Lontaraq adalah sebutan naskah bagi rakyat Sulawesi Selatan. Kata ini diambil dari bahasa Jawa/Melayu yaitu lontar atau palem tal (Borassus flabellifer). Dengan begitu, lontaraq adalah naskah yang ditulis pada daun tal, tradisi yang juga dilakukan oleh orang Sunda, Jawa, dan Bali dalam menulis naskah rontal mereka. Ada pula yang berpendapat bahwa secara etimologis kata lontarak terdiri dari dua kata: raung (daun) dan talak (lontar). Kata raung talakmengalami proses evolusi menjadi lontarak.
Ada sebuah lontaraq yang unik, mirip dengan pita atau kaset audio/video. Teksnya ditulis satu baris pada daun tal sempit yang digulung, hanya dapat dibaca bila gulungan diputar balik. Tulisan pada gulungan bergerak di depan mata pembaca, dari kiri ke kanan. Salah satu lontaraq gulung tersebut adalah La Galigo, sebuah epos asli masyarakat Bugis, diperkirakan ditulis pada abad ke-14, masa pra Islam. Karya sastra ini berjumlah 6.000 halaman, dengan metrum lima suku kata. Latar belakang kisah La Galigo ini berada di Luwu, kerajaan yang dianggap tempat kelahiran masyarakat Bugis. Berikut lontaraq La Galigo yang
digulung pada dua buah poros.
Selain epos La Galigo, tulisan-tulisan kuno Bugis yang lain adalah kronik sejarah (attoriolong), nyanyian upacara keagamaan, hukum, catatan harian, silsilah (lontaraq pangngoriseng), kata bijak (pappaseng), cerita rakyat, dan syair pendek atau elong. Di samping itu, ada pula jenis toloq, yakni syair sejarah-kepahlawanan, di mana kisah kepahlawanan diceritakan dengan puitis, mirip La Galigo. Tulisan toloq sangata panjang, bisa mencapai ratusan halaman, dicirikan oleh penggunaan kosa kata kuno, metafora/khiasan, penggunaan matra delapan sukukata, dan heroik.
Sementara itu, tulisan yang ditemukan di Mandar kebanyakan berupa naskah hasil penulisan sejarah, kebiasaan setempat dan pengajaran adat (pappasang), kumpulan syair empat baris (kalindaqdaq), dan lagu asmara tradisional (tikapayo). Ada pun naskah-naskah kuno dari Makassar banyak mengandung peristiwa sejarah, seperti sejarah (patturioloang) Kerajaan Makassar, Gowa, dan Tallo; catatan harian (lontaraq bilang); serta silsilah keluarga.
Rupanya, tradisi catatan harian (lontaraq bilang) cukup memegang peranan penting dalam budaya tulis Sulawesi Selatan. Isinya segala peristiwa penting bagi kerajaan. Penulisnya adalah seseorang yang berpangkat tinggi. Ia menorehkan lidi dari ijuk kasar ke permukaan rontal.
Selain di lontaraq, naskah-naskah Sulawesi Selatan banyak ditulis pada kertas—hampir seluruhnya kertas Eropa. Biasa naskah kertas ini berasal dari abad ke-18.
Filosofi dan Sejarah Aksara Lontara
Aksara Lontara (ada yang menyebutnya Lontaraq atau Lontarak) ialah aksara asli masyarakat Bugis, Makassar, dan Mandar di Sulawesi Selatan. Sebetulnya masih ada huruf Makassar Kuno, yang usianya lebih tua dari aksara Lontara. Namun yang kemudian lestari adalah Lontara. Ada yang berpendapat, bahwa Lontara ini berbeda dengan aksara-aksara lain di Indonesia seperti aksara Bali, Jawa, Lampung, Sunda, yang oleh sebagian besar filolog dikaitkan dengan aksara Pallawa dari India. Aksara Lontara ini tidak dipengaruhi budaya lain, termasuk india. Namun ada pula yang berpendapat bahwa aksara ini merupakan turunan dari Pallwa. Selain aksara sendiri, masyarakat Bugis menggunakan dialek sendiri yang dikenal dengan “bahasa Ugi”. Sementara itu, suku lainnya di Sulawesi Selatan yaitu Saqdan Toraja, tak memiliki tradisi menulis, hanya memiliki tradisi lisan.
Bentuk aksara Lontara, menurut budayawan Prof Mattulada, berasal dari “sulapa eppa wala suji”. Wala berarti “pemisah/pagar/penjaga”, dan suji yang berarti “putri”.Wala suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Sulapa eppa, berarti “empat sisi”, merupakan bentuk mistik kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta, yakni api-air-angin-tanah. Maka darki itu, bentuk aksara Lontara sendiri berbentuk segi empat (belah ketupat). Hal ini didasari pemahaman filosofis kultural masyarakat Makassar bahwa kejadian manusia berasal dari empat unsur, yaitu butta (tanah), pepek (api), jeknek(air), dan (anging) angin.
Menurut sejarah, Lontara di Sulawesi Selatan pertama kali berkembang di wilayah Bugis yaitu kawasan Cenrana-Walannae sekitar tahun 1400 M. Aksara ini mungkin telah menyebar ke bagian lain Sulawesi Selatan, tetapi kemungkinan perkembangan aksara yang independen tidak dapat diabaikan. Yang jelas adalah bahwa catatan tertulis lontara yang paling awal yang ada buktinya adalah silsilah keluarga. Pada saat kertas tersedia di Sulawesi Selatan pada awal abad ke-17, aksara lontara yang sebelumnya harus ditulis lurus, bersudut dan kaku pada daun lontar, kini dapat ditulis lebih cepat dan lebih bervariasi dengan menggunakan tinta pada kertas. R.A. Kern (1939:580-3) menuliskan bahwa aksara lontara termodifikasi yang memiliki bentuk lengkung yang ditemukan tertulis pada kertas tampaknya tidak ditemukan dalam naskah Bugis yang tertulis pada daun lontar yang ia teliti.
Sistem Aksara Lontara
Aksara Lontara telah ada sejak abad ke-12. Aksara ini berjumlah 23 huruf (termasuk bunyi konsonan dan vokal a) yang disusun berdasarkan aturan tersendiri. Dalam sistem aksara ini, dikenal penanda vokal untuk u, e, o, ae. Berikut tabel aksara Lontara:
Namun, aksara Lontara tidak mengenal hurup atau lambang untuk mematikan hurup misalnya sa menjadi s. Ketiadaan tanda-mati ini cukup membingungkan bila ingin menuliskan huruf mati. Juga, di banding aksara-aksara lain, aksara Lontara tak memiliki semua fonem. Beberapa huruf ditafsirkan secara teoretis dengan sembilan cara berbeda, dan ini juga kadang-kadang menimbulkan masalah bagi penafsiran pembaca. Maka dari itu, di masyarakat Bugis dikenal adanya elong maliung bettuanna, yakni nyanyian dengan makna tersembunyi. Misalnya kata buaja buluq(buaya gunung) merujuk pada macang (harimau). Ejaan macang sama dengan ejaanmacca (pintar), yang menjadi makna turunan dari buaja buluq.
Sumber: http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/988/lontaraq-dan-aksara-lontara
Resep Sambal Matah Bahan-bahan: Bawang Merah Cabai Rawit Daun Jeruk Sereh Secukupnya garam Minyak panas Pembuatan: Cincang bawang merah, cabai rawit, daun jeruk, dan juga sereh Campur semua bahan yang sudah dicincang dalam satu wadah Tambahkan garam secukupnya atau sesuai selera Masukkan minyak panas Aduk semuanya Sambal matah siap dinikmati
Bangunan GKJ Pakem merupakan bagian dari kompleks sanatorium Pakem, yang didirikan sebagai respon terhadap lonjakan kasus tuberculosis di Hindia-Belanda pada awal abad ke-20, saat obat dan vaksin untuk penyakit ini belum ditemukan. Sanatorium dibangun untuk mengkarantina penderita tuberculosis guna mencegah penularan. Keberadaan sanatorium di Indonesia dimulai pada tahun 1900-an, dengan pandangan bahwa tuberculosis adalah penyakit yang jarang terjadi di negara tropis. Kompleks Sanatorium Pakem dibangun sebagai solusi untuk mengatasi kekurangan kapasitas di rumah sakit zending di berbagai kota seperti Solo, Klaten, Yogyakarta, dan sekitarnya. Lokasi di Pakem, 19 kilometer ke utara Yogyakarta, dipilih karena jauh dari keramaian dan memiliki udara yang dianggap mendukung pemulihan pasien. Pembangunan sanatorium dimulai pada Oktober 1935 dan dirancang oleh kantor arsitektur Sindoetomo, termasuk pemasangan listrik dan pipa air. Sanatorium diresmikan oleh Sultan Hamengkubuwono VIII pada 23...
Bahan-bahan 4 orang 2 bungkus mie telur 4 butir telur kocok 1 buah wortel potong korek api 5 helai kol 1 daun bawang 4 seledri gula, garam, totole dan merica 1 sdm bumbu dasar putih Bumbu Dasar Putih Praktis 1 sdm bumbu dasar merah Meal Prep Frozen ll Stok Bumbu Dasar Praktis Merah Putih Kuning + Bumbu Nasi/ Mie Goreng merica (saya pake merica bubuk) kaldu jamur (totole) secukupnya kecap manis secukupnya saus tiram Bumbu Pecel 1 bumbu pecel instant Pelengkap Bakwan Bakwan Kriuk bawang goreng telur ceplok kerupuk Cara Membuat 30 menit 1 Rebus mie, tiriskan 2 Buat telur orak arik 3 Masukkan duo bumbu dasar, sayuran, tumis hingga layu, masukkan kecap, saus tiram, gula, garam, lada bubuk, penyedap, aduk hingga kecap mulai berkaramel 4 Masukkan mie telur, kecilkan / matikan api, aduk hingga merata 5 Goreng bakwan, seduh bumbu pecel 6 Siram diatas mie, sajikan dengan pelengkap
Wisma Gadjah Mada terletak di Jalan Wrekso no. 447, Kelurahan Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma Gadjah Mada dimiliki oleh Universitas Gadjah Mada yang dikelola oleh PT GAMA MULTI USAHA MANDIRI. Bangunan ini didirikan pada tahun 1919 oleh pemiliknya orang Belanda yaitu Tuan Dezentje. Salah satu nilai historis wisma Gadjah Mada yaitu pada tahun 1948 pernah digunakan sebagai tempat perundingan khusus antara pemerintahan RI dengan Belanda yang diwakili oleh Komisi Tiga Negara yang menghasilkan Notulen Kaliurang. Wisma Gadjah Mada diresmikan oleh rektor UGM, Prof. Dr. T. Jacob setelah di pugar sekitar tahun 1958. Bangunan ini dikenal oleh masyarakat sekitar dengan Loji Cengger, penamaan tersebut dikarenakan salah satu komponen bangunan menyerupai cengger ayam. Wisma Gadjah Mada awalnya digunakan sebagai tempat tinggal Tuan Dezentje, saat ini bangunan tersebut difungsikan sebagai penginapan dan tempat rapat. Wisma Gadjah Mada memiliki arsitektur ind...
Bangunan ini dibangun tahun 1930-an. Pada tahun 1945 bangunan ini dibeli oleh RRI Yogyakarta, kemudian dilakukan renovasi dan selesai tanggal 7 Mei 1948 sesuai dengan tulisan di prasasti yang terdapat di halaman. Bangunan bergaya indis. Bangunan dilengkapi cerobong asap.