Prasasti Curug (air terjun) Dago berada dalam kawasan hutan lindung dan daerah perbukitan, di Kampung Curug Dago, Desa Ciumbuleuit, Kecamatan Cidadap, dengan keletakan geografis pada garis koordinat 107º 37'044" BT dan 06º 51'562" LS dan daerahnya merupakan dataran tinggi ± 1310 m di atas permukaan air laut. Dua prasasti ini terletak ± 10 km di sebelah timur laut dari pusat kota Bandung, tepatnya di tebing Sungai Cikapundung yang tidak jauh dari air terjun Curug Dago dalam kondisi insitu dan utuh. Lokasi prasasti dapat ditempuh melalui Jalan Ir. Juanda/Dago turun di Dago Tea House (Teehuis)/Balai Pengelolaan Taman Budaya dan dari lokasi itu dilanjutkan dengan berjalan kaki menuruni tangga beton sampai ke lokasi prasasti.
Berita pertama tentang prasasti dengan aksara dan bahasa Thai Curug Dago terdapat dalam Surat Kabar Harian Bandung Pos tanggal 1 Pebruari 1990, dan kemudian di Surat Kabar Harian Kompas, ditulis oleh wartawan Omas Witarsa. Selanjutnya tanggal 15 Juli 1990, Omas Witarsa mengirim surat kepada Yang Mulia Ratu Thailand Bhumiphol, yang menerangkan bahwa dengan bantuan dari Kolonel Bancha yang sedang mengikuti sekolah di Lembang membaca kedua prasasti itu, isi tulisan apabila ditranliterasikan dalam huruf latin adalah CO PO RO serta PO RO RO, yang dimaksud adalah raja-raja Thailand yaitu PYM Raja Chulalonkorn dan PYM Raja Paraminthara. Selanjutnya Negara Thailand meminta agar Negara Indonesia memberikan pengamanan dan pelestarian terhadap peninggalan purbakala. Ditindaklanjuti oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Purbakala, di Serang sebagai UPT Direktur Linbinjarah melaksanakan kegiatan penelitian dan pelestarian terhadap prasasti Curug Dago tanggal 9 – 15 Juli 1991. Penelitian mengungkapkan bahwa ada 2 buah bongkah batu andesit (andezitic boulders). Prasasti I berukuran 122 x 46 x 56 cm (tebal di atas permukaan tanah), bulat memanjang, tidak ada pengerjaan permukaan batu (natural), guratan tulisan berelief dangkal. Prasasti dalam posisi membujur hampir simetris dengan aliran Sungai Cikapundung, terletak relatif lebih tinggi dari pada keletakan prasasti II. Tulisan terpusat hanya pada satu bidang permukaan batu, tersusun dalam 2 baris, baris atas pahatan inisial sedangkan pada baris bawah adalah nama raja. Jarak prasasti I dan II, 11,70 meter dan keduanya tepat di bibir air sungai Cikapundung dengan ketinggian ± 2 meter dari muka air sungai. Prasasti II permukaannya rata terdiri dari bidang-bidang mendatar dan tegak, bulat memanjang, berukuran 202 x 96 x 67 cm, penulisan tidak terpusat, terdiri dari masing-masing:
1. Bidang tegak pada sisi barat dan selatan, yang sebelah barat inisial satu baris, sedangkan yang selatan dua baris bersusun berisi inisial (baris atas dan inskrpsi nama pada baris bawah).
2. Sementara itu pada bidang lain di sisi barat terdapat pahatan bintang bersudut 5 dengan lingkaran pada bagian tengah dan gambar segitiga sama kaki. Pada setiap sudut bintang terdapat tulisan dekat dengan garis lingkaran. Di luar segi tiga maupun di dalamnya juga terdapat aksara Thai. Secara keseluruhan batu prasasti II meskipun berbentuk bulat (profil longitudinal) memanjang, tetapi berpunggung tinggi (high back), sehingga bidang-bidang tegak (profil literal maupun traversal) cukup luas untuk dapat dipahatkan tulisan, inisial atau bentuk grafis lainnya. Ini berbeda dengan bentuk prasasti I, yang cenderung lebih pipih sehingga bagian permukaan atas yang luas, yang memungkinkan untuk ditulisi. Pahatan bintang beserta isinya (tiga sudut bintang sengaja tidak digambar) Selain itu masih terdapat bungkahan (boulder) jenis batuan yang sama yang terletak di antara prasasti I dan II, namun karena keadaan topografi medan observasi yang berkontur tajam, tak memungkinkan dapat dibuatnya dokumen foto horizontal yang cukup luas yang memungkinkan dapat merekam kedua prasasti dalam konteks yang lebih luas.
Mengenai morfologi tulisan pada kedua prasasti tersebut adalah alpabet Thai, yang berkembang berkat jasa seorang raja Sukhotai: Raam Kham Heng seperti termuat dalam prasasti berangka tahun 1284 M, yang kemudian diikuti oleh beberapa raja untuk menyederhanakannya. Menurut S.A. Reitsma dan W.H. Hoogland (1922, Gids Van Bandoeng En Omstrcken) kedua temuan prasasti tersebut erat kaitannya dengan kunjungan keluarga Kerajaan Siam (Tailand) ke Bandung, yakni Raja Chulalongkorn serta Pangeran Prajatthipok Paramintara, yang masing-masing merupakan raja ke V dan VII dari Dinasti Chakri. Agama Buddha sekte Theravada merupakan agama terbesar di Thailand yang memliki kedudukan utama sebagai dasar kepercayaan dalam kehidupan rakyat Thailand. Agama ini muncul sebagai tradisi agama/kepercayaan sejak awal abad Masehi. Dhyani Buddha dari Borobudur merupakan hadiah Raja Rama V (melalui perbuatan baik atau tham-bun) kepada rakyatnya, dalam rangka upacara kenegaraan memperingati hari raya Buddha yang dihadiri oleh beratus pendeta dan rakyat.
Dengan demikian, maka tujuan penulisan kedua prasasti di Curug Dago yang memuat nama kedua nama raja dan pangeran itu menjadi jelas yaitu merupakan penghormatan terhadap ke dua tokoh tersebut, lengkap dengan penulisan inisial, angka tahun serta catatan usia kedua tokoh.
Memang ada tradisi yang menyatakan bahwa pada umumnya apabila seseorang raja Thai menemukan tempat panorama yang indah, maka biasanya di tempat tersebut sang raja melakukan semadhi dan kadangkala menuliskan nama atau hal lainnya yang dianggap penting. Sekaligus merupakan kenangan dan pengakuan atas kekeramatan/kesucian tempat tersebut, seperti diungkapkan oleh seorang Bhiksu Pravithamtor dari Vihara Menteng Jakarta Pusat. Mengenai tempat prasasti, dapat dianggap sebagai sesuatu yang telah menjadi kebiasaan, yakni pada tempat-tempat yang dianggap keramat atau disucikan, yang dapat berbentuk dataran di tepi sungai atau diapit dua sungai, di atas bukit, di lereng atau di puncak gunung atau bahkan pada tempat datar yang ditinggikan. Kedua prasasti Curug Dago terletak di tebing sungai Cikapundung. Dilihat dari segi penempatannya atau lokasi keletakkannya, apabila kedua prasasti tersebut memang dibuat dalam rangka kunjungan Raja Tai dan rombongan pada tahun 1896, tentu pada waktu itu jalan menuju ke Curug Dago amatlah sulit dan nyaris mustahil untuk dilakukan oleh elite kerajaan apalagi dari luar negeri (mancanegara). Objek budaya Prasasti Curug Dago berada di bawah Air Terjun (Curug) Dago yang telah dikembangkan sebagai salah satu objek wsiata pada kawasan Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda yang dikelola oleh Balai Pengelolaan Taman Hutan Raya Ir. H.Juanda, Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat. Lokasi Prasasti Curug dago menempati salah satu area sebelah selatan dari Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda, dan telah memiliki lahan parkir kendaraan roda dua dan shelter para pengunjung sebelum dan sesudah mengunjungi objek Prasasti Curug Dago dan Air Terjun (Curug) Dago. Untuk pengunjung berkendaraan roda 4 dapat diparkirkan di Komplek Taman Budaya, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Barat yang berjarak ± 1,2 km dari lokasi objek.
Alamat: Air terjun Dago, Kampung Curug Dago, Desa Ciumbuleuit, Kecamatan Cidadap
Koordinat : 6°51'56.17"S, 107°37'4.93"E
#OSKMITB2018
BAHAN-BAHAN 1 ikat kangkung bumbu halus : 5 siung bawang merah 2 siung bawang putih 2 butir kemiri 1 sdt ketumbar bubuk seruas kencur aromatic : 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 btg sereh seruas lengkuas,geprek seasoning : 1 sdt garam (sesuai selera) 1/2 sdt kaldu bubuk 1/2 sdm gula jawa sisir 1 sdt gula pasir Rose Brand 1 bungkus santan cair instan Rose Brand 1 liter air 3 sdm minyak goreng untuk menumis CARA MEMASAK: Siangi kangkung cuci bersih,tiriskan Haluskan bumbu Tumis bumbu halus hingga harum dengan secukupnya minyak goreng,masukkan aromatic,masak hingga layu,beri air 1 lt Masukkan kangkung,beri seasoning,aduk rata Koreksi rasa Sajikan Sumber: https://cookpad.com/id/resep/25030546?ref=search&search_term=kangkung
Bahan: 1 buah tomat, potong dadu 2 ekor ikan tongkol ukuran sedang (1/2kg) 1/2 bks bumbu marinasi bubuk 1 sdt bawang putih Secukupnya garam Secukupnya gula 7 siung bawang merah, iris 5 buah cabe rawit, iris 2 batang sereh, ambil bagian putihnya, iris 3 lembar daun jeruk, iris tipis-tipis 1 bks terasi ABC Minyak untuk menumis Secukupnya air Cara memasak: Cuci bersih ikan tongkol. Taburi bumbu marinasi desaku, garam secukupnya, air 2 sdm ke ikan tongkol. Siapkan bahan-bahan. Iris tipis bawang merah, daun jeruk, seret, cabe rawit. Kukus ikan tongkol selama 10 menit. Lapisi dengan daun pisang atau daun kunyit. Boleh jg tidak d lapisi. Setelah ikan di kukus, goreng ikan. Tumis bawang merah dan bahan lainnya. Masukkan terasi yg telah dihancurkan. Setelah matang, masukkan ikan yang telah digoreng. Aduk hingga rata. Sajikan dengan nasi hangat. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/24995999?ref=search&search_term=dabu+dabu
Bahan-bahan Porsi 2 orang Bumbu Ikan bakar : 2 ekor ikan peda 1 sdm kecap 1/2 sdm Gula merah 1/2 sdt garam Minyak goreng Bahan sambal dabu-dabu : 7 buah cabe rawit merah, iris kecil 1 buah tomat merah, iris dadu 3 siung bawang merah,iris halus 2 lembar daun jeruk, buang tulang tengah daun, iris tipis 2 sdm minyak goreng panas Cara Membuat: Marinasi ikan dengan air perasan jeruk nipis dan garam secukupnya, diamkan 20 menit, kemudian panggang diatas teflon(aku di happycall yang dialasi daun pisang) sesekali olesi minyak plus bumbu ke ikannya(aku pakai bumbu kecap dan gula merah) panggang sampai matang. Cara bikin Sambal dabu-dabu : Campurkan semua bahan sambal dabu-dabu ke dalam mangkok kecuali minyak kelapa, panaskan minyak kelapa, kemudian siram diatas sambal tadi, sajikan ikan peda bakar dengan sambal dabu-dabu. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/15232544?ref=search&search_term=peda+bakar
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.