Wulla Poddu berasal dari kata wulla yang berarti bulan dan poddu yang berarti pahit. Jadi secara harafiah Wulla Poddu berarti bulan pahit, disebut pahit karena sepanjang bulan itu ada sejumlah larangan yang harus dipatuhi dan serangkaian ritual yang harus dijalankan. Intinya Wulla Poddu adalah bulan suci. Hampir semua wilayah di Sumba Barat merayakan ritual ini. Di wilayah Lamboya kegiatan berpusat di kampung Sodan dan Kadengar, di Wanokaka berpusat di kampung Kadoku, di Tana Righu berpusat di kampung Ombarade, tapi yang terbesar dari semuanya ada di wilayah Loli. Hampir semua kampung adat utama di wilayah ini merayakan Wulla Poddu, dengan Tambera, Tarung, Bondo Maroto dan Gollu selaku kampung-kampung sentra ritual.
Di sepanjang bulan ini banyak orang berburu babi hutan. Hasil buruan diserahkan kepada Rato sambil melantunkan tanya jawab dalam bentuk pantun adat (kajalla). Babi hutan yang pertama kali ditangkap biasanya menjadi indikator hasil panen. Babi jantan berarti hasil panen bakal memuaskan, babi betina yang sedang bunting menandakan hasil panen kurang baik, sementara jika babinya menggigit orang berarti bakalan ada hama tikus. Di bulan ini pula para pemuda yang telah akil balik menjalani proses sunatan, dan selama beberapa hari diasingkan ke alam liar untuk hidup mandiri sebagai tanda kedewasaan.
Wulla Poddu diawali dengan semedhi para rato marapu untuk menentukan masa bulan suci. Dan seperti umumnya terjadi pada masyarakat tradisional mana pun penentuan masa ini tidak berdasarkan kalender masehi, tapi berdasarkan perhitungan yang mengacu pada gejala alam dan benda langit, terutama bulan. Jenis dan waktu penyelenggaraan ritual pun tidak selalu sama antara kampung yang satu dengan kampung lainnya. Berikut ini adalah tahapan ritual Wulla Poddu yang dilaksanakan di Kampung Tambera, sebuah kampung tua di sebelah Utara Waikabubak.
Deke Ana Kaleku Merupakan ritual pertama bulan suci yang ditandai dengan kedatangan rato dari kampung Geila Koko yang bertugas sebagai pembaca bulan. Rato ini datang untuk menyerahkan kaleku, semacam clutch bag tradisional Sumba berisi sirih dan pinang (dua jenis buah yang selalu digunakan dalam ritual pemujaan) dan dengan itu Wulla Poddu pun dimaklumkan.
Tubba Ruta (cabut rumput): Ritual ini berlangsung di sebuah gua kecil tak jauh dari kampung. Gua tersebut sangat disakralkan karena di dalamnya tersimpan sebuah guci keramat bernama Dinga Leba yang merupakan objek utama pemujaan untuk mandapatkan berkat marapu. Seperti namanya, ritual tubba ruta merupakan kegiatan bersih-bersih. Areal sekitar gua dipagari dan dibersihkan, begitu juga dengan Dinga Leba. Selesai dibersihkan guci tersebut diisi air yang bersumber dari mata air suci. Nanti, pada ritual selanjutnya yang berlangsung beberapa minggu kemudian, air ini akan diperiksa lagi dan dijadikan media meramal hasil panen. Tubba rutta berlangsung pada malam hari dibawah pimpinan Rato Uma Lede. Setelah kegiatan selesai sang rato pulang ke rumah dan melanjutkan pemujaan hingga dini hari (pakaleku baga).
Kaleisuna Ritual ini dilaksanakan sore hari setelah tubba ruta, berupa penyampaian undangan oleh rato yang berperan sebagai Ina-Ama kepada rato-rato lain yang bermukim di kampung Tambera untuk mengikuti acara Tauna Marapu.
Tauna Marapu Merupakan forum musyawarah para rato untuk membicarakan persiapan pelaksanaan Wulla Poddu. Pada kesempatan ini dilakukan upacara pemujaan (noba) dengan menyembelih sejumlah ayam milik kabisu-kabisu yang terlibat. Usus masing-masing ayam diperiksa, jika bentuknya bagus maka kabisu yang bersangkutan akan mendapat panen yang bagus pula, tapi jika sebaliknya berarti panennya bermasalah sehingga kabisu tersebut perlu mempersiapkan diri dengan bekerja lebih giat. Tauna Marapu biasanya selalu diikuti dengan ritual Padedalana atau pengumuman pelaksanaan Wulla Poddu yang diteriakkan secara berantai dari rumah ke rumah, agar para warga segera mempersiapkan diri menyambut bulan suci.
Pogo mawo Ritual pemotongan pohon pelindung dari jenis tertentu yang harus memiliki delapan tumpuk ranting. Pohon ini agak susah dicari, biasanya di hutan-hutan yang ada di sekitar kampung. Setelah ditemukan harus dipotong saat itu juga lalu digotong ke kampung untuk ditanam di dekat Natara Poddu. Pohon ini dipercaya akan memberi perlindungan dan kemakmuran bagi warga selama satu tahun penuh (hingga wulla poddu berikutnya). Karena ditanam tanpa akar pohon ini tentu akan mengering dan daun-daunnya bakal berguguran. Proses alamiah yang biasa saja tapi bagi warga kampung dipandang sebagai suatu indikasi. Bagi mereka, daun yang gugur sebelum waktunya adalah pertanda kemakmuran yang berumur pendek. Di kampung Tambera, ritual Pogo Mawo selalu dibarengi pertandingan gasing antara kabisu Anawara melawan kabisu Wee Lowo yang hasil akhirnya dipandang sebagai indikasi juga. Jika pemenangnya kabisu Anawara maka daerah sekitar Loli dipercaya bakal menikmati panen melimpah, jika sebaliknya maka kelimpahan panen akan menjangkau area yang lebih luas.
Mu’u Luwa Mu’u luwa yang artinya makan ubi, merupakan forum musyawarah kedua untuk memutuskan apakah ritual-ritual Wulla Poddu berikutnya akan dilaksanakan di dalam rumah (kabu kuta) ataukah di halaman. Disebut mu’u luwa karena pada kesempatan ini semua peserta membawa ubi dari rumah masing-masing lalu dimakan bersama di Uma Rato, tempat musyawarah dilangsungkan. Mereka juga memberikan persembahan kepada roh-roh leluhur agar Wulla Poddu tahun itu berjalan dengan lancar.
Toba Wanno Toba Wanno berarti bersih kampung dan seperti namanya, ritual ini bertujuan membersihkan kampung dan harganya dari penguasaan roh-roh jahat. Toba wanno diawali dengan pendirian lada talla, kerangka bambu tempat menggantung seperangkat gong sakral, lalu dilanjutkan dengan pemukulan Ubbu, sebuah tambur keramat yang hanya dibunyikan setahun sekali. Menurut warga setempat bagian atas tambur aslinya terbuat dari kulit manusia, namun karena telah rusak dimakan usia maka sekarang ini diganti dengan kulit kerbau persembahan. Tidak seperti tambur-tambur lain, seluruh sisi Ubbu diselubungi dengan kain. Pemukulan Ubbu merupakan tanda mulai berlakunya larangan-larangan di bulan suci. Toba Wanno adalah sebuah ritual yang mengesankan. Semua rangkaian upacara dilakukan pada malam hari dalam suasana gelap gulita. Pada malam itu tak boleh ada cahaya sedikit pun. Di kampung Bodo Maroto, dalam gelap yang pekat itu semua warga keluar dari rumah masing-masing dengan membawa sebuah wadah terbuat dari tempurung kelapa. Wadah -wadah ini, yang berisi abu dapur simbol roh-roh jahat, diletakkan di suatu tempat di luar gerbang kampung lalu semua warga bergiliran melemparinya dengan tongkat kayu yang telah diberi tanda. Keesokan harinya, para warga kembali ke tempat itu untuk memeriksa hasil lemparan masing-masing. Jika ada yang tepat sasaran maka si pelempar dipercaya bakal berhasil memburu babi hutan.
Woleka Lakawa (Nyanyian Bocah): Ritual yang satu ini juga dilaksanakan di malam hari tanpa penerangan, dimana sejumlah anak-anak berkumpul di natara podu lalu bernyanyi bersama diiringi alunan gong. Woleka Lakawa berlangsung setiap malam hingga tiba ritual selanjutnya.
Rega Kulla (Sambut Tamu): Sesui namanya Rega Kulla merupakan ritual penyambutan tamu adat yang terdiri dari serombongan rato dari kampung Bondo Maroto. Para kulla datang ke kampung Tambera yang berjarak sekitar 10 km dengan menunggang kuda, dan konon katanya disertai anjing-anjing Marapu yang tak kasat mata. Mereka akan tinggal selama tiga hari dan selama waktu itu melakukan perkunjungan ke kampung-kampung sekitar, lalu mengikuti perayaan di gua suci. Tujuan inti dari kedatangan mereka memang untuk mengambil simbol berkat di gua tersebut. Di masa silam, rato-rato Tarung turut menjadi kulla di Tambera. Namun akibat perselisihan yang terjadi sekitar tahun 1950an mereka tidak lagi ikut serta dan mengambil berkat di tempat tersendiri.
Dudiki Ina Roma Merupakan ritual perkunjungan yang dilakukan oleh rato-rato Bondo Maroto selama berdiam di Tambera. Pada hari pertama mereka berkunjung ke kampung Rate Wana, Watu Bela, Prai Gege dan Lete Ki’i. Di hari kedua mereka berkunjung ke kampung Geila Koko.
Sangga kulla: Inti ritual ini (dan sebetulnya merupakan inti perayaan Wulla Poddu) adalah pengambilan berkat di gua suci. Sekitar jam tiga sore, rato-rato Tambera, kulla Bondo Maroto dan seluruh warga kampung berangkat menuju gua suci. Tapi hanya para rato yang diijinkan masuk ke dalam gua, dan hanya dua diantara mereka yaitu Rato Rumata dan Rato Wee Nogo yang boleh mendekati Dinga Leba (guci keramat). Mereka melakukan pemujaan, memberikan persembahan dan memeriksa air dalam guci keramat. Jika air suci yang telah diisi beberapa waktu sebelumnya tetap penuh, berarti hasil panen bakal melimpah, jika tinggal sedikit berarti hasil panen tidak begitu bagus. Setelah pemujaan selesai, Rato Rumata menyerahkan kawuku (simbol berkat dalam wujud sirih pinang) kepada rato-rato Bondo Maroto. Dan begitu berkat diterima, para Kulla itu segera mengambil kuda-kuda mereka dan bergegas pulang, tidak boleh menoleh ke belakang sampai tiba di kampung. Kepulangan mereka disambut meriah dengan perayaan dan tari-tarian yang berlangsung sepanjang malam. Di Kampung Tambera juga ada perayaan besar yang disebut Wolla Kawuku, dimeriahkan dengan tari an, nyanyian serta wara (pitutur adat tentang asal usul nenek moyang). Perayaan ditutup menjelang dini hari saat Rato Rumata turun ke natara podu, berkeliling arena sambil menyanyikan lagu Dingu Manu diiringi alat musik tradisional yang disebut katuba. Beberapa orang wanita, masing-masing memegang satu ekor ayam (manu), beriringan dibelakangnya sambil menari.
Wolla Karua (perayaan beras suci) Inti perayaan ini adalah menumbuk beras suci (bai wesa karua) yang berlangsung di setiap rumah adat. Padi ditumbuk dalam lesung yang tertutup kain oleh dua sampai lima orang pria berbusana adat lengkap. Beras yang telah ditumbuk sebagian dibawa ke Uma Rato untuk dimasak beramai-ramai saat penutupan Wollu Poddu kelak. Wolla Karua dirayakan selama tiga malam dan dimeriahkan dengan wara dan tari-tarian.
Wolla Wesa Kapai Ada dua kegiatan inti yang dilaksanakan pada kesempatan ini yaitu Pogo Weri: pemotongan daun kelapa muda yang berfungsi sebagai simbol atau tanda larangan (weri), dan Oke Wee Maringi: pengambilan air suci. Baik weri maupun air suci ini untuk sementara waktu disimpan di uma rato, keduanya baru akan digunakan pada puncak perayaan Wulla Poddu yang disebut Kalango. Weri nantinya akan dipasang di bina tama (pintu masuk) dan bina lousu (pintu keluar) sementara air suci akan dipercikkan kepada seluruh peserta upacara sebagai tanda pemberkatan.
Mana’a/ Massusara Male Mana’a artinya memasak sedangkan Massura Male berarti datang atau berkumpul bersama di sore hari. Konsep dasar perayaan ini adalah pulang kampung, dimana semua anggota kabisu berbondong-bondong pulang kampung untuk ikut merayakan puncak acara Wulla Poddu (kalango) yang akan berlangsung esok harinya. Masing-masing membawa satu ekor ayam untuk dipersembahkan kepada Ama Wolu Ama Rawi sebagai ungkapan syukur dan mohon perlindungun. Ada beberapa ritual penting dalam perayaan ini, antara lain: Mamulla: ritual berkumur dengan air suci yang dilakukan semua warga di rumah maing-masing sebagai simbol pembersihan diri dari segala dosa dan kesalahan. Dengi Wini: prosesi pengambilan beras suci dari rumah-rumah yang berperan dalam wulla poddu. Dengi Wini adalah ritual yang sakral dan hening. Hanya segelintir rato yang diperbolehkan hadir sementara seluruh warga harus mengunci diri di rumah masing-masing. Tidak boleh ada suara, bahkan anjingpun diungsikan ke luar kampung agar tidak berisik. Prosesi yang berpusat di natara poddu dan Uma Rato ini dimulai dengan pe sebagai pengumpul beras (boga dima). Selanjutnya, dengan membawa kaweda (simbol marapu) dan wadah beras, mereka menuju ke beberapa buah rumah yang akan diambil berasnya. Mereka tetap melangkah dalam gerak tari mengikuti irama gong ditengah kampung yang kosong dan hening. Setelah beras diambil, mereka kembali ke Uma Rato, menyimpan beras di tempat yang telah disediakan, lalu mengulangi prosesi yang sama di rumah berikutnya, satu demi satu hingga selesai. Baru setelah itu warga diijinkan keluar rumah dan acara kumpul-kumpul pun dimulai. Hiruk pikuk perayaan berpusat di Uma Rato. di sini berlangsung ritual Ana Kuku, lomba makan nasi antara dua kelompok anakanak, kabisu Anawara vs. kabisu Wee Lowo.
Kalango Lado Kalango Lado merupakan puncak perayaan wulla poddu yang berlangsung dari pagi hingga pagi berikutnya. Perayaan dimulai dini hari dengan pementasan tarian di natara podu. Lalu pada jam tujuh pagi sebagian Rato Tambera berangkat ke kampung-kampung sekitar untuk menghadiri upacara penutupan wulla poddu di kampung-kampung tersebut. Rato Rumata menuju Geila Koko. Rato Wee Lowo menuju Rate Wana. Rato Anawara dan Rato Tadeila Goro menuju Prai Gege. Sebagian rato yang lain tetap tinggal untuk mempersipakan para penari yang akan memeriahkan acara puncak. Sekitar jam 12 siang, Rato Wee Nogo yang berperan sebagai Koda Laiya Bili (leluhur pertama yang datang dari seberang) memasuki natara podu. Ia memakai kostum kulit kayu, wajahnya berlumur jelaga dan menunggang kuda kepang bernama Dara Wala Gole yang dianggap sebagai simbol kendaraan leluhur mereka saat mengembara mencari hunian. Koda Laiya berkeliling kampung meminta derma pada orang-orang dan menjadi atraksi tersendiri yang menarik perhatian khalayak terutama anak-anak. Tak lama kemudian para Rato kembali ke kampung, disambut musik dan tari-tarian. Sekitar jam tiga sore rombongan rato dari Geila Koko, Rate Wana, Watu Bolo dan Prai Gege tiba di Tambera. Keempat rato ini wajib hadir untuk berpartisipasidalam ritual paana yang akan digelar tengah malam nanti. Selanjutnya giliran Rato Tadeila Goro yang dijemput memasuki arena upacara. Dengan tongkat keramat tergenggam ditangan, sang rato naik ke atas batu kubur yang pada saat itu difungsikan sebagai podium lalu melantunkan syair-syair berisi penegasan perjanjian antar kabisu sekaligus mengumumkan dimulainya kalango lado. Lalu giliran Rato Rumata membawakan Wara di natara podu. Sang rato memasuk arena upacara dengan segala atribut kebesarannya diringi para penari pria maupun wanita. Selesai wara, acara berlanjut dengan tari-tarian. Jam 20.00, giliran Rato Sugu Bedu yang dijemput ke halaman suci untuk melaksanakan ritual weri bina, yaitu pemasangan weri di kedua gerbang kampung, Begitu weri terpasang tak seorang pun diperbolehkan keluar kampung hingga kalango berakhir. Selanjutnya Rato Rumata kembali mengambil peran, kali ini untuk memercikkan air suci ke seluruh peserta upacara sebagai tanda keberkatan. Selepas tengah malam digelar ritual Paana yang merupakan inti perayaan Kalango di kampung Tambera. Paana yang secara harafiah berarti melahirkan adalah sebuah ritual suci yang bercerita tentang proses pencipataan dan kelahiran manusia. Ritual ini melibatkan 12 kabisu yang masing-masing diwakili oleh satu orang Rato. 10 orang rato membentuk lingkaran di tengah natara poddu. sumber: http://wisata.dapurselekta.online/2020/12/03/wulla-poddu/
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja
Jembatan Plunyon merupakan bagian dari wisata alam Plunyon-Kalikuning yang masuk kawasan TNGM (Taman Nasional Gunung Merapi) dan wisatanya dikelola Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) setempat, yaitu Kalikuning Park. Sargiman, salah seorang pengelola wisata alam Plunyon-Kalikuning, menjelaskan proses syuting KKN Desa Penari di Jembatan Plunyon berlangsung pada akhir 2019. Saat itu warga begitu penasaran meski syuting dilakukan secara tertutup. Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan zoom-in-whitePerbesar Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan "Syuting yang KKN itu kebetulan, kan, 3 hari, yang 1 hari karena gunungnya tidak tampak dibatalkan dan diu...