Naskah Kuno dan Prasasti
Naskah Kuno dan Prasasti
Naskah Kuno Jawa Timur Jawa
Serat Kalathida
- 16 Juli 2018

Ahyaning arda rubeda, Ki Pujangga amengerti, mesu cipta matiraga, mudhar waraning gaib, sasmitaning sakalir, ruweding sarwa pakewuh, wiwaling kang warana, dadi badaling Hyang Widdhi, amedharken paribawaning bawana.

 

Syair tembang sinom diatas merupakan pembuka dari kitab sastra kuno Serat Kalathida karangan (R.Ng) Ranggawarsita (1728-1802 tj). Kalathida sendiri secara harfiah terdiri dari gabungan dua kata yaitu Kala yang artinya masa dan Tidha yang artinya samar, kabur atau tak menentu. Jadi bila dua kata itu di gabungkan maka Kalathida bermakna sebuah zaman yang samar, gagap, kabur, absurd dan tak menentu.

Ranggawarsita melalui karyanya inilah meramalkan bahwa akan datang satu periode masa yang jungkir balik dan tak menentu (dia menyebutnya sebagai “zaman edan atau zaman kalabendhu”) sebuah zaman dimana laki-laki akan seperti perempuan dan perempuan layaknya laki-laki, dimana sebuah janji dusta dimuntahkan, dan seribu topeng dikenakan, mayoritas manusia pun akan kehilangan eksistensialisme kemanusiaannya karena manusia lebih mementingkan untuk mengejar dimensi-dimensi keduniawian semata dan mengesampingkan dimensi spiritualitas kejiwaan. dan kita (kita?) seperti yang di ramalkan oleh serat itu

Dan kalau ditilik-tilik dari kekinian yang kita hadapi sekarang ini, apakah mungkin inilah zaman kalabendhu yang di ramalkan oleh Ki Ranggawarsita sebagai “bila tatanan berguncang, akan datang zaman kalabendhu” itu.

Terlepas dari benar tidaknya ramalan itu, menurut saya Serat Kalathida memiliki semacam semangat protes zaman, protes pada keadaan yang telah memporak-porandakan sendi kehidupan dan merampas kemanusiaan seorang manusia. Pada bagian ini Ki Ranggawarsita seperti sedang menguraikan sebuah absurditas kehidupan, ketak menentuan dan mengeksplorasi sisi eksistensialisme seorang manusia, sehingga dari sini manusia kemudian diharapkan menyadari bahwa dirinya adalah wakil jagat raya yang harus dan mau mengenali dirinya sendiri sebagai makhluk teomorfis. Dengan begitu kemudian manusia-manusia itu pun menjelma sebagai manusia unggul. Manusia-manusia pilihan.

Dan ternyata, entah kebetulan atau memang kitab karangan ini beredar hingga ke Jerman dan Perancis, beberapa tahun kemudian pandangan Ki Ranggawarsita tentang humanisasi dan moralitas kehidupan ini diikuti pula oleh pemikir-pemikir modern di sana, sebut saja seperti Nietzche dengan uebermencsh dalam kotbah monumentalnya Zarathustra, atau Sartre lewat ensoi dan poursoi-nya, Camus lewat moralitas kehidupannya, bahkan Edmund Husserl dengan filsafat penomenologisnya dan banyak lagi.

Yang mungkin membedakan pandangan Ki Ranggawarsita dengan para filsuf Jerman dan Perancis di atas hanyalah terletak pada bagaimana cara penyelesaian mereka terhadap penomena yang mereka hadapi itu. jika Ranggawarsita (mungkin karena factor cultural) lebih menekankan pada sikap pasrah dan mendekatkan diri ke Tuhannya, maka berbeda jalan yang di tempuh oleh Nietzsche, Husserl, Camus dan Sartre (lagi-lagi mungkin karena factor cultural juga). Para filsuf  itu lebih memilih bersikap memberontak pada tatanan yang membelenggu eksistensi kemanusiaan mereka.

“Eksistensialisme a la Ranggawarsita termanipestasi dalam penyerahan total dan mutlak pada eksistensi Tuhannya”, demikian kata Supaat I. Latief, “sehingga eksistensinya sendiri (eksistensi pribadi) kehilangan sebuah kemungkinan.” Dengan begitu, eksistensi seperti ini merupakan eksistensi kebebasan yang telah dicabut dari posibilitasnya untuk dapat mengubah tatanan. Sikap pasrah Ranggawarsita ini dapat kita saksikan lewat syair yang beliau tulis di salah satu bab serat Kalathida di bawah ini:

Sageda sabar santosa, mati sajeroning ngurip, kaling ing reh aruara, murka angkara sumingkir, tarlen meleng malatsih, sanityasa tyas mamasuh, badharing sapudhendha, antuk mayar sawatawis, borang angga suwarga mesi martaya.

 

Meskipun begitu, sikap pasrah pada eksistensi Tuhan yang di ajarkan oleh syair di atas tentu saja tidak serta merta mengharuskan manusia dalam mencapai kesucian harus meninggalkan segala tetek bengek keduniawian mereka dan ngejogrog namru di tempat-tempat sunyi dan jauh dari orang-orang di sekitarnya seperti kain pel yang habis di pakai. Seorang manusia, boleh-boleh saja berada di tempat keramaian, selama ia tidak terganggu dan tetap punya kesempatan untuk merenung dan kontemplasi pada permasalahan eksistensialis. Sendiri dalam keramaian. Mati sajeroning nguripIwak rak melu asin senajan urip ning segoro. Dengan demikian, pada akhirnya dari laku lampah yang ia jalani itu diharapkan sang manusia dapat memberi makna dan nilai terhadap kehidupan di sekitarnya, ditengah keong sak kenong matane, tikus-tikus pada ngidung lan kucing gering kang njagani.

Kalau sudah begitu, pada tingkat selanjutnya barulah sang manusia boleh meneruskan perjalanannya menuju dunia transenden untuk kemudian menjadi soko guru atau pandhito ratu yang mumpuni untuk memberikan contoh tauladan dan nasihat pada manusia-manusia disekitarnya…

 

Sumber: http://arsipbudayanusantara.blogspot.com/2012/09/serat-kalathida-eksistensialisme-la-jawa.html

 

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline