Upacara Mreteka Merana (seringnya masyarakat awam menyebut: Ngaben Tikus) adalah upacara butha yadnya yang khas dan satu-satunya yang ada di bali, Kegiatan ini sebenarnya sudah cukup sering dilakukan oleh masyarakat Hindu di Kabupaten Tabanan, khususnya oleh krama subak di wilayah desa pekraman Bedha, desa Bongan , kecamatan Tabanan, kabupaten Tabanan. Mengingat wilayah di desa ini sebagian besar penduduknya hidup dari bercocok tanam, khususnya padi. Sehingga upacara yang berhubungan dengan keselamatan dan kesuburan tanaman, khususnya padi, sudah sering dilaksanakan baik secara rutin seperti Masembuhan dan Nanggeluk Merana maupun tidak rutin (Nagata Kala) seperti Ngalepeh dan Mreteka Merana.
Upacara Mreteka Merana/Ngaben bikul ini oleh beberapa subak di Bali belum memasyarakat sekali, sehingga krama subak di wilayah desa pekraman Bedha yang sudah sering melakukannya, maka upacara ini dianggap sebagai Loka Dresta (kebiasaan setempat) apalagi upacara ini dilaksanakan ditempat suci yaitu di penataran Baleagung Pura Puseh Luhur Bedha, Karena dilihat dari hasilnya setelah upacara ini dilaksanakan ternyata telah memberikan bukti nyata bagi kehidupan para petani.
Mreteka Merana terdiri dari dua kata yaitu kata Mreteka dan kata Merana. Mreteka artinya mengupacarai, Merana artinya hama penyakit. Tujuan dari upacara ini adalah untuk menyucikan roh/atma hama penyakit supaya kembali ke asalnya sehingga tidak kembali menjelma ke bumi sebagai hama penyakit dan merusak segala jenis tanaman yang ada di bumi, khususnya tanaman padi. Pelaksanaan upacara ini sesuai dengan isi lontar (kitab) seperti lontar Sri Purana dan lontar Dharma Pemacula yang menyebutkan Kapreteka, sama luirnya mretekaning wong mati bener artinya diupacarai seperti mengupacarai orang mati.
Oleh karena itu, pandangan masyarakat awam pada akhirnya mengkonotasikan upacara Mreteka Merana ini tergolong dalam upacara Pitra Yadnya (Ngaben Tikus) karena upacaranya seperti orang ngaben di Bali yang membawa Cuntaka (tidak suci). Pandangan seperti ini hendaknya perlu diluruskan. Untuk lebih jelasnya, bahwa upacara Mreteka Merana ini tergolong dalam upacara Bhuta Yadnya (mengupacarai sarwa prani). Bhuta Yadnya adalah upacara yang tidak membawa cuntaka (tidak suci) . Untuk upacara Bhuta Yadnya ada bermacam-macam seperti memakai layang-layang (kulit binatang) ada yang ditanam ada binatang yang diselamkan di laut atau didanau, yang namanya mulang pekelem termasuk di upacarai seperti orang mati yang namanya mreteka merana. Di desa pekraman Bedha upacara seperti ini dilaksanakan apabila hama tikus dan hama lainnya telah menyebabkan gangguan yang sudah luar biasa dan tidak bisa dikendalikan. Upacara mreteka merana ini sudah lebih dari enam kali dilaksanakan.
Pada tahun 2000 pernah dilaksanakan, setelah itu tanaman tidak pernah lagi terserang oleh hama penyakit sampai tahun 2008. Akan tetapi sejak tahun 2008 hama penyakit khususnya hama tikus lagi merajalela sampai tidak bisa dikendalikan. Itulah sebabnya berdasarkan kesepakatan krama subak di wilayah desa pekraman Bedha yang terdiri dari subak Gubug I, subak Gubug II, subak Sakeh, subak Tanah Pegat, subak Lanyah Wanasara, subak Bengkel dan Pangkung Tibah yang luasnya 900 Ha melaksanakan upacara Mreteka Merana.
Bahan: 1 buah tomat, potong dadu 2 ekor ikan tongkol ukuran sedang (1/2kg) 1/2 bks bumbu marinasi bubuk 1 sdt bawang putih Secukupnya garam Secukupnya gula 7 siung bawang merah, iris 5 buah cabe rawit, iris 2 batang sereh, ambil bagian putihnya, iris 3 lembar daun jeruk, iris tipis-tipis 1 bks terasi ABC Minyak untuk menumis Secukupnya air Cara memasak: Cuci bersih ikan tongkol. Taburi bumbu marinasi desaku, garam secukupnya, air 2 sdm ke ikan tongkol. Siapkan bahan-bahan. Iris tipis bawang merah, daun jeruk, seret, cabe rawit. Kukus ikan tongkol selama 10 menit. Lapisi dengan daun pisang atau daun kunyit. Boleh jg tidak d lapisi. Setelah ikan di kukus, goreng ikan. Tumis bawang merah dan bahan lainnya. Masukkan terasi yg telah dihancurkan. Setelah matang, masukkan ikan yang telah digoreng. Aduk hingga rata. Sajikan dengan nasi hangat. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/24995999?ref=search&search_term=dabu+dabu
Bahan-bahan Porsi 2 orang Bumbu Ikan bakar : 2 ekor ikan peda 1 sdm kecap 1/2 sdm Gula merah 1/2 sdt garam Minyak goreng Bahan sambal dabu-dabu : 7 buah cabe rawit merah, iris kecil 1 buah tomat merah, iris dadu 3 siung bawang merah,iris halus 2 lembar daun jeruk, buang tulang tengah daun, iris tipis 2 sdm minyak goreng panas Cara Membuat: Marinasi ikan dengan air perasan jeruk nipis dan garam secukupnya, diamkan 20 menit, kemudian panggang diatas teflon(aku di happycall yang dialasi daun pisang) sesekali olesi minyak plus bumbu ke ikannya(aku pakai bumbu kecap dan gula merah) panggang sampai matang. Cara bikin Sambal dabu-dabu : Campurkan semua bahan sambal dabu-dabu ke dalam mangkok kecuali minyak kelapa, panaskan minyak kelapa, kemudian siram diatas sambal tadi, sajikan ikan peda bakar dengan sambal dabu-dabu. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/15232544?ref=search&search_term=peda+bakar
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.