|
|
|
|
Kaba Tusi Tanggal 14 Nov 2018 oleh Hamzahmutaqinf . |
Kaba Tusi juga menjadi sebuah simbol kewibawaan yang diberikan Nai Ina-Ama Lasiolat.
Kaba tusi dimaksudkan untuk memberi kekuatan kepada para ketua suku agar mempunyai wibawa, kuasa, resmi dari raja dalam menjalankan kuasa kepemimpinannya atas suku.
Dalam ritual ini, para ketua suku diberi kekuatan atau beran, sehingga dalam menjalankan tugas kepemimpinan mereka dapat bertanggung jawab.
Upacara Kaba Tusi dilakukan secara terbuka di hadapan masyarakat adat sehingga semua kalangan tahu bahwa seseorang telah diberi satu kuasa dan mandat untuk memimpin suku.
Secara tradisi, Kaba Tusi dikukuhkan langsung oleh raja/Ina Ama Lasiolat atas restu dan berkat para leluhur.
Mako’an (Imam adat) juga dilibatkan dalam prosesi ini. Para imam adat ini merupakan petugas dari Ina Ama untuk melaksanakan ritual pengukuhan.
Peran seorang imam adat yakni memanjatkan doa dalam bentuk mantra kepada ‘kekuatan yang lebih tinggi’: Nai Lulik Waik–Nai Manas Waik.
Ritual Kaba Tusi bukan sebuah upacara adat yang rutin dijalankan. Upacara ini baru terjadi jika Ina Ama Lasiolat merasa perlu untuk melaksanakan upacara ini.
Ada dua alasan pokok bagi Ina Ama Lasiolat melangsungkan upacara Kaba Tusi.
Pertama, apabila kepala suku mangkat, maka secara internal anggota suku mengangkat kembali salah satu anak atau keluarga dalam suku sebagai pengganti untuk menduduki jabatan kepala suku. Kedua, apabila aktivitas dalam suku atau peranan ketua suku tersebut mulai terasa berkurang akibat kehilangan kewibawaan dalam memimpin suku. Maka dengan diselenggarakan upacara ini, bisa membangkitkan kembali semangat dan motivasi kepemimpinan ketua suku.
Proses pemilihan ketua suku ini selalu melahirkan dinamika internal yang cukup alot, akibat perebutan siapa yang dianggap atau menganggap diri layak menduduki jabatan ketua suku.
Pada kondisi yang tak tertangani, Ina Ama Lasiolat bertanggung jawab untuk mengintervensi. Sehingga secara otomatis suku yang bersangkutan dituntut untuk segera menyelesaikan persoalan internal tersebut dalam suku, sebelum pelaksanaan Kaba Tusi. Dalam konteks ini, dapat dipahami yang dimaksud dengan suku merupakan satu unit sosial terkecil masyarakat adat yang bisa terdiri lebih dari satu marga (fam). Pada dasarnya struktur sosial ema tetun (orang Belu) khususnya di kerajaan Fialaran terdiri dari fukun-fukun, uma manaran atau uma hun (secara harafiah, ruas buku bambu, rumah suku, rumah inti; secara simbolis artinya klan, suatu komunitas kerabat seketurunan). Uma manaran, uma hun dan uma fukun (disingkat, uma) adalah pusat kehidupan suatu kelompok kerabat yang berdasarkan ikatan darah dan kesamaan keturunan karena mempunyai seorang tokoh leluhur pendiri uma tersebut.
Keanggotaan suatu uma manaran biasanya didasarkan pada sistem perkawinan patrilineal berdasarkan adat kebiasaan pemberian belis putus yang disebut, faen kotu (secara harafiah, menggoyang kesana kemari sampai tercabut dari akar-akarnya; secara simbolis artinya, mengalihkan status seorang isteri dengan anak-anaknya dari uma asalnya ke uma sang suami).
Dengan upacara faen kotu, belis sebagai sistem pertukaran sosial untuk menghargai martabat dan kedudukan sosial seorang perempuan dipandang sebagai upacara pengukuhan adat untuk mengalihkan status, hak-hak dan kewajiban-kewajiban seorang perempuan atau isteri dan anak-anaknya dari uma asalnya menjadi anggota uma suku suaminya.
Itulah sebabnya, keberadaan seorang kepala suku menjadi penting karena persekutuan anggota-anggota suku dalam satu ikatan uma manaran akan lebih terorganisir akan lebih kuat.
Dalam kaitan dengan peran penting seorang kepala suku, maka dapat dipastikan bahwa dalam lingkup suku atau uma manaran, seorang kepala suku harus bertanggung jawab atas semua urusan rohani dan jasmani, di antaranya:
1. Memelihara harta pusaka dan hak ulayat atas harta produktif milik suku;
2. Menyelenggarakan upacara-upacara adat religius;
3. Mengatur urusan adat perkawinan, kelahiran, kematian, kenduri, dll;
4. Menjaga kesatuan, kerukunan, kedamaian, keadilan dan gotong-royong bagi anggota suku;
5. Menyelesaikan setiap perselisihan anggota suku secara damai dan penuh rasa kekeluargaan;
6. Turut membina dan memelihara norma-norma dan aturan adat istiadat.
Dalam konteks inilah, uma manaran juga disebut sebagai “uma lulik” (harafiah, uma berarti rumah; lulik, artinya suci, keramat), karena di dalam uma suku / manaran tersimpan harta benda milik suku yang dikeramatkan dan disucikan sebagai akar kehidupan. Lulik yang dimaksud adalah “lulik uma laran” atau “tolu uma laran”, yakni kakaluk, soe no Kaman dan Koba Lalu’an.
Pada intinya, upacara Kaba Tusi ini bertujuan untuk memberi pengakuan dan restu bagi pimpinan suku setempat, menerima berkat dan kekuatan dari Yang Maha Kuasa dan arwah para leluhur. Ritual ini juga dilakukan agar diketahui sacara luas oleh masyarakat adat setempat, sebagai ungkapan syukur dan simbol persatuan di kalangan para pemimpin dan anggota suku.
Sumber:
https://voxntt.com/2018/09/26/ritual-kaba-tusi-pengukuhan-adat-kepala-suku-di-belu/34624/
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |