendengarkan orang tuanya kurang Siri’ nya. Seorang yang suka mencuri, atau yang tidak beragama, atau tidak tahu sopan santun semua dianggap sebagai kurang Siri’ nya”.

2. Siri’ Ma siri’ , yaitu pandangan hidup yang bermaksud untuk mempertahankan,meningkatkan atau mencapai suatu prestasi yang dilakukan dengan sekuat tenaga dan segala jerih payah demi  Siri’  itu sendiri, demi Siri’ keluarga dan kelompok. Ada ungkapan bugis “Narekko sompe’ko, aja’ muancaji ana’guru, ancaji Punggawako” (Kalau kamu pergi merantau janganlah menjadi anak buah, tapi berjuanglah untuk menjadi pemimpin).

Sumber :

Moein Mappa Gessa (Andi),1990. Menggali nilai-nilai budaya bugis makassar dan siri’ na pacce. Letira, Makassar

Soeroto, Myrtha, 2003. Bugis Makassar, pustaka budaya & arsitektur, Balai Pustaka

Marzuki, M laica,1995. Siri': bagian kesadaran hukum rakyat Bugis-Makassar : sebuah telaah filsafat hukum, Hasanuddin University Press: makassaar

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline