Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Silat Betawi DKI Jakarta Petukangan
Tokoh Silat Beksi Petukangan
- 20 Oktober 2019

Buku Silat Beksi Petukangan

Februari 22, 2019

Mandor Minggu

Mandor Minggu adalah salah satu murid dari H. Godjali, yang juga meneruskan dan membuka perguruan silat Beksi. Ayah Mandor Minggu bernama Sinan dan ibunya bernama Julia binti Sidi. Tahun kelahiran Mandor Minggu tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan sekitar tahun 1890-1900, dimana secara usia, tidak terpaut jauh dari usia M. Nur. Menurut penuturan keluarga, tahun wafatnya sekitar tahun 1970. Hingga saat ini, makamnya tidak diberi nisan dan hanya berupa gundukan tanah pada lahan kecil di tengah pemukiman. Lahan kecil yang digunakan sebagai tempat peristirahatannya yang terakhirnya saat ini, dahulu merupakan halaman rumahnya yang megah dan berarsitektur khas Betawi.

Secara fisik, perawakannya tinggi besar dan berkulit putih. Selama hidupnya, menurut narasumber, Mandor Minggu telah memiliki 5 istri, yang bernama Asenah, Juriah, Yani, Mardiah dan satu lagi tidak diketahui namanya. Menurut penuturan, selama hidupnya Mandor Minggu adalah orang yang santun, tetapi tegas terhadap kondisi yang menurutnya tidak sesuai. Pekerjaan utamanya dahulu, adalah seorang kepala keamanan dari kampung Petukangan atau semacam sinder (pengawas pabrik atau perkebunan milik pemerintah) dan dari situlah dia mendapatkan nama panggilannya, mandor.

Mandor Minggu menjadi salah satu murid awal yang utama dari H. Godjali bersama H. Hasbullah, Simin dan M. Nur. Ketika H. Godjali sedang tiada di kampung Petukangan, pengajaran silat Beksi dilanjutkan oleh Ki Marhalli di Dadap ataupun di Petukangan. Tidak seperti tiga sahabatnya yang lain, Mandor Minggu jarang sekali terdengar bahwa dia terlibat konflik dengan pemerintah kolonial, sehingga dia tidak pernah menjadi incaran pemerintah.

Sketsa wajah Mandor Minggu

(Sketsa diberikan atas kebaikan hati Iwan RidwanIreng Halimun)

Sebagai salah satu orang yang bertanggungjawab atas keamanan warga kampung Petukangan, Mandor Minggu menjadi salah satu palang pintu yang menghadang potensi konflik. Ketika pasukan Jepang pimpinan Kapten Abe menjarah kampung-kapung di seputaran Serpong hingga Ciledug, bersama sahabatnya, M. Nur, dia menolak kedatangan tentara Jepang yang bermaksud menjarah. Akibatnya, dia ikut dicari oleh pihak Jepang, walaupun saat itu posisi Jepang sudah kalah perang.

Saat peristiwa rapat raksasa di lapangan Ikada di bulan September 1945, bersama ketiga sahabatnya yang lain, dia diperintahkan oleh gurunya, untuk ikut mengamankan kondisi di sana. Selama masa Bersiap pada tahun 1946, Mandor Minggu secara aktif, ikut mengamankan daerah Petukangan, terutama dari Laskar Ubel-ubel yang bergerak dari daerah Curug, Tangerang. Laskar pimpinan Kyai Achmad Chaerun ini sebenarnya bermaksud mengacaukan pasukan Belanda, tetapi justru sering anggota laskarnya, mengacaukan pergerakan pasukan BKR dan seringnya merampok rakyat di wilayah yang dilaluinya. Hal itu terjadi selama bulan September hingga awal November 1945, sebelum berhasil digulung oleh pasukan BKR. Saat terjadi peristiwa Lengkong di Serpong pada bulan Januari 1946, dia ikut bersama untuk mengamankan dan mengawal pasukan pimpinan Mayor Daan Mogot. Namun sayangnya saat itu, kondisi kacau balau yang menyebabkan puluhan pasukan TKR tewas.

Saat Jakarta kemudian diduduki NICA dan Republik Indonesia terbatas pada garis demarkasi pada tahun 1946, Mandor Minggu hanya sebentar saja pergi ke Bekasi dan Karawang mengikuti sahabatnya. Sebagai seorang jawara, dia dicari karena NICA ingin memanfaatkannya sebagai pasukan Bumiputra. Dia menolak, karena dalam prinsipnya, beladiri silat bukan untuk berkelahi dan menindas rakyat. Sehingga lebih baik mati, daripada membantu NICA Belanda, menguasai Indonesia kembali.

“cari temen, jangan cari musuh, tapi kalo ada jangan lari”

Atau dengan kata lain, dengan istilah buka lari yang berarti :

“sebelum loe jual, gue udeh beli duluan”

Sekalipun sering bersikap keras terhadap kondisi, Mandor Minggu secara pribadi adalah seorang yang santun dalam bertutur kata dan begitu penyabar, sehingga sebisa mungkin pertarungan dihindari jika memang tidak menghasilkan faedah untuk diri dan sekitarnya. Oleh sebab itu, dia adalah orang yang selalu berdisiplin dalam setiap sesuatu, sehingga kedisiplinan tersebut dituangkan dalam pembelajaran ilmu silat Beksi, yaitu setahap demi setahap.

Sebuah cerita di tahun 1970-an, pernah para jawara silat Beksi Petukangan di-sambut (dalam bahasa Indonesia; ditantang atau diuji kemampuan) oleh warga Jombang (Sudimara saat ini). Sambut-an itu diterima oleh para jawara, terutama Mandor Minggu, H. Hasbullah, Simin dan M. Nur. Semua perlengkapan dan panggung sudah disiapkan oleh warga Jombang. Warga Petukangan serentak hadir dengan menggunakan kereta api sebanyak empat gerbong ke sana. Beberapa warga dari desa-desa di sekitar Petukangan dan Jombang, sudah lebih dulu hadir.

Melihat antusiasme dari warga Petukangan dan para jawara silat Beksi, warga Jombang yang mengundang sambut-an serta merta membatalkan acara tersebut dan hanya sekedar menyambut kedatangan para jawara silat Beksi dengan bersilaturahmi saja. Maksud utama adanya acara sambut-an tersebut adalah, upaya mempermalukan warga Petukangan bahwa silat Beksi akan mudah dikalahkan oleh jawara-jawara dari Jombang (Sudimara). Begitu mereka telah sadar akan sejarah dan kemampuan warga Petukangan yang diwakili oleh para jawara-nya, akhirnya mereka justru berkecil hati, dengan membatalkan acara tersebut dan kemudian meminta agar para jawara, termasuk Mandor Minggu, untuk menerima beberapa generasi muda warga Jombang belajar silat Beksi. Murid-murid silat Beksi dari jalur Mandor Minggu saat ini, berasal dari Bekasi, Karawang, Tangerang Selatan bahkan ada yang berasal dari Irian (Papua).

Walaupun telah mempunyai kemampuan serta jabatan, menurut penuturan keluarganya, petuah Mandor Minggu menyatakan itu hanya titipan dan jangan dibuat pamer. Sedapat mungkin bersabarlah dan saat seseorang menjadi pegawai pemerintah. Pesan utama Mandor Minggu adalah, dengan sepenuh hati bekerja dengan baik membantu warga yang membutuhkan, sebab itu merupakan salah satu sarana ibadah.

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Vila Van Resink
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Vila Van Resink adalah bangunan cagar budaya berbentuk vila yang terletak di Jalan Siaga, Kalurahan Hargobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemilik awal vila ini adalah Gertrudes Johannes "Han" Resink, seorang anggota Stuw-groep , sebuah organisasi aktif pada Perang Dunia II yang memperjuangkan kemerdekaan dan pembentukan negara demokratis Hindia Belanda. Bangunan tersebut dibangun pada masa pemerintah Hindia Belanda sebagai bagian dari station hill (tempat tetirah pada musim panas yang berada di pegunungan) untuk boschwezen dienst (pejabat kehutanan Belanda). Pada era Hamengkubuwana VII, kepengelolaan Kaliurang (dalam hal ini termasuk bangunan-bangunan yang berada di wilayah tersebut) diserahkan kepada saudaranya yang bernama Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi. Tanah tersebut lantas dimanfaatkan untuk perkebunan nila, tetapi kegiatan itu terhenti kemudian hari karena adanya reorganisasi pertanian dan ekonomi di Vors...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Gereja Kristen Jawa Pakem Kertodadi
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Gereja Kristen Jawa (GKJ) Pakem Kertodadi adalah salah satu gereja di bawah naungan sinode Gereja Kristen Jawa, yang terletak di Jalan Kaliurang km. 18,5, Padukuhan Kertadadi, Kalurahan Pakembinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Awal mula pertumbuhan jemaat gereja ini berkaitan dengan keberadaan Rumah Sakit Paru-Paru Pakem, cabang dari Rumah Sakit Petronela (Tulung), yang didirikan di wilayah Hargobinangun. Sebelum tahun 1945, kegiatan keagamaan umat Kristen diadakan secara sederhana dalam bentuk renungan atau kebaktian pagi yang berlangsung di klinik maupun apotek rumah sakit yang dikenal dengan nama "Loteng". Para perawat di rumah sakit tersebut juga melakukan pelayanan kesehatan ke dusun-dusun di sekitarnya, yaitu Tanen, Sidorejo, Purworejo, dan Banteng. Menurut Notula Rapat Gerejawi, jemaat gereja ini mengadakan penetapan majelis yang pertama kali pada 21 April 1945. Tanggal tersebut lantas disepakati sebagai hari jadi GKJ Pa...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Situs Cepet Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Situs Cepet Pakem adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Cepet, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan temuan dua buah yoni dan sejumlah komponen arsitektur candi di sekitarnya, situs ini diduga merupakan reruntuhan sebuah candi Hindu dari masa klasik. Lokasinya kini berada di area permakaman umum Padukuhan Cepet, berdekatan dengan sebuah masjid. Benda cagar budaya (BCB) utama yang ditemukan di situs ini adalah dua buah yoni yang terbuat dari batu andesit. Kondisi keduanya telah rusak, sedangkan lingganya tidak ditemukan. Yoni pertama awalnya berada di pekarangan penduduk bernama Pujodiyono, tetapi sekarang dipindahkan di halaman makam. Yoni ini memiliki ukuran relatif besar dengan bentuk yang sederhana, yaitu lebar 134 sentimeter, tebal 115 sentimeter, dan tinggi 88 sentimeter. Bagian bawah cerat yoni tersebut tidak bermotif dan memberikan kesan bahwa pengerjaannya belum selesai. Sementara itu, terdap...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Situs Potro
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Situs Potro atau Pancuran Buto Potro adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Potro, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Situs ini terdiri atas dua benda cagar budaya (BCB) utama yang seluruhnya terbuat dari batu andesit, yaitu jaladwara dan peripih. Jaladwara di situs ini oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama Pancuran Buto, karena bentuknya menyerupai kepala raksasa (kala) dengan mulut terbuka, gigi bertaring, dan ukirannya menyerupai naga. Sementara itu, keberadaan peripih berukuran cukup besar di situs ini menimbulkan dugaan bahwa pernah berdiri sebuah bangunan keagamaan di sekitar lokasi, kemungkinan sebuah candi, meskipun bentuk dan coraknya tidak dapat dipastikan karena minimnya artefak yang tersisa.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Sambal Matah
Makanan Minuman Makanan Minuman
Bali

Resep Sambal Matah Bahan-bahan: Bawang Merah Cabai Rawit Daun Jeruk Sereh Secukupnya garam Minyak panas Pembuatan: Cincang bawang merah, cabai rawit, daun jeruk, dan juga sereh Campur semua bahan yang sudah dicincang dalam satu wadah Tambahkan garam secukupnya atau sesuai selera Masukkan minyak panas Aduk semuanya Sambal matah siap dinikmati

avatar
Reog Dev