|
|
|
|
POLOPADANG Tanggal 04 Jan 2021 oleh Sri sumarni. |
Mengapa di Toraja tidak ada buaya?
Semasa kecil, pertanyaan ini sering menjadi bahan cerita di antara kami. Ketika mandi di Sungai Sa’dan, topik ini kadang kami obrolkan sambil menggosoki daki yang menempel di badan dengan batu-batu sungai. Sesekali, puarang (biawak) – yang secara fisik mirip dengan buaya – melintas di seberang sungai. Kami kemudian berlari ketakutan, pulang ke rumah masing-masing. Takut karena meyakini baru saja melihat buaya, juga karena omelan dan (kadang) jeweran yang sudah menanti di rumah. (Mandi di sungai tidak pernah disarankan oleh orangtua kepada kami).
Lalu, kisah ini dilisankan kepada kami. Kisah tentang seorang lelaki yang menempuh perjalanan panjang dari bumi hingga ke langit demi mendapatkan kembali anak lelakinya. Sebuah petualangan yang menjelaskan banyak hal, termasuk mengapa di Toraja tidak ada buaya, juga mengapa orang Toraja tidak boleh mengonsumsi daging tedong bulan (kerbau putih).
Tersebutlah sebuah nama: Polopadang. Seorang lelaki pemilik kebun yang tinggal di daerah Buntu (Bukit) Sarira. Di dalam kebunnya, ada sebuah kolam berair jernih. Polopadang seringkali heran karena buah kaise’-nya – sejenis tumbuhan kecil dengan buah berwarna merah berbentuk seperti buah pinang – yang sudah hampir matang selalu saja dicuri orang. Setahunya, tidak ada binatang apapun yang suka makan kaise’. Ia curiga pasti ada orang yang telah mencurinya. Pagi hari, ketika ia sampai di kebunnya, buah-buah kaise’ yang seharusnya sudah matang sudah tidak ada lagi di tempatnya. Karena kejadian itu berulang-ulang, maka pada suatu malam Polopadang sengaja menginap di kebunnya untuk mencari tahu siapa yang mencuri buah kaise’-nya.
Maka ketika purnama tak terlalu penuh, Polopadang menunggu dengan dada berdebar. Beberapa lama setelah malam memulai durasinya, Polopadang mendengar suara cekikikan dari kejauhan. Polopadang segera mendekati sumber suara dan terkejut ketika mendapati beberapa perempuan sedang asyik bermain sambil mandi di kolam yang terletak di kebunnya. Ia segera bersembunyi di balik pohon. Polopadang terpana menyaksikan perempuan-perempuan cantik yang sedang bercengkerama sambil mengunyah buah-buah kaise’ yang ia yakini adalah kaise’ yang mereka ambil dari kebun miliknya. Melihat rupa wajah mereka, Polopadang menduga perempuan-perempuan itu adalah makhluk dari langit. Sebelumnya, ia tak pernah melihat perempuan penghuni bumi yang memiliki wajah secantik itu. Polopadang lalu melihat setumpuk kain berwarna-warni yang teronggok di permukaan batu, tak jauh dari kolam itu. Polopadang berjalan mengendap-endap ke batu itu dan mengambil salah satu di antaranya.
Ketika perempuan-perempuan itu hendak kembali ke langit, salah seorang di antaranya yang adalah putri bungsu dari khayangan terkejut karena mendapati bajunya sudah hilang. Tak punya pilihan lain, putri bungsu itu kemudian ditinggalkan oleh kakak-kakaknya. Polopadang lalu menghampiri putri bungsu bernama Indo’ Deatanna itu untuk mengembalikan bajunya.
“Ternyata, kamu yang selama ini sudah mencuri kaise’ saya,” ucap Polopadang sambil tersenyum. “Karena kamu sudah mencuri, maka sebagai hukumannya, kamu harus bersedia menjadi istri saya.”
Indo’ Deatanna yang tidak punya alasan apapun untuk membela diri kemudian menerima tawaran Polopadang. “Apa boleh buat karena saya memang mencuri kaise’-mu. Namun, saya ingin mengajukan syarat. Kamu harus berjanji untuk tidak mengucapkan kata-kata kasar atau makian jika sudah menikah dengan saya.”
Singkat cerita, Polopadang kemudian menikah dengan Indo’ Deatanna. Tak lama kemudian, mereka memiliki seorang anak lelaki yang diberi nama Paerunan. Suatu ketika, Paerunan bermain dengan gasing emasnya di halaman rumah. Saat itu, Polopadang sedang membelah kayu tak jauh dari tempat Paerunan bermain. Sementara, Indo’ Deatanna sedang menenun di teras rumah. Tiba-tiba, Paerunan melemparkan gasing emas itu dan mengenai mata kaki Polopadang. Karena terkejut, Polopadang spontan mengumpat.
“Buaya! Pepayu! (kata makian kasar dalam bahasa Toraja) Gasing emasmu mengenai mata kakiku, Paerunan!” Polopadang mengelus mata kakinya yang terasa sakit terkena gasing emas milik Paerunan.
Mendengar umpatan itu, Indo’ Deatanna segera berhenti menenun dan meninggalkan kain tenun yang belum selesai. Ia berjalan menghampiri Paerunan lalu tanpa pamit ia meninggalkan Polopadang dan membawa Paerunan ke langit. Mereka meniti pelangi kembali ke tempat tinggal Indo’ Deatanna di langit.
Polopadang segera menyadari kesalahannya. Ia teringat janji yang ia ucapkan sebelum menikah dengan Indo’ Deatanna untuk tidak mengucapkan kata-kata kasar. Polopadang sungguh menyesal lalu bertekad untuk datang ke langit meminta maaf sekaligus mengajak Indo’ Deatanna dan Paerunan kembali ke bumi.
Namun, Polopadang hanyalah manusia biasa. Ia tak bisa meniti pelangi untuk menuju ke langit. Satu-satunya jalan adalah berjalan menuju cakrawala agar bisa memanjat ke langit. Pertama, Polopadang bermaksud untuk menuju ke tepi laut. Ia berjalan menuruni bukit dan lembah, namun tepi laut tak kunjung tampak. Ia lalu menangis. Sesekor kerbau putih kemudian muncul dan bertanya kepada Polopadang.
“Apakah gerangan yang membuatmu menangis?” tanya kerbau bule itu.
“Anakku, Paerunan dibawa oleh ibunya ke langit. Saya bermaksud mencarinya dan membawanya kembali. Untuk itu, saya ingin menuju ke tepi laut.”
Kerbau putih itu lalu menawarkan diri untuk membawa Polopadang ke tepi laut. “Tapi kamu harus berjanji bahwa kelak keturunanmu tidak boleh memakan daging keturunanku.” Kerbau putih itu mengajukan syarat yang disepakati oleh Polopadang.
Sampai di tepi laut, Polopadang hendak menyeberang namun tak kuasa melihat lautan yang mahaluas. Ia menangis lagi. Seekor buaya putih datang menghampiri lalu bertanya, “Kenapa kamu menangis, Polopadang?’
“Saya ingin menyeberang ke seberang lautan untuk mencari anak saya, Paerunan, yang dibawa oleh ibunya ke langit.”
Buaya putih itu lalu menyuruh Polopadang naik ke punggungnya dan membawanya menyeberangi lautan menuju ke kaki langit. Sebelumnya, mereka berdua mengikat janji bahwa keturunan Polopadang tidak boleh menyiksa keturunan buaya, dan sebaliknya keturunan buaya tidak akan mengganggu keturunan Polopadang. Karena janji inilah, buaya kemudian tidak pernah ditemukan di Toraja, tempat keturunan Polopadang beranak pinak.
Ketika matahari hampir terbenam, Polopadang sampai di kaki langit. Ia meminta tolong kepada matahari untuk membawanya ke langit setelah menceritakan niatnya untuk mencari Paerunan.
“Saya tidak bisa membawamu ke langit karena tubuhmu pasti akan meleleh,” tolak matahari dengan sopan. “Tunggulah bulan yang sebentar lagi akan datang.”
Maka ketika malam datang, Polopadang menunggu bulan yang kemudian muncul menggantikan matahari. Seperti yang ia sampaikan kepada matahari, Polopadang kemudian meminta tolong kepada bulan untuk membawanya ke langit.
“Saya bisa membawamu ke langit, tapi apakah kamu tahan dengan bau busuk dari tubuh saya?” tanya bulan kepada Polopadang. (mengacu kepada gerhana yang dalam bahasa Toraja disebut bosi bulan: ‘bulan busuk’).
“Tidak menjadi masalah asalkan kamu bisa membawa saya ke langit.” Polopadang menyanggupi.
Maka, berangkatlah Polopadang ke langit menumpangi bulan. Ketika bosi bulan tiba, sang bulan menyuruh Polopadang untuk memukul bagian punggungnya. Sesuatu yang kelak, diikuti oleh keturunan Polopadang ketika gerhana tiba dengan cara menumbuk lesung kosong menggunakan alu.
Sesampainya di langit, Polopadang heran melihat banyak sekali perempuan yang lalu lalang sambil membawa lampa (bumbung; perian: tabung bambu untuk mengambil air). Ia lalu bertanya kepada salah satu perempuan itu.
“Apa kamu tidak tahu kalau Indo’ Deatanna telah kembali dari bumi? Air ini akan dipakai untuk memandikan Paerunan, anak lelakinya,” jawab perempuan itu heran.
Polopadang merasa lega. Pencariannya tak sia-sia karena ternyata ia sudah sampai di tempat anak lelakinya berada. Ia lalu menceritakan maksud kedatangannya ke langit untuk mencari Paerunan. Berita segera tersebar di langit. Tersiar kabar bahwa seorang lelaki yang mengaku sebagai ayah Paerunan datang untuk mengambil kembali anaknya. Indo’ Deatanna yang ikut mendengat berita itu segera menyembunyikan Paerunan. Ia membawa Paerunan masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya rapat-rapat. Dari luar, rumah itu tampak tak berpintu. Hanya orang-orang di langit lah yang bisa melihat pintu masuk ke rumah itu. Namun, para penghuni langit tidak mengetahui jika Polopadang adalah manusia yang berasal dari bumi. Indo’ Deatanna juga menitipkan pesan kepada orang-orang di langit untuk mencelakai Polopadang jika ia bermaksud mengambil Paerunan.
Ketika mengutarakan niatnya untuk mengambil Paerunan, para penghuni langit menyuruh Polopadang untuk mengambil air menggunakan buria’ (keranjang dari bambu yang dianyam tidak rapat sehingga berlubang-lubang).
Demi rasa rindu pada anak lelakinya, juga rasa bersalah pada istrinya, Polopadang menyanggupi permintaan itu meskipun ia tahu ia telah dipermainkan. Ketika ia menitikkan air mata sambil menampung air yang tak kunjung penuh dalam buria’, seekor masapi (mua: sejenis belut berukuran lebih besar yang bertelinga dan hidup di air tawar) muncul di permukaan air.
“Kenapa kamu menangis, Polopadang?” tanya masapi itu.
“Saya ingin mengambil kembali anak saya, Paerunan, namun terlebih dahulu saya harus memenuhi buria’ ini dengan air.”
Masapi itu segera menghibur hati Polopadang yang sedih. Ia menawarkan bantuan kepada Polopadang. Masapi itu melepaskan lendir yang melapisi kulitnya untuk menutupi lubang-lubang buria’. Dengan bantuan masapi itu, Polopadang akhirnya bisa memenuhi permintaan para penghuni langit untuk mengisi penuh buria’ dengan air. Namun, Paerunan belum diserahkan kepada Polopadang.
Setelah berhasil mengisi air ke dalam buria’, para penghuni langit mulai meyakini kalau Polopadang adalah seorang dewa. Mereka lalu mengajukan syarat baru. Polopadang diminta untuk menebang sebuah pohon beringin besar dengan menggunakan pisau kecil. Polopadang menyanggupi permintaan itu. Dengan tekad penuh dan semangat yang berkobar-kobar demi mendapatkan kembali Paerunan, ia mulai menusukkan pisau kecil yang diberikan oleh penghuni langit ke pohon beringin besar itu. Namun, tak sedikit pun beringin itu tergores, bahkan kulitnya sekalipun. Polopadang menghempaskan tubuhnya lalu mulai menangis. Seekor tabuan (lebah) mendengar tangisan Polopadang lalu datang mendekat. Ketika mendengar penuturan Polopadang tentang maksud kedatangannya ke langit, lebah itu kemudian memanggil teman-temannya untuk membantu Polopadang. Perlahan-lahan, mereka menggerogoti pangkal pohon beringin hingga akhirnya tumbang. Namun lagi-lagi, Polopadang belum dibolehkan untuk mengambil Paerunan.
Syarat baru diajukan. Polopadang harus bisa memakan habis bite’ (keladi) yang terhampar di sebuah lembah yang luas. Baru sebutir keladi tuntas ia habiskan, Polopadang mulai merasa sekujur tubuhnya gatal. Ia menggaruk-garuk seluruh tubuhnya sambil menangis meraung-raung. Seekor babi hutan yang sedang melintas di tempat itu mendengar tangisan Polopadang lalu bertanya, “kenapa kamu menangis sambil menggaruk badan?”
Polopadang lantas menceritakan permintaan para penghuni langit untuk menghabiskan keladi sebanyak satu lembah agar ia bisa mengdapatkan kembali Paerunan. Babi hutan itu memanggil kawan-kawannya dan dalam sekejap menghabiskan semua keladi yang ada di lembah itu.Polopadang menenui para penghuni langit dengan muka berseri-seri. Ia yakin ia akan segera bertemu dengan Paerunan.
Ketika sampai di halaman rumah di mana Paerunan disembunyikan, seorang tetua adat menyambut Polopadang. Dengan santai ia berkata kepada Polopadang, “meskipun kamu telah menghabiskan keladi sebanyak satu lembah, namun untuk membawa pulang Paerunan, kamu harus sanggup mengumpulkan kembali bua ba’tan’ sebanyak 7 bakul ini.” Lelaki tua itu kemudian menghamburkan jawawut (sejenis biji-bijian berukuran kecil yang sering dijadikan makanan burung) di halaman rumah. “Tak boleh ada sebiji pun yang tertinggal!” lelaki tua itu menambahkan.
Polopadang terpana melihatnya. Ia sungguh tak menyangka kalau ujian yang diberikan kepadanya masih belum berakhir. Belum sempat mengajukan protes, lelaki itu sudah berlalu meninggalkan Polopadang. Tak punya pilihan lain, Polopadang segera mengumpulkan biji jawawut yang tersebar di halaman rumah. Dengan susah payah, ia memunguti biji jawawut itu satu per satu dan mengumpulkannya ke dalam bakul. Belum penuh sebakul, Polopadang mulai tampak pasrah. Halaman rumah yang dipenuhi dengan bebatuan yang berselang-seling dengan rumput tebal dan tanah becek membuatnya sangat kesulitan mengumpulkan biji-biji jawawut itu. Ia kemudian menangis terisak-isak. Seekor burung pipit yang terbang melintas di tempat itu mendengar tangisannya lalu hinggap di pundak Polopadang. Setelah mengetahui kesulitan yang dihadapi oleh Polopadang, burung pipit itu memanggil kawan-kawannya untuk membantu Polopadang.
“Tetua adat di sini mewajibkan untuk memenuhi kembali 7 bakul ini,” pesan Polopadang kepada burung pipit. Setelah sekawanan burung pipit itu selesai mengumpulkan biji-biji jawawut, Polopadang heran karena jumlahnya kurang dari 7 bakul. Ia lalu bertanya kepada burung pipit, “Adakah kamu memakan biji jawawut hingga jumlahnya kurang?”
Burung pipit itu mengatakan tidak dan bersumpah jika mereka memakan biji jawawut hingga jumlahnya kurang maka perut mereka akan berpindah ke leher. Polopadang tak percaya. Tanpa sepengetahuan burung pipit, ia mengetuk leher burung pipit itu dengan perlahan dan seketika keluarlah biji-biji jawawut dari perut burung pipit. Kelak, keturunan burung pipit memiliki tembolok di bagian leher sebagai kutukan atas sumpah yang keluar dari mulut mereka sendiri.
Setelah mengembalikan 7 bakul berisi jawawut kepada tetua adat tadi, Polopadang belum juga dibolehkan menemui Paerunan. Sebuah tugas baru menanti. Polopadang diminta untuk mengalirkan air ke halaman rumah sehingga penduduk di sekitar tempat itu tak perlu lagi jauh-jauh ke mata air di puncak gunung untuk mengambil air. Dengan dibekali sebuah linggis, Polopadang mulai mencari-cari mata air yang sekiranya berada di sekitar tempat itu. Namun, mata air itu tak kunjung ketemu. Seekor kepiting menghampiri Polopadang dan bertanya mengapa Polopadang tampak muram dan membawa linggis ke mana-mana. Polopadang lalu menceritakan kesulitan yang ia alami keapada kepiting itu yang kemudian menawarkan bantuan. “Saya akan pergi ke puncak gunung untuk melubangi mata air yang di sana hingga sampai ke tempat ini. Nanti, kalau ada bagian tanah yang bergerak, segera tancapkan linggis itu.” Begitu pesan si kepiting. Maka, beberapa lama kemudian, ketika Polopadang melihat ada bagian tanah yang bergerak, ia segera menancapkan linggis yang ada di tangannya ke dalam tanah. Air menyembur dari dalam tanah. Tanpa ia sadari, linggis itu mengenai punggung si kepiting. Beruntung, cangkang kepiting yang keras melindungi tubuhnya sehingga tidak sampai terbelah. Karena kejadiam itu, keturunan kepiting memiliki semacam garis di bagian punggungnya.
Para penghuni langit mulai kehabisan akal untuk mencelakakan Polopadang. Semua ujian yang mereka berikan, dapat diatasi Polopadang. Karena tak menemukan muslihat lain untuk memperdaya Polopadang, mereka kemudian menyuruh Polopadang untuk mencari sendiri Paerunan di dalam rumah yang sebelumnya sudah dikunci rapat-rapat oleh istrinya, Indo’ Deatanna.
Polopadang mengitari rumah itu untuk mencari pintu masuk. Karena tak memiliki daya lihat yang sebanding dengan orang-orang yang ada di langit, Polopadang kesulitan menemukan pintu di rumah itu. Di matanya, seluruh dinding rumah itu sama saja. Tak ada bagian bercelah yang menandakan adanya pintu ataupun jendela. Polopadang mulai menangis lagi. Seekor tikus kemudian datang bertanya kepadanya. “Apakah gerangan yang membuatmu menangis, Polopadang?”
“Saya ingin bertemu dengan anak saya, Paerunan, yang disembunyikan di dalam rumah. Namun, saya tak melihat ada pintu masuk ke dalam rumah ini,” jawab Polopadang pasrah. Tikus itu kemudian menawarkan bantuan kepada Polopadang untuk menemukan pintu masuk ke dalam rumah. Ia mengendus seluruh dinding luar rumah hingga akhirnya menemukan sebuah celah yang ternyata merupakan pintu masuk yang tak tampak oleh mata manusia bumi. Dengan petunjuk tikus itu, Polopadang kemudian berhasil masuk ke dalam rumah.
Gelap gulita menyambutnya. Tak tampak sedikit pun cahaya dalam ruangan itu. polopadang memanggil-manggil Paerunan, namun tak ada jawaban. Setelah beberapa lama, sebuah suara yang sangat ia kenali menyapa Polopadang. “Kalau kamu memang benar-benar menyesali perbuatanmu mengucapkan katakata kasar di bumi, maka kamu harus bisa menemukan saya di dalam kegelapan.” Ternyata suara Indo’ Deatanna. Maka, berjalanlah Polopadang dalam ruangan itu sambil meraba-raba. Baru beberapa langkah, tangannya menyentuh badan seseorang. Polopadang segera memeluknya dan bertanya, “Apakah kamu adalah ibu dari Paerunan?”
“Kamu memilih perempuan yang keliru,” suara Indo’ Deatanna dari kejauhan. Polopadang segera melepaskan pelukannya. Ia meraba-raba lagi dalam kegelapan dan perlahan menyadari kalau di dalam ruangan itu ternyata ada banyak perempuan selain istrinya. “Kamu punya 2 kesempatan lagi untuk menemukan saya. Kalau kamu keliru, maka kamu harus segera kembali ke bumi tanpa saya dan Paerunan,” sambung Indo’ Deatanna. Tak seperti Polopadang yang kehilangan daya lihat dalam kegelapan, Indo’ Deatanna, seperti juga penghuni langit lainnya, dengan mudah bisa melihat posisi Polopadang.
Polopadang berjalan lagi mengitari ruangan itu. Ia memercayakan instingnya untuk menemukan Indo’ Deatanna. Di sebelah seorang perempuan yang ia duga adalah istrinya, Polopadang berhenti beberapa lama. Ia bermaksud meyakinkan diri jika perempuan yang berdiri di sampingnya itu adalah Indo’ Deatanna. Ia menguji suara batinnya. Setelah yakin, ia menyentuh badan perempuan itu dengan lembut sambil memohon, “Ampunilah kesalahanku. Saya berjanji tidak akan mengulangi lagi mengucapkan kata-kata kasar. Kembalilah ke bumi bersamaku dan Paerunan.”
Tak ada jawaban. Polopadang menungu sambil meraba-raba tubuh perempuan itu. Setelah beberapa lama, akhirnya ia sadar telah melewatkan satu kesempatan lagi. Sesuai syarat yang tadi diajukan Indo’ Deatanna, maka Polopadang hanya memiliki satu kesempatan lagi. Dalam situasi seperti itu, Polopadang akhirnya pasrah dan menyerahkan nasibnya kepada takdir.
Mendadak, dari seberang ruangan muncul seekor kaluppepe’ (kunang-kunang). Sedari tadi, ia telah mengetahui apa yang sedang terjadi. Kunang-kunang itu kemudian membisikkan sesuatu kepada Polopadang. Ia terbang mengitari seluruh ruangan dan berhenti di atas kepala seorang perempuan. Dari kejauhan Polopadang melihatnya sebagai cahaya yang berkelap-kelip. Cahaya itu tidak bergerak ke mana-mana yang merupakan pertanda yang tadi dibisikkan oleh kunang-kunang. Polopadang segera berlari ke tempat itu dan memeluk tubuh Indo’ Deatanna yang telah ditandai oleh kunang-kunang dengan cahaya kelap-kelip.
Polopadang kemudian berhasil bertemu kembali dengan istrinya dan juga anak lelakinya. Mereka kembali ke bumi dan hidup dalam penuh kedamaian. Polopadang tak lagi pernah mengucapkan katakata kasar sepanjang hidupnya karena tak ingin ditinggalkan lagi oleh anak dan istrinya.
Dirangkum dari berbagai sumber (lisan maupun tulisan). Bandung, 11 Maret 2011 RAMPA' MAEGA (PENULIS NOVEL LANDORUNDUN) Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam bentuk ebook oleh patheticnumber1.blogspot.com (dulunya rumahgambar.com)
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |