Dahulu kala, terdapat sebuah kerajaan bernama Sindangsari. Adapun rajanya bernama Baginda Raja Singa Mandala. Ia terkenal sebagai raja yang adil dan bijaksana. Ia pun memiliki seorang putri yang sangat cantik jelita bernama Putri Mayang Sawitri.
Kecantikan Putri Mayang Sawitri pun tersiar kemana-mana. Banyak raja dan kstaria dari kerajaan lain berniat melamarnya. Namun semuanya ditolak oleh Putri Mayang Sawitri dengan bermacam-macam alasan. Tentu saja Baginda Raja Singa Mandala merasa bingung. Ia merasa khawatir para raja dan ksatria yang ditolak lamarannya akan merasa sakit hati dan kemudian akan mengerahkan pasukannya untuk menyerang kerajaan Sindangsari. Pada suatu hari, datanglah rombongan pelamar dari kerajaan Margaasih. Rombongan tersebut dipimpin langsung oleh Raja Jayadilaga.
“Ada apakah gerangan Raja Jayadilga menemuiku?” kata Raja Singa Mandala di ruang keraton.
“Maksud kami untuk melamar putrimu yang cantik jelita itu. Sebagai tanda lamaran, kami membawa berbagai perhiasan dan hasil bumi dari kerajaan Margaasih,” jawab Raja Jayadilaga dengan tegas dan penuh harap.
“Kalau begitu niat paduka, aku hanya bisa menyerahkan keputusan lamaran ini pada putriku langsung,” kata Raja Singa Mandala sambil melirik pada putrinya, Putri Mayang Sawitri, “Bagaimana, anakku?”
Putri Mayang Sawitri lama menundukkan kepala. Karena kesal, akhirnya Raja Jayadilaga mengulang pertanyaan Raja Singa Mandala. “Bagaimana tuan putri, bersediakah dipersunting hamba?”
“ Euh , sebelumnya aku mohon maaf, paduka raja.” jawab Putri Mayang
“ Tidak usah minta maaf, karena tuan putri tidak punya salah apa-apa padaku,” kata Raja Jayadilaga dengan penuh kesabaran.
“ Eum , untuk saat ini aku tidak bisa menerima lamaran paduka raja.”
“Apa…?!!” Raja Jayadilaga tersentak kaget. Seketika ia berdiri dan pergi tanpa permisi keluar dari ruangan keraton diikuti oleh rombongan lainnya. Kemudian Ia bertitah, “Tunggu kedatangan pasukanku!”
Melihat kejadian tersebut, Raja Singa Mandala hanya duduk terpaku kaku di singgasana. Ia tidak dapat berkata apa-apa. Bahkan hatinya semakin diliputi rasa cemas. Ketakutannya yang utama ialah kerajaan Margaasih akan segera menyerang kerajaan Sindangsari. Sesuai dengan prediksi, keesokan harinya Raja Jayadilaga mengerahkan seluruh pasukannya dari kerajan Margaasih. Sebagai raja yang ingin mempertahankan kedaulatan, tentu saja Raja Singa Mandala pun menyiapkan pasukannya. Seluruh pasukan Sindangsari segera ditempatkan di daerah perbatasan.
Pagi itu cuaca sangat cerah. Pasukan Margaasih semakin mendekati perbatasan. Seluruh pasukan Sindangsari pun sudah siap menghalau. Sangkakala perang sudah ditiup, tanda peperangan akan segera dimulai. Peperangan pun terjadi. Namun nampaknya pasukan kerajaan Margaasih lebih kuat ketimbang kerajaan Sindangsari. Hal ini dikarenakan jumlah pasukan dari kerajaan Margaasih lebih banyak jumlahnya dan senjatanya pun lebih lengkap. Senjata mereka terdiri dari bedog (golok), pedang dan gondewa atau jamparing (panah).
Pertempuan kedua kerajaan pun berlangsung sengit. Namun setelah dua hari berperang, akhirnya pasukan kerajaan Sindangsari terdesak. Banyak prajurityang gugur di medan perang. Darah berceceran dimana-mana. Ksatria-ksatria pilih tanding kerajaan Sindangsari tidak mampu menahan gempuran pasukan Margaasih. Bahkan Raja Singa Mandala pun akhirnya terbunuh dalam peperangan tersebut.
Melihat ayahnya telah tewas, Putri Mayang Sawitri langsung mencabut keris dengan niat untuk labuh geni (bunuh diri). “Aku lebih baik mati ketimbang dipersunting oleh raja yang telah membunuh ayahku,” gumamnya dengan yakin. Sesaat setelah berucap dan menancapkan keriske perutnya, Putri Mayang Sawitri pun meninggal oleh kerisnya sendiri.
Berbeda dengan rakyat Sindangsari yang berduka, sebaliknya Raja Jayadilaga merasa senang atas kejadian tersebut. Ia merasa telah berhasil membalas kepedihan hatinya yang ditolak oleh Putri Mayang Sawitri. Selain itu, ia pun berhasil memperluas kekuasannya dengan cara menyatukan wilayah kerajaan Margaasih dengan Sindangsari. Selanjutnya Raja Jayadilaga merubah nama Sindangsari menjadi Cigondewa.
“Aku ubah nama Sindangsari menjadi Cigondewa. Wilayah ini pun sekarang menjadi taklukanku,” ujar Raja Jayadilaga di depan seluruh penduduk Sindangsari. Alasan diubahnya nama Sindangsari menjadi Cigondewa, karena setelah peperangan terjadi, Raja Jayadilaga melihat banyak darah berceceran bagaikan air.
Darah tersebut berasal dari tubuh prajurit Sindangsari yang terbunuh oleh panah dan gondewa pasukan Margaasih. Semakin lama, kerajaan Margaasih pun semakin berkembang pesat. Setiap tahun mereka menyerahkan upeti kepada Prabu Siliwangi karena berada di wilayah kekuasaan kerajaan Pajajaran. Nama Cigondewa pun kemudian berubah menjadi Cigondewah, mengikuti pengucapan penduduk setempat.
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja