|
|
|
|
![]() |
Tradisi Ritus : Kuda Kosong Cianjur Tanggal 16 Mar 2020 oleh Friska adinda putri alika . Revisi 2 oleh Friska adinda putri alika pada 16 Mar 2020. |
Pawai Kuda Kosong bermula ketika seorang pimpinan Cianjur yaitu Raden Kanjeng Aria Wiratanurdatar yang merupakan Bupati Pertama di Cianjur (Dalem Cianjur). Saat itu daerah kasundaan di bawah pimpinan raja Mataram dan Cianjur harus selalu menyerahkan upeti ke Mataram. Upeti tersebut berupa 3 butir padi, 3 butir pedes (lada) dan 3 buah cabe rawit. Setelah berembuk, Dalem Cianjur mengirimkan perwakilan yaitu Aria Natadimanggala untuk menyerahkan, dan di setiap upeti yang diserahkan memiliki arti masing-masing dan Raja Mataram bisa memahami dan memberikan balasan berupa keris, kuda kerajaan dan juga pohon saparantu untuk dalem Cianjur. Akhirnya kuda tersebut dibawa pulang ke Cianjur dengan dituntun, tidak ditunggangi karena Aria Natadimanggala begitu patuh dan sangat menghargai bahwa kuda tersebut diberikan sebagai hadiah untuk kakaknya (Dalem Cianjur).
Pada saat sampai di Cianjur, kuda tersebut diarah mengelilingi kota Cianjur dan menjadi sebuah kebanggan bagi Kabupaten Cianjur. Kuda tersebut pada saat dibawa dari Mataram ke Cianjur tidak ditunggangi maka kuda tersebut akhirnya disebut sebagai Kuda Kosong. Di sisi lain, tradisi Kuda Kosing ini selalu dihubung-hubungkan dengan sesuatu yang mistis karena ada beberapa ritual yang dijalankan sebelum dipertunjukkan kepada masyarakat (Elis, et.al, 2016) Makna Kuda Kosong oleh kebanyakan masyarakat Cianjur selalu dikaitkan dengan hal mistis atau gaib. Mereka memaknai Kuda Kosong ditunggangi oleh Eyang Suryakencana yang tak kasat mata. Dari segi pendidikan, melalui Kuda Kosong dapat diambil pelajaran untuk menghormati orang yang lebih tua sebagaimana dicontohkan oleh Aria Natadimanggala yang tidak menunggangi kuda yang diperuntukkan bagi kakaknya.
Dapat di maknain bahwa pada zaman dahulu para pemimpin sangat bijaksana dan mengerti apa yang dimaksudkan oleh pemimpin lainnya, jika kita maknai secara filosofis. Hal ini terbukti dengan Raja Mataram yang paham mengenai filosofi dari upeti tersebut, begitupun sebaliknya. Dari segi religi dan sistem kepercayaan, pawai Kuda Kosong ini sempat dicekal karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama tertentu. Pada perkembangannya, sepanjang dapat ditekankan bahwa Kuda Kosong tidak dikaitkan dengan sesuatu yang mistis dan mendekati musyrik, tradisi ini dapat kembali berlangsung. Adapun peralatan dan perlengkapan yang digunakan dalam pawai Kuda Kosong terdiri atas aksesoris kuda yaitu penutup badan kuda, aksesoris kepala dan kaki, serta bunga wana-warni; payung untuk memayungi Bupati Cianjur dan memayungi kuda; pakaian penuntun kuda; dan perlengkapan para prajurit yang membawa upeti, keris, dan pohon saparantu.
Tahapan pelaksanaan pawai Kuda Kosong didahului dengan memandikan kuda menggunakan air yang berasal dari mata air Cikundul. Tahapan selanjutnya adalah berdoa agar pawai helaran Kuda Kosong keesokan harinya berjalan lancar. Berikutnya adalah pelaksanaan tawasul yaitu berdoa kepada Yang Maha Kuasa melalui suatu perantara dan menyalakan dupa untuk wewangian. Dewasa ini Pawai Kuda Kosong lebih mengedepankan aspek-aspek estetis yang bertujuan menarik minat para wisatawan untuk datang dan menyaksikan acara yang merupakan ciri khas daerah Cianjur ini. Melalui upacara ini diharapkan masyarakat Cianjur senantiasa mengingat jasa-jasa para pendahulu mereka serta mengambil nilai-nilai positif yang telah diajarkan secara turun menurun.
Tradisi kesenian kuda kosong dimulai sejak zaman RAA. Prawiradiredja I Dalem Cianjur yang memerintah antara tahun 1813-1833. Awalnya tradisi tersebut dilangsungkan saat ada 'kaulan' atau pesta di pendopo Cianjur. Sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur Cianjur terutama R.H. Surya Kencana anak Dalem Aria Wiratanu atau Jayasasana atau lebih dikenal sebagai Dalem Cikundul dan memerintah sekitar tahun 1677-1691. Pangeran Surya Kancana atau Eyang Suryakancana menjadi tokoh dalam babad Cianjur karena senantiasa dikaitkan dengan hal-hal mistis.
Menurut cerita, Pangeran Surya Kencana dinikahkan oleh ayahnya dengan salah satu putri dari bangsa jin dan hingga kini bersemayam di Gunung Gede. Hal yang sama terjadi pula pada putri Jayasasana lainnya , Ny.R. Endang Sukaesih yang bersemayam di Gunung Ceremai dan R. Andika Wirusajagad yang menguasai Gunung Karawang. Saudara-saudara Surya Kencana dan Endang Sukaesih lainnya, secara turun temurun kemudian menjadi penguasa Cianjur. Beberapa Bupati pasca kemerdekaan hingga tahun 1966 masih dipimpin oleh keturunan Jayasasana ini. Dan biasanya usai upacara peringatan Kemerdekaan 17 Agustus tradisi menghadirkan leluhur terutama Eyang Surya Kenacana selalu dilakukan melalui pawai Kuda Kosong. Diiringi tabuhan gamelan dan kesenian khas Cianjur lainnya kuda kosong yang dipercayai ditumpangi Surya Kencana diarak keliling kota. Catatan tambahan untuk pawai tahun ini (2014) kuda kosong mulai di tampilkan lagi, memimpin pertama barisan pawai yang di iringi berbagai peserta pawai yang begitu semarak, karena tahun ini di ikuti peserta dari luar kota cianjur.
Kuda Kosong. (2018, Januari 1). Retrieved from warisan budaya web site: https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=684 Kuda Kosong Ramaikan Pawai Pembangunan Hari Jadi Cianjur Ke-335. (2012, Juli 11). Retrieved from kabarcianjur.com: http://www.kabarcianjur.com/2012/07/kuda-kosong-ramaikan-pawai-pembangunan.html
![]() |
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
![]() |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
![]() |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
![]() |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |