Bekasi pada dasarnya merupakan daerah urban yang di mana percampuran budaya dari Sunda dan Betawi. Di awali dengan budaya dari Sunda, masyarakat Bekasi sudah mengenal terlebih dahulu kesenian khas Sunda. Bisa disimpulkan bahwa Bekasi merupakan daerah yang berbudaya, namun dengan berjalannya waktu budaya-budaya yang dulu mengental kini mulai pudar. Penyebabnya terjadi karena berbagai macam faktor seperti kurangnya minat dari generasi muda, sedikitnya budayawan dan seniman yang mengasosiasi untuk melestarikan ke masyarakat, daerah Kota Bekasi yang letaknya dekat dengan kota metropolitan seperti Kota Jakarta yang membawa arus modernisasi dan memberi dampak ke daerah sekitar seperti masyarakat Kota Bekasi, masuknya budaya asing yang lebih diminati oleh generasi muda. Namun tidak sedikit budaya yang telah lama ada tetap eksis di masyarakat. Di beberapa sanggar dan tempat kesenian tertentu, seperti kesenian ujungan yang telah lama ada dan masih dilestarikan sampai sekarang. Kesenian Ujungan merupakan kesenian dari budaya khas Sunda, selain di Bekasi, kesenian ini juga dikenal oleh beberapa daerah dengan keunikannya masing-masing, seperti Banyumas, Majalengka, Cirebon, Tegal, Jombang, Probolinggo, dan lainnya. Kesenian Ujungan merupakan jenis ketangkasan bela diri yang berpadu dengan tiga jenis seni seperti seni musik (Sampyong), seni tari silat (Uncul), dan seni bela diri tongkat (Ujungan). Kesenian ini telah lama dipelajari, seperti tokoh Memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat atau Herinneringen van Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat. Kesenian ujungan juga tercatat dalam buku berbahasa Sunda berjudul “Rasiah Priangan” karya Mas Kartadinata, terbitan balai poestaka tahun 1921. Walaupun kesenian ujungan juga ada di beberapa daerah, permainan dan aturan dari kesenian ini memiliki inti yang sama; dua orang pemain yang berlaga dengan menggunakan alat pemukul berupa kayu rotan yang berukuran panjang sekitar 30 CM, dengan sasaran pukulannya adalah kaki. Di daerah Babelan, Bekasi membatasi aturan dengan memukul dari dengkul ke bawah, sedangkan daerah lain memperbolehkan untuk memukul dari pusar ke bawah. Ujungan, biasa ditampilkan dalam rangka merayakan pesta panen. Karena itu, pertarungan dilakukan ditengah sawah yang sudah dipanen. Sementara, lokasi aksi permainan ini membutuhkan tempat berukuran 3 x 4 meter persegi. Namun untuk di beberapa daerah seperti Probolinggo dan Banyumas Ujangan menjadi upacara ritual yang sakral untuk memanggil hujan. Dalam Kesenian ujangan yang resmi terdapat tokoh yang dikenal dengan sebutan bobotoh sebagai wasit yang mengatur berjalannnya kesenian ujungan, serta pada keberlangsungan aksi ujangan dilakukan pada malam hari di mana sinar bulan dirasa cukup. Pertandingan ini dimulai ketika bobotah atau wasit mempersikahkan salah satu jawara untuk memasuki area gelanggang yang merupakan arena bertarung ujangan. Pemain atau jawara yang sudah memasuki arena kemudian melakukan tarian kesenian yang disebut tari uncul yang mirip ibing silat dan diiringi oleh kesenian musik perkusi yang dikenal dengan sampyong yang berbentuk gambang sederhana teridir dari 7 bilah kayu, tok tok atau kentungan terbuat dari bambu dan kecrek yang terbuat dari logam. Ujungan merupakan kesenian bela diri yang berkembang di Bekasi. Kata ujungan berasal dari Bahasa Sunda yaitu jung berarti dari lutut ke bawah. Lalu, berkembang menjadi ujung yang artinya kaki. Beberapa tokoh mengatakan bahwa ujungan berasal dari kata ujung (bongkot, bahasa dialek Bekasi), yaitu baik ujung rotan maupun ujung kaki. Ujangan sudah mulai langka untuk dijumpai, karena memang kesenian yang membutuhkan kejadian tertentu untuk diselenggarakan. Dan juga para seniman yang kini makin sedikit. Oleh karena itu kita sebagai pemuda dan generasi muda harus mendukung setidaknya mengapresiasi dan ikut menyaksikan serta menyebarluaskan.
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja