|
|
|
|
wayang beber remeng mangunjoyo Tanggal 28 Dec 2018 oleh Sri sumarni. |
Pada umumnya, pertunjukan wayang menggunakan boneka sebagai wujud dari tokoh. Boneka-boneka dalam wayang bisa berbentuk dua dimensi seperti wayang kulit purwa, atau wayang berbentuk tiga dimensi seperti wayang klithik. Salah satu bentuk wayang yang tidak berwujud boneka adalah wayang beber. Wayang beber mewujudkan tokoh-tokohnya dengan cara digambar pada selembar kertas. Bentuknya dua dimensi. Lembaran kertas tersebut melukiskan peristiwa yang terjadi dalam lakon yang dimainkan.
Pada awal kemunculannya, wayang beber merupakan pertunjukan yang bersifat ritual. Sebagaimana pertunjukan ritual, wayang beber digelar dalam konteks upacara tertentu di mana pertunjukan menjadi media yang menautkan antara yang profane dan yang transendental. Dunia profan berhubungan dengan fungsi-fungsi sosial dan hiburan bagi masyarakat. Dunia transendental berhubungan dengan hal-hal spiritual yang mengubungkan dunia mikrokosmos dan makrokosmos. Di mana manusia berada dalam sistem yang dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Wayang beber juga ditemukan di daerah Gunungkidul, yaitu di Desa Gelaran, Kelurahan Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo. Wayang beber di Gunungkidul memainkan lakon Kyai Remeng atau Remeng Mangunjaya. Oleh karena itu dinamakan wayang beber Kyai Remeng. Wayang beber Kyai Remeng terdiri dari 8 gulungan; ada yang memuat cerita Jaka Tarub, cerita Syech Bakir, cerita peperangan antara Resi Puyung Aking melawan Kyai Remeng (Haryono, 2009:8). Mangkunegara VII dari Surakarta pernah berniat membeli perangkat wayang beber dari pemiliknya, tetapi tidak diperbolehkan. Alasannya wayang beber tersebut merupakan pusaka yang diwariskan secara turun-temurun. Oleh karena itu, Mangkunegara VII memerintahkan untuk membuat duplikasi wayang beber Jaka Kembang Kuning pada tahun 1939. Kemudian dilanjutkan dengan membuat duplikasi Remeng Mangunjaya pada tahun 1941 (Tabrani, 2009:139). Pada 1940, Mangkunegara VII juga memerintahkan membuat wayang beber baru, yaitu Arjuna Wiwaha. Mangkunegara VII merencanakan membuat 20 adegan dan baru diselesaikan 11 adegan. Wayang beber Arjuna Wiwaha ini belum sempat dipergelarkan.
Pertunjukan wayang beber dimainkan oleh seorang dalang yang membentangkan lembaran kertas. Dalang mengisahkan peristiwa demi peristiwa sesuai gambar yang disajikan. Adegan-adegan yang telah selesai dituturkan digulung kembali dan dalang membentangkan gulungan yang baru. Gaya pertunjukan wayang beber tidak berbeda jauh dengan wayang kulit purwa.
Pada sekitar 1378, gambar wayang beber tidak lagi hitam putih. Wayang beber digambar dengan berbagai perpaduan warna sehingga lebih menarik. Pada 1521, bentuk figur tokohtokoh dalam wayang beber mendapat sentuhan dengan stilisasi bentuk. Puncak popularitas wayang beber diperkirakan pada tahun 1562. Setelah tahun itu, wayang beber mulai kurang populer karena wayang kulit purwa dipandang lebih menarik, karena tokoh-tokoh dalam wayang dibuat boneka.
Wayang beber sebagai sebuah pertunjukan memiliki dua makna penting, yaitu sebagai tontonan sekaligus sesbagai tuntunan. Bahwa lakon yang dibeberkan merupakan kehidupan yang memiliki nilai-nilai untuk dijadikan tuntunan. Masyarakat membutuhkan tuntunan agar terjadi keseimbangan dalam hidup. Keseimbangan dalam kehidupan termasuk keseimbangan dalam masyarakat dan kehidupan bernegara pada waktu itu.
Pada umumnya, pertunjukan wayang menggunakan boneka sebagai wujud dari tokoh. Boneka-boneka dalam wayang bisa berbentuk dua dimensi seperti wayang kulit purwa, atau wayang berbentuk tiga dimensi seperti wayang klithik. Salah satu bentuk wayang yang tidak berwujud boneka adalah wayang beber. Wayang beber mewujudkan tokoh-tokohnya dengan cara digambar pada selembar kertas. Bentuknya dua dimensi. Lembaran kertas tersebut melukiskan peristiwa yang terjadi dalam lakon yang dimainkan.
Pada awal kemunculannya, wayang beber merupakan pertunjukan yang bersifat ritual. Sebagaimana pertunjukan ritual, wayang beber digelar dalam konteks upacara tertentu di mana pertunjukan menjadi media yang menautkan antara yang profane dan yang transendental. Dunia profan berhubungan dengan fungsi-fungsi sosial dan hiburan bagi masyarakat. Dunia transendental berhubungan dengan hal-hal spiritual yang mengubungkan dunia mikrokosmos dan makrokosmos. Di mana manusia berada dalam sistem yang dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Wayang beber juga ditemukan di daerah Gunungkidul, yaitu di Desa Gelaran, Kelurahan Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo. Wayang beber di Gunungkidul memainkan lakon Kyai Remeng atau Remeng Mangunjaya. Oleh karena itu dinamakan wayang beber Kyai Remeng. Wayang beber Kyai Remeng terdiri dari 8 gulungan; ada yang memuat cerita Jaka Tarub, cerita Syech Bakir, cerita peperangan antara Resi Puyung Aking melawan Kyai Remeng (Haryono, 2009:8). Mangkunegara VII dari Surakarta pernah berniat membeli perangkat wayang beber dari pemiliknya, tetapi tidak diperbolehkan. Alasannya wayang beber tersebut merupakan pusaka yang diwariskan secara turun-temurun. Oleh karena itu, Mangkunegara VII memerintahkan untuk membuat duplikasi wayang beber Jaka Kembang Kuning pada tahun 1939. Kemudian dilanjutkan dengan membuat duplikasi Remeng Mangunjaya pada tahun 1941 (Tabrani, 2009:139). Pada 1940, Mangkunegara VII juga memerintahkan membuat wayang beber baru, yaitu Arjuna Wiwaha. Mangkunegara VII merencanakan membuat 20 adegan dan baru diselesaikan 11 adegan. Wayang beber Arjuna Wiwaha ini belum sempat dipergelarkan.
Pertunjukan wayang beber dimainkan oleh seorang dalang yang membentangkan lembaran kertas. Dalang mengisahkan peristiwa demi peristiwa sesuai gambar yang disajikan. Adegan-adegan yang telah selesai dituturkan digulung kembali dan dalang membentangkan gulungan yang baru. Gaya pertunjukan wayang beber tidak berbeda jauh dengan wayang kulit purwa.
Pada sekitar 1378, gambar wayang beber tidak lagi hitam putih. Wayang beber digambar dengan berbagai perpaduan warna sehingga lebih menarik. Pada 1521, bentuk figur tokohtokoh dalam wayang beber mendapat sentuhan dengan stilisasi bentuk. Puncak popularitas wayang beber diperkirakan pada tahun 1562. Setelah tahun itu, wayang beber mulai kurang populer karena wayang kulit purwa dipandang lebih menarik, karena tokoh-tokoh dalam wayang dibuat boneka.
Wayang beber sebagai sebuah pertunjukan memiliki dua makna penting, yaitu sebagai tontonan sekaligus sesbagai tuntunan. Bahwa lakon yang dibeberkan merupakan kehidupan yang memiliki nilai-nilai untuk dijadikan tuntunan. Masyarakat membutuhkan tuntunan agar terjadi keseimbangan dalam hidup. Keseimbangan dalam kehidupan termasuk keseimbangan dalam masyarakat dan kehidupan bernegara pada waktu itu.
Sumber : Buku Pentapan WBTB 2018
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |