|
|
|
|
Vova Sanggayu Tanggal 04 Mar 2021 oleh Widra . |
Ijo adalah anak laki-laki yang tinggal bersama neneknya yang bernama Tupu di Kampung Tanjung Babia, Mandar Pattae. Sejak umur lima tahun, Ijo sudah ditinggal pergi oleh kedua orang tuanya ke Pulau Borneo. Disebabkan umurnya yang masih kecil dan belum bisa mengingat apa-apa saat itu, Ijo tidak pernah menanyakan keberadaan ayah dan ibunya kepada Nenek Tupu. Walaupun Ijo hanya tinggal berdua dengan neneknya, ia tidak pernah merasakan kesepian. Begitu pun dengan Nenek Tupu, perempuan tua ini merasa bahagia hidup dengan cucu kesayangannya itu.
Rumah tempat tinggal Nenek Tupu dan Ijo dikelilingi oleh pepohonan yang ditanam sendiri oleh Nenek Tupu, seperti pisang, singkong, pepaya, ubi jalar, dan lainnya. Setiap kali hendak memasak, Nenek Tupu tinggal memetik sayur yang tumbuh di sekeliling rumahnya. Di kebunnya yang lain, Nenek Tupu juga punya beberapa batang pohon kelapa dan pohon cokelat. Orang-orang sekitar mengenal Nenek Tupu sebagai petani pohon karena Nenek Tupu seorang yang gemar menanam, juga gemar merawat pohon. Ia menanam apa saja yang bisa bermanfaat bagi kehidupan. Menurutnya, dengan jalan menanam pepohonanlah ia dapat membesarkan cucunya. Tidak mengherankan jika Nenek Tupu dikenal sebagai tuan tanah yang baik hati. Hasil dari tanamannya itu hanya dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun demikian, Nenek Tupu merasa puas karena senantiasa berbagi dengan tetangga di sekitarnya.
Suatu hari, tetangga Nenek Tupu yang bernama Jirana datang ke rumahnya. “Nek, sudah dua hari suami saya terbaring sakit di rumah. Sebelumnya saya minta maaf, bolehkah kiranya saya mengutang beras agak dua liter untuk kami masak hari ini, Nek?” “Tentu saja boleh, Jirana,” jawab Nenek Tupu. “Terima kasih, Nek. Nanti kalau suami saya sudah pulih dan sudah bisa bekerja kembali, beras Nenek segera saya kembalikan.” “Oh... tak usah! Tak usah dikembalikan, Jirana! Bukankah kita ini hidup saling membantu. Yang penting suamimu lekas sembuh. Nenek doakan.” Nenek Tupu berusaha menghibur dan meyakinkan Jirana sambil mengambil beras dan memasukkan ke dalam kantong. “Wah, Nek Tupu baik sekali. Terima kasih... terima kasih, Nek.” “Oh iya, sekalian jugalah kamu ambil sayurannya di sini. Kamu tinggal memetik yang kamu suka, daun singkong, jantung pisang, pucuk pepaya, atau bunganya. Silakan!”
Begitu baik dan ikhlasnya hati Nenek Tupu. Setiap hari selalu ada saja yang datang ke rumahnya. Entah itu mengutang beras atau uang, minta sayuran, atau minta dua atau tiga butir kelapa. Mereka pun tidak segan menyampaikan langsung pada Nenek Tupu.
Sedikit pun Nenek Tupu tidak pernah merasa diberatkan oleh tetangga, dan tidak pernah pula merasa terganggu oleh tamu-tamu, termasuk teman-teman Ijo yang sering bermain di kebun atau yang kadang hanya singgah sekadar minta minum ke rumahnya.
Kehidupan di Kampung Tanjung Babia belumlah terlalu ramai oleh penduduk. Namun, suasananya tidak pernah sepi karena para pelaut dari Mandar Selata dan Bugis selalu berdatangan. Mereka sengaja singgah di Tanjung Babia, dan tinggal sementara waktu atau sekadar beristirahat dan mengambil air minum.
Oleh karena kampung itu sering disinggahi para pelaut, beberapa anak muda Tanjung Babia pun ada yang ikut mencari ikan bersama dengan para pendatang itu. Konon, beberapa orang di antara mereka yang ikut turun melaut itu tidak pernah kembali lagi dan tidak diketahui apa penyebabnya.
Suatu kali, Ijo mendengar percakapan bapak-bapak di pantai dengan salah pelaut dari Mandar bagian selatan bernama Pokki. “Pokki, kalau kami boleh tahu, mengapa itu si Kaco anak Pak Sarmang ini yang sudah lama melaut dengan temanmu yang Bugis itu belum pulang-pulang juga?” tanya Pak Sa’ding. “Iya Pokki, sudah sekian minggu anak saya belum juga pulang. Bagaimana caranya Pokki agar saya tahu keberadaan anak saya?” Pak Sarmang menyela. “Pak Sarding dan Pak Sarmang, saya tidak begitu tahu ke daerah mana Kaco dan pelaut Bugis itu melaut. Nanti kalau ada kabar tentang mereka, di mana, dan bagaimana mereka, saya segera memberitahunya.” Pokki menjawab dengan penuh hati-hati. Pokki pelaut dari Mandar bagian selatan itu terlihat grogi dan cemas karena ia tahu bahwa Kaco dan temannya yang dari Bugis itu belum kembali juga dari melaut. “Mudah-mudahan mereka tidak apa-apa, dan kembali pulang dengan selamat." Pokki bergumam dalam hati.
Hari berganti, musim pun berlalu. Sembilan belas tahun umur Ijo kini. Ia tumbuh menjadi seorang pemuda yang kekar, gagah, dan berani. Melihat keadaan nenek yang dicintainya makin renta, tak mungkin lagi berkebun hari ke hari, Ijo berniat untuk melaut bersama pendatang dari selatan. Selain untuk mendapatkan uang, Ijo ingin tahu bagaimana rasanya hidup di atas perahu dan menantang gelombang serta besarnya ombak di lautan. Meski kadang-kadang muncul dalam pikirannya tentang tetangganya yang silih berganti pergi melaut, dan di antaranya ada yang tidak kembali.
Bukan Ijo namanya kalau ia tidak mencoba sesuatu yang baik menurutnya. Hal-hal yang menakutkan tidak terlalu dipikirkannya. Keinginannya untuk melaut sudah tidak terbendung lagi. Tekadnya sudah bulat, ingin mengurangi beban hidup dan membantu neneknya yang sepanjang hari bekerja di kebun tanpa kenal lelah demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Malam itu, Nenek Tupu duduk di atas tikar pandan yang tergelar di ruang tengah. Perempuan tua itu asyik memotong-motong jagung untuk direbusnya besok pagi. Ijo datang menghampiri. Cucunya itu mengutarakan niat hatinya untuk pergi melaut. “Nek!” “Ada apa, Jo?” “Saya ingin pergi melaut, Nek.” “Melaut? Dengan siapa kamu melaut, Jo?” “Dengan Kobu, pelaut dari Mandar Selatan yang sering singgah ke rumah kita ini, Nek. Bagaimana menurut Nenek? Bolehkah?” Nenek Tupu diam. Ijo melanjutkan. “Iya, Nek. Sudah lama terniat dalam hati saya, Nek.”
Nenek Tupu kembali diam. Ia tidak mau memberikan jawaban tidak atau iya kepada cucu yang sangat disayanginya itu. Ia tidak ingin Ijo yang menjadi harapan hidupnya pergi melaut. Hati Nenek Tupu jadi tak tenang. Menurut perempuan tua itu, meskipun mereka tinggal berdekatan dengan laut, mereka sama sekali tidak memiliki tradisi melaut seperti kebiasaan orang-orang yang datang dari selatan. Selama ini mereka hanya mengenal pola hidup bercocok tanam dan berburu binatang di hutan. Laut bagi mereka hanya untuk dikunjungi sekali-sekali. Itu pun hanya di pesisir atau di sekitar pantainya saja. Apalagi, Nenek Tupu tahu bahwa ada tetangganya yang lebih dahulu melaut namun belum juga kembali. Setelah Nenek Tupu larut dalam berpikir, akhirnya ia menyampaikan apa yang dirasakannya saat itu.
“Nenek masih sanggup bekerja dan memenuhi kebutuhanmu, Jo. Tak perlu kamu sampai harus pergi meninggalkan nenek seorang diri. Apa lagi melaut.” Nenek Tupu memeluk erat cucunya. “Saya tahu bahwa Nenek tidak akan mengizinkan. Tetapi Nenek juga harus tahu, cucu nenek ini bukan anak-anak lagi. Bertahun nenek mengajarkan saya bagaimana bertanam di kebun, dan berladang di hutan. Sampai saya bisa seperti sekarang, itu...” “Tapi... tapi kehidupan laut itu lain, Cucuku.” Nenek Tupu memotong pembicaraan Ijo. “Tapi mengapa, Nek? Apakah laut itu menakutkan?” Ijo balik bertanya sambil memeluk erat bahu neneknya. “Tidak... tidak, Jo. Nenek hanya merisaukan kamu. Nenek sedih kamu tinggal pergi.” Semangat Ijo untuk melaut sudah tidak dapat dibendung lagi. Ia ingin mengetahui bagaimana kehidupan di laut serta piawai nantinya dalam menaklukkan lautan. Yang tidak kalah pentingnya adalah agar ia tahu bagaimana cara mendapatkan ikan seperti para pelaut yang datang dari tanah Mandar bagian selatan. Ijo pun berjanji kepada Nenek Tupu bahwa ia pasti kembali. Dengan beberapa kalimat jitunya, akhirnya Ijo berhasil menaklukkan hati Nenek Tupu.
Setelah percakapan yang cukup alot itu, Ijo tertidur pulas di tikar di ruang tengah. Sementara Nenek Tupu tidak sedikit pun dapat memejamkan matanya. Hatinya gundah tak menentu. Nenek Tupu bangkit dari kasur lusuhnya, lalu beranjak pergi ke luar rumah. Di malam kelam, ia berjalan seorang diri menuju pantai. Entah mengapa ketika melihat cucunya tertidur pulas, tiba-tiba terbetik di benaknya untuk menanam bakau di pantai sebelum cucunya itu meninggalkannya untuk melaut. Sesampai di pantai, Nenek Tupu menanam dua batang bakau yang bibitnya memang sudah ada disimpan di rumahnya sebelumnya. Saat Nenek Tupu menanam dua batang bakau itu, tidak sedikit pun ia merasa takut. Baginya, selama ia berada di pantai malam itu, ia tidak sendiri, ada deburan ombak yang menemani.
Sebelum matahari terbit, Nenek Tupu sudah kembali ke rumah. Didapatinya Ijo sedang sibuk mempersiapkan alat penangkap ikan. Ijo kaget dengan kedatangan neneknya di pagi buta itu. Lalu, ia menghampiri Nenek Tupu. “Nenek dari mana pagi-pagi begini?” “Nenek baru saja pulang dari pantai menanam sepasang pohon bakau, Jo.” Nenek Tupu menjawab sambil menahan dinginnya pagi. “Untuk apa Nenek menanam sepasang pohon bakau itu, Nek?” Ijo kembali bertanya. “Pohon itu kelak akan tinggi menjulang, Cucuku. Kedua bakau itu menjadi tanda untukmu saat kembali dari berlayar.” “Maksud Nenek?” “Kelak kamu akan melihat kedua bakau itu sebagai tanda keberangkatan, dan sekaligus kepulanganmu, Cucuku.” “Oh, begitu. Nenek memang hebat. Tiada duanya. Yang pasti, Nenek selalu ada di hati ini, Nek.” Ijo memeluk dan mencium kedua pipi neneknya yang sudah keriput itu.
Tidak berapa lama Nenek Tupu pamit untuk membuatkan teh hangat. Ia meninggalkan Ijo sendirian, dan pergi ke dapur untuk menjerang air. Karena hari itu Ijo akan pergi melaut, ia pun ingin membekali cucu satu-satunya itu dengan penganan singkong. Nenek Tupu mencabut beberapa batang singkong yang tumbuh di halaman belakang rumahnya. Singkong-singkong itu dibersihkan dan diparutnya, kemudian dikeringkan. Sambil menunggu parutan singkong mulai kering, Nenek Tupu memarut anjoro yang tidak terlalu tua. Singkong yang dikeringkannya dicampur dengan parutan anjoro, lalu dikukus dalam loyang.
Di luar rumah, Ijo sibuk mempersiapkan segala sesuatu yang akan dibawanya melaut nanti. Karena neneknya tidak muncul-muncul juga, Ijo pun mencarinya ke samping dan ke belakang rumah. Ijo tak menemukan neneknya. Lalu dipanggilnya beberapa kali, tidak juga ada sahutan dari neneknya. Ia penasaran, lalu masuk ke rumah. Dibukanya pintu bilik neneknya, biliknya kosong. Kemudian, ia pergi ke dapur. Sesampai di dapur dilihat neneknya duduk seperti orang berdiang di tungku.
“Nenek mengapa? Nenek kedinginan?” “Tidak. Nenek tidak apa-apa, Jo.” “Kalau memang tidak, mengapa Nenek duduk berdiang di piapiang itu, Nek?” Ijo mendekati neneknya. Dilihatnya di tungku sedang terjerang loyang. Lalu, dibukanya tutup loyang yang berisi kukusan singkong itu. “Oh... Nenek memasak kalumpang?” “Bukan, Jo. Ini, jepa.” “Tetapi teman saya dari Mamuju menyebutnya kalumpang, Nek.” “Antara Mamuju dan Mandar sama saja, Jo. Kalau penganan itu terbuat dari singkong yang diparut disebut jepa. Tetapi kalau terbuat dari sagu, itu namanya kalumpang. “Oh begitu... karena saya tidak pernah memasaknya, tahunya hanya menyantap, jadi kacau ya, Nek. Ah... yang penting rasanya sama, dan sama nikmatnya. Apa lagi kalau sayur campurannya bunga pepaya. Hmmmm....” “Iya, Jo. Nanti nenek masakkan sayur bunga pepaya juga. Penganan jepa ini nenek siapkan untuk bekal kamu melaut nanti. Jo, biasanya jepa ini bisa bertahan tiga atau empat hari. Sayuran bunga pepaya untuk campurannya, hanya bisa sampai besok pagi.” Sedang asyiknya Ijo dan neneknya berbicara tentang jepa dan kalumpang di dapur, tiba-tiba teman Ijo, Kobu, pelaut dari Mandar Selatan, datang menjemput Ijo. Ijo segera menghampiri dan menyuruh temannya itu masuk ke rumah. “Eh, kamu, Kobu. Masuklah dulu ke rumahku!” “Tidak usah, Jo. Aku tunggu saja kamu di sini,” jawab Kobu sambil mendekati dan menduduki bangku kayu yang ada di depan rumah Ijo. “Kalau begitu, saya bersiap-siap dulu sambil menunggu sayuran bunga pepaya dimasak nenek.” “Untuk apa sayuran bunga pepaya, Jo?” “Untuk kita bawa, Kobu. Bekal kita di laut nanti. Kebetulan jepanya sudah selesai dimasak nenek.” “Kalau memang jepanya sudah masak, nenekmu tidak usah masak sayuran bunga pepaya segala, Jo. Nanti di laut kita tangkap ikan teri yang kecil untuk dijadikan ikan lawarnya. Yang penting kamu bawa jeruk nipis dua atau tiga buah untuk dioleskan pada ikan lawar, campuran jepa nantinya.”
Ijo paham apa yang disampaikan Kobu. Ia bergegas menghampiri neneknya di dapur. Ternyata sayuran bunga pepaya juga sudah selesai dimasak Nenek Tupu. Setelah bekal disiapkan Nenek Tupu dan perlengkapan melaut juga sudah siap untuk dibawa, berangkatlah Ijo bersama sahabatnya yang datang dari selatan itu. Tidak ada kata yang dapat disampaikan Nenek Tupu saat melepas Ijo meninggalkannya, selain doa agar pelayaran cucu kesayangannya tidak mendapat hambatan apa-apa, dan selamat kembali ke Tanjung Babia
Berbulan-bulan sudah, suatu pagi, Puaq, seorang tetangga Nenek Tupu, datang ke pantai. Ia berjalan sendiri menyusuri pantai yang landai itu. Sesampai di tempat yang sedikit ada karang-karang kecil, ia tertegun. Matanya tertuju pada sepasang pohon bakau yang ada di depannya. Kedua batang bakau itu tumbuh tinggi menjulang. Seperti orang kerasukan, ia marah-marah sendiri. Beberapa kali menyebut-nyebut nama Nenek Tupu.
Nenek Tupu dianggapnya terlalu rakus dan menuduh kalau nenek tua itu ingin menguasai wilayah Tanjung Babia sampai ke pantai. Lelaki itu ingin menebang kedua batang bakau tersebut. Nenek Tupu sama sekali tidak mengetahui ketidaksenangan Puak terhadap dirinya. Ia merasa bahwa orang-orang senang dengan adanya pohon bakau di pantai itu. Baginya, jika dilihat sepasang bakau itu, lepaslah rindunya kepada Ijo. Ia berharap cucu kesayangannya segera kembali dari melaut.
Kendati pun Ijo tidak ada, tetangga-tetangga sekitarnya ada saja yang ingin bertandang ke rumah Nenek Tupu. Beberapa di antaranya ada yang mengantarkan makanan atau penganan kecil untuk Nenek Tupu. Di antara yang sering menengok Nenek Tupu adalah Jirana, tetangga yang dulu sering dibantu oleh Nenek Tupu.
“Nenek, ini saya bawakan makanan buat Nenek. Nenek tak usah memasak lagi. Dalam rantang ini sudah ada nasi dan lauk pauknya.” “Terima kasih banyak, Jirana. Kamu begitu perhatian kepada saya. Tidak usah repot-repot memasakkan untuk saya. Saya masih bisa memasak sendiri.” “Tidak apa-apa, Nek. Sama sekali saya tidak merasa repot. Ada Husna, anak perempuan saya yang membantu memasak.” “Memangnya anakmu Husna sudah besar?” “Beranjak remaja, Nek. Umurnya baru tiga belas tahun. Sejak umurnya delapan tahun, saya sudah mulai mengajarkannya cara memasak. Saya bersyukur, Nek, punya anak perempuan rajin bekerja, membersihkan rumah, menyapu pekarangan, dan membantu saya di dapur.” “Beruntung kamu ya, Jirana. Punya anak gadis yang rajin. Sekali-sekali suruh datanglah ia ke sini.” Sesaat Nenek Tupu terdiam. Air matanya bergulir di pipi. Nenek Tupu ingat pada cucunya, Ijo, yang sudah sekian lama pergi meninggalkannya. “Nenek tidak usah bersedih. Saya yakin, Ijo pasti kembali pulang untuk kita semua.” Jirana membujuk Nenek Tupu sambil menghapus air mata nenek tua itu dengan ujung lengan bajunya.
Begitu beratnya rasa rindu Nenek Tupu kepada cucunya, kini bukan sekali dalam sehari lagi ia mendatangi pantai, melainkan dua kali dalam sehari. Siang menjelang petang, awan tak terlalu mendung, angin berhembus sepoi-sepoi basah, Nenek Tupu berdiri di pantai sambil melempar pandangan nun jauh ke laut terbentang. Tiba-tiba dalam tatapannya yang jauh itu terlihat olehnya sebuah perahu terombang-ambing di tengah laut. Mata Nenek Tupu tidak berkerdip, ia terus memandang perahu. Makin lama makin jelas kalau perahu itu adalah sebuah perahu sundeq. Perahu itu makin mendekat dan makin terlihat pula layarnya.
Ternyata perahu itu adalah perahu yang membawa Ijo untuk melaut. Betapa senangnya hati Nenek Tupu melihat kedatangan cucunya kembali dengan membawa ikan yang sangat banyak. Ijo pun melihat, ia tahu bahwa perempuan tua yang berdiri di landai pantai itu adalah neneknya. Setelah perahu sundeq itu ditambatkan, Ijo segera berlari kecil menghampiri neneknya.
“Nenek, aku pulang. Aku pulang untuk Nenek.” Ijo mencium dan memeluk erat Nenek Tupu. “Terlalu lama rasanya kau pergi, Jo. Kini, Nenek tak mau lagi kau tinggalkan.” Nenek Tupu menangis dan makin memperkuat pelukannya. Nenek Tupu dan Ijo bertangisan melepas kerinduan. Setelah berpelukan nenek dan cucu itu pun pulang ke rumah.
Sesampai di rumah, Nenek Tupu menceritakan kepada Ijo tentang kesepiannya semenjak Ijo pergi melaut. Sesekali air matanya berlinang. Begitu pun Ijo, pemuda tampan itu ikut terharu dan sedih mendengarkan cerita neneknya. “Aku janji, Nek. Aku tidak akan pergi lagi melaut.” “Benar kamu berjanji sama Nenek, Jo?” “Iya, Nek. Aku tak tega meninggalkan Nenek seorang diri. Rasanya baru beberapa bulan Nenek saya tinggalkan, badan Nenek sudah terlihat kurus sekali.” “Oh, kamu kira Nenek ini kurus karena tak makan, begitu?” “Tidak, tidak! Tidak kurus karena tak makan maksud saya, Nek, tetapi Nenek itu kurus karena ditinggal' sendirian.” Ijo berusaha menghibur sambil memegangmegang lengan neneknya yang sudah keriput. Nenek Tupu tersipu mendengar kelakar-kelakar dari cucu kesayangannya. Sejak kepulangan Ijo dari melaut, Nenek Tupu terlihat tenang dan bahagia. Kini, tiap pagi perempuan tua itu kembali menyeduh teh buat cucunya. Berkebun, membersihkan pekarangan, memetik buah dan sayuran, mereka kerjakan bersama.
Setelah tiga minggu Ijo di rumah, pada suatu malam, ketika Ijo hendak berbaring di biliknya, Nenek Tupu menahan langkah Ijo. Perempuan tua itu ingin menyampaikan sesuatu pada cucunya. Di atas tikar rotan berwarna cokelat muda, Nenek Tupu dan Ijo duduk berhadapan.
“Jo, sejak kamu pulang, Nenek tidak lagi datang ke pantai. Kalau kamu tidak lelah, besok ikutlah bersama Nenek. Nenek ingin melihat bakau yang dulu Nenek tanam.” “Baik, Nek. Maksud Nenek dua bakau sebagai tanda kepergian dan kepulanganku itu, Nek?” “Iya, Jo.” “Memangnya bakau-bakau itu sudah tinggi, Nek? “Sudah, Jo. Sekarang bakau itu sudah tinggi menjulang.” “Oh, pohon indah memesona, pastinya.” “Mengapa indah memesona katamu, Jo?” “Ya, pastilah Nek, karena perempuan yang menanamnya berwajah cantik.” “Ah, kamu, Jo. Maunya menghibur Nenek saja.”
Keesokan harinya, saat matahari mulai condong ke barat, Nenek Tupu dan Ijo berjalan menuju pantai. Betapa bahagia dan bangganya Nenek Tupu. Ia ingin cucu kesayangannya itu melihat bakau-bakau yang ditanamnya. Namun, apa dikata, di antara kebahagian, tiba-tiba saja Puaq dan Amboq datang dari arah belakang. Mereka mengubah kebahagian Nenek Tupu dan Ijo yang bahagia menjadi tegang menakutkan. Suara Puaq terdengar sangat keras dan mengejutkan. Puaq sudah datang lebih dahulu ke pantai sekitar bakau. Lelaki itu sengaja datang dari jalan lain, membawa Amboq untuk menebang bakau yang ditanam Nenek Tupu. Tanpa melihat orang-orang yang ada di pantai saat itu, ia segera menghampiri pohon bakau. Lalu, ia membuka parang dari sarangnya. Nenek Tupu dan Ijo melihat dari kejauhan. Melihat Puaq memegang parang dan hendak mengayunkan ke pohon bakau, Nenek Tupu menjerit-jerit memanggil nama Puaq. “Puaq... Puaq... jangan! Jangan kau tebang bakau itu!” Puaq hanya melirik sinis dan sama sekali tidak mengindahkan ucapan Nenek Tupu. “Jangan, Puaq... jangan ditebang! Kau akan celaka nanti! Hentikan! Hentikan, Puaq!” Suara Nenek Tupu sudah terdengar serak. Ia berlari terhuyung-huyung ke tempat Puaq dan Amboq yang sedang beraksi leluasa.
Nenek Tupu berusaha mencegah dan memberikan peringatan kepada Puaq dan Amboq agar jangan sampai menebang pohon bakau karena akan mengakibatkan celaka bagi orang yang menebangnya. Namun, larangan dan peringatan Nenek Tupu tidak mereka hiraukan, dan terus saja menebang sampai akhirnya kedua batang pohon bakau itu tumbang. Sementara Ijo, pemuda itu tidak bisa berbuat apa-apa, kondisi tubuhnya masih dalam keadaan lemas karena terlalu lama di laut. “Nek, biarkan mereka, Nek! Mereka tidak dapat dilarang. Biarkan, biarkan, Nek.” Ijo mencoba menenangkan neneknya. “Tapi... tapi itu akan membawa celaka, Jo.” “Sudahlah, Nek. Mereka-mereka itu orang berhati keras. Orang-orang yang beraja di hati, Nek. Percuma Nenek melarangnya.” “Hahhhhh, beraja di hati? Jadi, mereka semau hatinya saja?” “Iya, Nek. Sebaiknya kita tidak mendekati mereka.” “Hahhhhh... Nenek lemas, Jo,” ucap Nenek Tupu sambil merebahkan dirinya pada Ijo. “Nenekkkk... ada apa dengan Nenek?” pekik Ijo sambil memapah badan neneknya, lalu mengajak neneknya pulang. “Kalau begitu mari kita pulang, Nek.”
Dengan uraian air mata dan langkah tertatihtatih, Nenek Tupu pulang ke rumah sambil dipapah Ijo. Menjelang masuk pekarangan rumah Nenek Tupu, beberapa tetangga melihatnya. Jirana dan anak gadisnya Husna, dan beberapa orang lainnya segera berdatangan ke rumah Nenek Tupu. Sesampai di rumah, Ijo membaringkan Nenek Tupu di atas tikar. Husna anak ibu Jirana membuatkan teh hangat untuk diminum oleh Nenek Tupu. Orang-orang berkerumun melihat Nenek Tupu yang terbaring lemas. Mereka mengecam tindakan Puaq dan Amboq yang semena-mena.
Tujuh hari sudah Nenek Tupu terbaring sakit di rumahnya. Keadaannya sudah sangat memprihatinkan. Melihat neneknya yang sudah tak berdaya itu, Ijo tidak bisa berbuat apa-apa. Sudah ke sana kemari Ijo mencari ramuan obat untuk nenek kesayangannya, tetapi Nenek Tupu tak kunjung pulih. Hati Ijo semakin sedih. Untunglah ada Bu Jirana yang sering menengok dan menemani.
“Bu, saya mencemaskan keadaan Nenek. Beliau itu sudah sangat lemas. Tiga hari ini, beliau sudah tidak mau makan apa-apa.” Ijo menyampaikan kegelisahannya kepada Bu Jirana. “Sabar ya, Jo,” bujuk Bu Jirana sambil mengeluselus bahu Ijo. “Ya, Bu. Ibu mungkin dapat merasakan bagaimana perasaan saya sekarang ini. Sekian lama saya meninggalkan Nenek. Kini setelah saya kembali, Nenek malah begini kedaannya.” “Iya, Jo. Ibu tahu.” “Maaf ya, Bu. Ibu ikut prihatin atas keadaan Nenek.” “Tidak apa-apa, Jo. Bukankah sesama manusia kita ini saling membantu.” Ternyata Nenek Tupu mendengar percakapan Ijo dengan Bu Jirana. Ia menoleh kepada Ijo dan berkata pelan. “Jo, kini sudah tak ada lagi bakau yang menjaga pantai kita. Nenek mohon, usahakanlah mencari bibit bakau, tanamlah beberapa batang lagi. “Nenek. Nenek tak usah memikirkan bakau dulu, ya. Nenek itu sedang sakit.” Ijo berusaha menenangkan hati Nenek Tupu. “Bagaimana Nenek tidak memikirkannya, Jo.” Nenek Tupu terlihat sedikit tegang. “Nek, Nenek ‘kan...” “Karena Nenek lagi sakit? Begitu maksudmu? Siapa lagi Jo...siapa lagi yang mau menanami pantai itu kalau bukan kita, Jo? Makanya, Nenek pesankan kepada kamu untuk mencari bibit bakau itu. Jika sudah tumbuh nanti, kamu harus menjaganya dengan baik dan sepenuh hati. Namailah bakau-bakau itu itu dengan Vova Sanggayu.”
“Vova Sanggayu?” tanya Ijo dalam hati. Ijo menanyakan mengapa harus menamai bakau-bakau itu dengan Vova Sanggayu kepada neneknya. Nenek Tupu menjelaskan dengan suara pelan dan terbatabata. Namun setelah mendengarkan kalimat terakhir neneknya itu, Ijo merasakan sesuatu yang aneh dari pandangan nenek yang sangat disayanginya itu. Ya, Nenek Tupu memperlihatkan tatapan yang sayu kepada cucunya. Tatapan mendalam yang memberi seribu makna. Itulah tatapan terakhir Nenek Tupu. Beberapa detik kemudian Nenek Tupu pun menghembuskan napas terakhirnya. Ijo memeluk kuat jasad neneknya. Tidak berapa lama berdatanganlah orang-orang ke kediaman Ijo, dan menyampaikan turut berdukacita. Saat pemakaman neneknya, Ijo tak dapat meredam air mata yang jatuh di pipinya. Kini, anak muda itu sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Sekarang ia benar-benar tinggal sebatang kara.
Sementara itu, ada sesuatu yang terjadi pada Puaq. Setelah menebang pohon bakau di pantai beberapa hari yang lalu itu, ia pun jatuh sakit. Berbagai macam obat telah diminumnya, tetapi penyakitnya tak kunjung sembuh. Badannya yang dulu kekar, kini terlihat kurus. Hari ke hari berbaring lemas di atas dipan kayunya. Tak satu pun makanan yang bisa ditelannya. Untunglah ada anak perempuannya, Cicci Hadra, yang merawat. Istrinya telah berpulang lebih dahulu saat melahirkan adik Cicci Hadra. Siang itu, setelah anak perempuannya itu menyendokkan teh ke mulutnya, Puaq mengatakan sesuatu.
“Anakku Cicci Hadra, ini bukan sakit biasa rasanya, Nak.” “Maksud, Ayah?” Cicci Hadra tidak mengerti maksud kalimat ayahnya. “Ya, ini bukan sakit biasa, Nak. Tidak hanya panas yang ayah rasakan, tetapi juga sakit di dada ini. Ayah sudah tak kuat, Nak.” Puaq meraba dadanya dengan kedua tangannya. “Sakitnya bagaimana, Ayah? Apa yang harus saya perbuat?” Cicci Hadra mulai cemas mendengar perkataan ayahnya. “Mungkin benar apa yang dikatakan Nenek Tupu, Nak. Menebang pohon bakau itu akan mengakibatkan celaka bagi orang yang melakukannya.” “Tapi kenapa Ayah lakukan juga, Yah? Nenek Tupu itu orang tua yang disegani di kampung ini. Perkataan beliau didengar orang-orang, Yah.” Cicci terlihat menyesalkan perlakuan ayahnya yang semena-mena itu. Puaq tidak lagi mengomentari perkataan terakhir Cicci Hadra. Lelaki itu membalikkan badannya, wajahnya menghadap dinding bambu biliknya. Cicci Hadra duduk dengan sabar menunggu ayahnya sampai tertidur.
Mengetahui Puaq jatuh sakit, muncullah pikiran yang tidak-tidak pada diri Amboq. Menurutnya, Puaq sebentar lagi akan mengikuti jejak Nenek Tupu, dan tinggallah dia sendiri yang akan menguasai Kampung Tanjung Babia. Tanpa berpikir panjang lebar diambilnya parang, lalu bergegas keluar rumah, pergi ke pantai mematok-matok tanah untuk dijadikan milik pribadinya.
Apa yang dilakukan oleh Amboq terlihat oleh seorang tetangga Puaq yang kebetulan melewati pantai dan segera melaporkan kepada Puaq bahwa Amboq berada di pantai sedang sibuk mematok-matok tanah, termasuk tanah milik Puaq dan Nenek Tupu. Mendengar berita dari tetangganya itu, dengan sisa tenaga ia beranjak dari pembaringan dan mengajak Cicci Hadra untuk segera berangkat ke pantai. “Ayah! Seharusnya Ayah tidak berpikir yang macam-macam dulu! Ayah itu dalam keadaan sakit! Kalau sesuatu itu memang hak kita, pasti tidak akan berpindah tangan!” Cicci Hadra memegang kuat bahu ayahnya dan menahannya untuk tidak meninggalkan tempat tidur.
Usaha Cicci Hadra mencegah ayahnya sia-sia. Panas hati Puaq melebihi panas tubuhnya. Lelaki itu memang terkenal dengan watak keras. Ia sangat marah atas pengkhianatan yang dilakukan oleh Amboq terhadapnya. Sambil melepaskan pegangan tangan Cicci anaknya, lelaki itu nekad untuk pergi ke pantai menemui Amboq. Cicci merisaukan keadaan ayahnya. Ia pun mengikuti di belakang.
Sebelum sampai di tempat Amboq mematokmatok tanah, langkah Puaq mendadak berhenti. Ia terperangah. Dilihatnya pohon bakau yang dulu ditebangnya, kini tumbuh kembali dengan kokohnya. “Oh, memang betul apa yang dikatakan Nenek Tupu,” ujar Puaq sambil mengangguk-anggukkan kepala. “Perkataan tentang apa, Ayah?” Cicci mendesak ayahnya. “Ah! Tidak perlu kamu tahu “Kenapa Ayah berkata begitu? Aku ini ‘kan anak Ayah!” tukas Cicci Hadra. “Sudahlah! Tak usah kau pikirkan! Aku ingin bertemu si Amboq, di mana dia!” kilah Puaq sambil memainkan bola matanya ke tempat Amboq mematok-matok tanah. “Itu dia, Ayah. Tapi Ayah yang sabar ya.” Cicci Hadra menenangkan hati ayahnya.
Sesampai di tempat Amboq mematok-matok tanah, adu mulut antara Puaq dan Amboq pun terjadi. Satu sama lain sudah seperti orang kerasukan. Cicci Hadra berusaha sekuat tenaga menahan gerak ayahnya, namun sia-sia. Puaq yang sedang sakit tidak sedikit pun terlihat seperti orang sakit. Namun, tidak ada yang tahu kalau lelaki itu sudah tidak berdaya. Saat hendak maju melawan Amboq yang segar bugar, tiba-tiba Puaq lemas tak berdaya. Tinjunya yang tadinya kuat mengepal, perlahan turun. Ia jatuh terkulai di pasir bercampur butir-butir karang. Cicci Hadra memeluk erat tubuh ayahnya. Wajah Puaq pucat pasi, tak ada lagi kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ditatapnya anak gadisnya itu. Air matanya tergenang di kedua sudut matanya. Lalu, mata itu perlahan terpejam... dan terpejam untuk selamanya.
“Ayahhh... jangan tinggalkan aku, Ayaaahhh!” pekik Cicci Hadra. “Puaq... Puaq... Puaq....” Ambo berusaha memanggil-manggil, lalu mengguncang-guncang tubuh Puaq. Namun, semua sudah terlambat.
Sambil memegang parang di tangannya kanannya, Amboq berdiri, lalu berlari masuk kampung memanggil Ijo dan anaknya, Becce Segang. Ijo yang sedang membersihkan pekarangan belakang terkejut mendengar suara Amboq memanggil-manggil namanya. Dilepasnya sapu lidi yang dipegangnya, diikuti langkah Amboq. Namun, naas bagi Amboq, saat lelaki itu berada pada anak tangga rumahnya untuk memberi tahu istri, ia tersandung. Parang yang dipegangnya terlepas melukai betis kirinya. Becce Segang, anaknya Amboq, melihat sendiri kejadian yang menimpa ayahnya. Ia menjerit memanggil ibunya. Ibu dan adik perempuannya datang dari dapur. Dilihat, kaki Amboq sudah bersimbah darah. Ijo dan Becce Segang segera mengangkat Amboq ke dalam rumah. “Sudah! Sudah! Sudah! Tak usah kalian pikirkan lukaku ini! Segeralah kalian ke pantai! Di pantai Cicci Hadra sedang menangisi jasad ayahnya!” “Ha? Jasad ayahnya? Puaqkah maksudnya?” Ijo mendesak. “Iya! Cepatlah kalian ke sana! Kau Ijo! Kau juga Becce!” “Tetapi luka ayah ini?” Becce merisaukan ayahnya. “Tak usah kau pikirkan. Nanti ibumu kusuruh menumbuk daun singkong untuk dilumurkan di luka ini agar darahnya berhenti keluar. Pergilah kalian!” Dengan gemetar, Ijo dan Becce berlari menuju pantai. Orang-orang yang melihat terpana melihat mereka berdua. “Ah, ada apa gerangan si Ijo dan si Becce itu. Berlari seperti ada yang mengejar!” ucap suami Bu Jirana penuh tanya. “Wah! Ijo dan Becce kenapa pula itu mengambil langkah seribu! Hendak ke mana mereka?” sela yang lain. Orang-orang yang melihat mereka merasa penasaran. Kemudian, mereka mengikuti Ijo dan Becce Segang dari belakang. Sesampai di pantai, mereka melihat Cicci Hadra memeluk dan menangisi jasad Puaq yang sudah kaku. Orang-orang pun berdatangan, ada yang berlari kecil, dan beberapa ibu-ibu tergopoh-gopoh. Melihat Becce Segang datang bersama Ijo, Cicci Hadra menumpahkan kemarahannya kepada anak lelaki Amboq itu. “Mana ayahmu, Becce? Mana?” “Ayah saya ada di rumah. Memang ada apa dengan ayah saya?” jawab Becce gemetaran. “Oh... jadi ayahmu itu lari dari kenyataan?” “Maksudmu?” “Ayahmu harus bertanggung jawab atas kematian ayah saya!” “Mengapa harus ayah saya yang bertanggung jawab?” tanya Becce Segang. “Sudah, sudahlah! Tak perlu diributkan! Nanti kita selesaikan! Mari segera kita bawa ayahmu pulang! Ayo Bapak-Bapak, bantu aku!” Ijo menengahinya, lalu mengangkat jasad Puaq. Beberapa orang lelaki ikut menolong.
Di rumah Puaq, warga yang hadir turut membantu. Mereka bersama memandikan, mengafani, menyembahyangi, dan mengantarkan jenazah Puaq ke pandam perkuburan keluarga di bukit kecil dekat pantai.
Dua hari setelah kematian Puaq, Ijo datang ke rumah Cicci Hadra. Ijo mengerti sekali bagaimana perasaan ditinggal mati oleh orang yang disayangi. Pemuda itu mendengarkan dengan tenang saat Cicci Hadra menceritakan kronologi kematian ayahnya. Ijo mengangguk-angguk dan berusaha menenangkan hati Cicci Hadra.
“Pokoknya saya tidak terima, Kak Ijo. Ayah Becce harus bertanggung jawab atas kematian ayah!” tegas Cicci Hadra. “Tadi kan sudah kamu sampaikan semuanya, Cicci. Ayahmu dan ayah Becce bukanlah adu fisik. Kondisi ayahmu sedang sakit... sudah berhari-hari tak makan. Beliau itu lemas, tetapi dipaksa juga untuk ke pantai saat itu.” Ijo berusaha menenangkan dan meyakinkan Cicci Hadra. “Memang tak adu fisik, tetapi mereka itu adu mulut. Itu membuat ayahku jatuh terkulai sampai meninggal! Sampai meninggal, Kak!” Cicci bercerita sambil terisak. “Cicci, kamu itu beriman, ‘kan? Itu takdir namanya! Tuhan yang mengatur semuanya!” tukas Ijo sedikit keras. “Ya, aku tahu, Kak. Tuhanlah yang berkehendak atas segalanya.” Bicara Cicci sudah mulai berangsur lunak. “Kalau memang kamu tahu, hilangkan kemarahanmu pada Amboq dan keluarganya. Jangan sedikit pun kamu simpan niat untuk membalas dendam kepada Amboq yang sedang terbaring sakit.” Ijo memandang Cicci bak kakak laki-laki pada adik perempuannya. Lalu melanjutkan, “Kasihan Amboq. Sampai saat ini beliau itu belum bisa berdiri. Sepertinya luka di betisnya serius.”
Tujuh hari sudah Puaq, ayahnya Cicci Hadra, meninggal dunia. Semenjak kematian ayahnya itu, Cicci ditemani oleh saudara-saudara almarhum ibunya dan beberapa orang sepupunya sehingga gadis itu tidak merasa kesepian. Ijo, sebagai pemuda yang arif dan bijaksana di kampung itu berbicara pada salah seorang kerabat Cicci agar nantinya ada yang tinggal bersama Cicci.
Selain itu, terpikir juga oleh Ijo untuk mempertemukan Cicci Hadra dan Amboq agar tidak ada dendam dan hati yang terluka. Maka, suatu petang, Ijo menyampaikan hal itu pada Cicci. Dengan cara jitu Ijo, akhirnya mereka sepakat untuk berkunjung ke rumah Amboq. Sesampai di rumah Amboq, Cicci melihat kondisi Amboq yang memprihatinkan. “Maafkan saya... maafkan saya, Nak.” Amboq berkata dengan wajah mengiba. “Ya, saya sudah memaafkan, Pak. Mohon dimaafkan juga salah ayah saya. Ini semua sudah diatur oleh Yang Mahakuasa.” Cicci memeluk Amboq yang sedang terbaring lemas. Ijo melihat dengan senang hati. Istri Amboq dan Becce Segang, anaknya, juga ikut bermaafmaafan dengan Sicci Hadra. Ijo merasa puas dan lega karena sudah tak ada lagi yang tersakiti di antara kedua belah pihak.
Ijo semakin senang hatinya melihat Cicci Hadra menyingkap kain yang menutupi kaki Amboq. Gadis itu melihat dan memperhatikan dengan serius luka di betis Amboq. Ia berpikir sejenak, lalu berjanji untuk mencarikan obat luka yang mujarab yang disimpan di rumahnya. Obat itu dapat menyembuhkan luka dengan cepat. Cicci Hadra ingat, kalau ia pernah menyimpan obat luka yang diberi kerabatnya saat almarhum ayahnya dulu terluka pangkal lengannya oleh pisau.
Sesampai di rumah, Cicci Hadra mengingat-ingat di mana obat luka itu disimpannya. Gadis itu membuka laci demi laci rak yang ada di rumahnya. Ternyata, ia menyimpan obat luka itu dalam plastik berbungkus kertas pada salah satu laci raknya. Cicci segera mengantarkannya ke rumah Amboq dan menjelaskan cara pemakaiannya. Luar biasa, beberapa hari kemudian luka di betis Amboq mulai kering. Lelaki itu pun sudah dapat berdiri dan berjalan seperti biasa
Di suatu pagi, matahari baru menampakkan sinarnya, burung-burung pun berkicau bernyanyi riang. Ijo mendatangi rumah Amboq dan mengajaknya untuk berkunjung ke pantai. Amboq setuju, istrinya dan Becce Segang juga turut serta. Hampir semua warga Tanjung Babia datang ke pantai hari itu, termasuk Cicci Hadra dan sepupunya, Bu Jirana dan anaknya Husna, Pak Sarmang dan Pak Sa’ding tidak ketinggalan.
Di sekitar pohon bakau, tepatnya di depan bukit kecil terdapat beberapa batu berukuran besar. Beberapa remaja dan orang tua duduk di atas batu yang menghampar. Anak-anak bermain bersuka ria dengan ombak kecil yang menghempas karang. Selain itu juga ada yang berkejaran di pasir pantai. Alangkah senangnya hati Ijo melihat semua itu. Ijo meminta kepada yang hadir untuk berkumpul, tepatnya di sekitar dua pohon bakau menjulang tinggi. Untuk menghormati orang yang dituakan di kampung, Ijo meminta Amboq untuk berbicara terlebih dahulu. Dalam bicaranya, Amboq meminta maaf kepada semua warga atas kekhilafan kesalahannya dalam beberapa peristiwa yang telah terjadi. Selanjutnya, lelaki yang penuh uban itu berpesan agar tidak ada lagi peristiwa yang sama.
“Memang benar apa yang telah dikatakan oleh Nenek Tupu saat itu bahwa siapa saja yang menebang pohon vova sanggayu akan menyebabkan malapetaka baginya. Itu terjadi padaku.” Amboq berkata tenang dengan suara sayup-sayup tak sampai. Lalu, dilepaskannya pandangannya pada pohon bakau yang berdiri di depannya. Tak terasa air matanya menetes. Amboq tertegak menahan isak.
Lalu Ijo, ia maju tiga langkah dari tempat ia berdiri. Sebelum mengawali pembicaraannya, pemuda tampan itu memberikan seulas senyum menawan pada semua orang-orang yang hadir sebagai sapanya. “Bapak, Ibu, Saudara-saudara, dan Adik-adikku sekalian, hari ini adalah hari yang paling bahagia bagi saya dan bagi kita semua. Dengan kerelaan Bapak Ibu, Saudara, dan Adik-adik semua untuk melangkahkan kaki dan melenggangkan tangan datang ke pantai indah ciptaan Tuhan ini, tak ada kata yang dapat saya katakan, selain kata terima kasih. Tak ada rasa, selain rasa bangga. Ya, bangga tak bertara.”
Semua yang hadir bertepuk tangan dan saling berpandangan. Mereka mengagumi sosok yang sedang berbicara, sosok Ijo yang ramah, berani, dan jujur.
“Tentang Tanjung Babia ini, sebuah daratan di tanah Mandar Pattae yang menjorok ke laut, adalah sebuah kampung tempat kita bermukim. Kampung tempat kita lahir dan tumbuh besar, memberi kkita beragam kehidupan. Namun, sebagai penghuninya, kita patut menjaga apa yang ada di dalamnya, termasuk menjaga pantainya. Bapak, Ibu, Saudara, dan Adik-adik tahu bahwasanya Nenek Tupu telah menanam pohon bakau beberapa waktu lalu. Dan karena sesuatu hal, bakau-bakau itu ditebang. Tak disangka, bakau itu tumbuh kembali... menjulang tinggi, seakan menjaga pantai dan segala yang ada di sini. Sekarang, disaksikan raja siang dan awan yang lalu lalang, bagaimana kalau daerah sekitar pantai ini kita namakan dengan nama Pasangkayu?” Ijo berkata penuh semangat. “Maksudnya?” Husna dan Cicci Hadra serentak bertanya. “Pasangkayu berasal dari kata vova sanggayu, yang berarti pohon yang bisa tumbuh sendiri. Sebelum Nenek Tupu menghembuskan napas terakhirnya dulu, beliau mengatakannya kepada saya.” Orang-orang yang hadir terharu mendengar apa yang diucapkan Ijo. Mereka setuju dengan nama tersebut, dan sekali lagi memberikan tepukan yang meriah. Lalu, Ijo melanjutkan, “Baik, Bapak, Ibu, Saudara-saudara, Adik-adikku. Dengan demikian, demi kelestarian pantai, mari kita tanami daerah sekitar ini dengan bibit-bibit bakau yang lain. Kita beri teman dua bakau ini agar mereka tak terlalu sepi.” Ijo mengakhiri pembicaraannya. Lalu, didampingi Amboq, dan disaksikan orang banyak, Ijo pun menanam beberapa bibit bakau di sekitar pantai.
Konon, sampai saat ini, beberapa pohon vova sanggayu masih berdiri tegak dan kokoh di pantai indah Mandar Pattae.
Ditulis oleh: Dra. Suryami, M.Pd
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |