Mendu ialah tradisi kolektif berbentuk teater rakyat yang mengandung perpaduan unsur musik Melayu, tari, lagu, syair, dialog, pencak silat, dan banyolan/humor di dalam pementasannya. Mendu tidak hanya memainkan cerita Dewa Mendu. Cerita yang ditampilkan bersifat istana sentris. Biasanya diangkat dari dongeng, legenda, hikayat seribu satu malam, serta cerita lama. Jarang sekali, bahkan tidak pernah menampilkan kehidupan sehari-hari. Kesenian Mendu menjadi media pendidikan dengan menyampaikan nilai-nilai luhur sehingga setiap pementasannya selalu berakhir dengan kemenangan pihak yang benar terhadap kebatilan. Merujuk penuturan beberapa seniman Mendu di Kalimanatan Barat dan berbagai referensi yang penulis temukan saat meneliti kesenian ini di sana, nama kesenian Mendu berasal dari hikayat Dewa Mendu yang dimainkan oleh para pencetus kesenian tersebut. Konon mereka bingung memberikan nama pada kesenian yang akan mereka tampilkan. Karena cerita yang pertama kali mereka pakai untuk latihan dan akan dipentaskan itu berjudul Dewa Mendu, mereka pun akhirnya menamakan kesenian ini ‘Mendu’. Kesenian Mendu tidak hanya ada di Kalimantan Barat dan Kepulauan Riau, tetapi juga di Malaysia. Mendu Riau mendapat pengaruh dari bangsawan, sedangkan Mendu Malaysia ialah sinonim dari Wayang Parsi. Bentuk penyajian Mendu di Malaysia pada akhir abad yang lalu mungkin cukup banyak bedanya dengan yang di Riau ataupun Kalimantan Barat. Berkaitan penelitian yang telah penulis lakukan, ditemukan ada tiga versi asal-usul kesenian Mendu di Kalimantan Barat. Versi pertama menyatakan kesenian ini bermula dan dikembangkan pada 1712 yang dapat ditemukan dalam buku Ungkapan Beberapa Bentuk Kesenian (Teater, Wayang, dan Tari) yang diterbitkan Direktorat Kesenian Proyek Pengembangan Kesenian Jakarta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Versi kedua pada 1871 yang diungkapkan oleh Ellyas Suryani bin Soren (2003) dan Sataruddin Ramli (2000). Versi ketiga pada 1876 yang terdapat di dalam laporan Bidang Kesenian Kantor Wilayah Provinsi Kalbar Depdikbud Proyek Pengembangan Kesenian Kalbar (1983—1984). Kesenian Mendu yang ada di Kalimantan Barat berasal dari Kabupaten Mempawah, terpusat di Desa Malikian, Kecamatan Mempawah Hilir. Kehidupan kesenian ini memiliki pasang surut. Setelah mengalami masa kejayaan pada 1876–1941, pamor kesenian ini mengalami kemunduran bahkan mati suri pada masa penjajahan Jepang (1942). Pada dekade 1980-an, kesenian ini bangkit bahkan jadi primadona di dunia hiburan rakyat. Selain sebagai media hiburan, Mendu juga dapat berfungsi sebagai media penyampai pesan pembangunan, seperti program pendidikan, keluarga berencana, dan sebagainya. Kebangkitan kesenian ini tidak lepas dari peran aktif pemerintah mengadakan diskusi dan sarasehan yang melibatkan beberapa tokoh muda dari kelompok teater modern yang ada di kota maupun kabupaten Pontianak untuk menggali dan menghidupkan kembali Mendu pada penghujung 1970-an. Mereka bertekad untuk memelihara seni tradisional daerahnya, khususnya Mendu dan berusaha mengembangkannya sehingga muncul banyak sanggar Mendu di Provinsi Kalimantan Barat. Berbagai upaya penyebarluasan kesenian ini antara lain juga dilakukan dengan mengikutsertakan Mendu pada berbagai festival. Selain itu, mereka juga mengupayakan agar kesenian ini tampil di televisi (TVRI) melalui. Pemerintah Kalbar juga berupaya menampilkan kesenian ini di luar pulau, yaitu di Taman Budaya Yogyakarta pada 2005. Kini perlahan penampilan Mendu pun tidak lagi menjadi sesuatu yang asing meskipun masih belum sepopuler pada masa jayanya dulu. Meskipun banyak seniman Mendu yang telah wafat dan hanya beberapa yang masih hidup dan aktif berkesenian, seperti Budi KK, Ilham, Jerry, dan Kamel, pertunjukan kesenian ini tetap dapat ditemukan. Biasanya pertunjukannya digarap oleh para seniman muda. Tata pertunjukan Pertunjukan Mendu diawali dengan bunyi pluit ditiup panjang sebanyak 3 kali dan diikuti dengan bunyi gong tunggal yang juga dipukul sebanyak 3 kali. Setelah itu disusul bunyi tetabuhan, yang dilanjutkan bunyi biola untuk mengiringi pemain/penyanyi solo membawakan lagu Bismillah sebagai lagu pembuka pertunjukan. Setelah itu dilanjutkan dengan penampilan tari dan lagu Beladon oleh beberapa orang pemain/aktor. Mereka keluar satu per satu atau berpasangan dengan gerak tari dan pencak silat mengikuti irama tetabuhan. Mereka tampil berjajar di depan untuk menyayikan lagu Beladon sambil menari. Selanjutnya para pemain pun meninggalkan pentas, kecuali mereka yang berperan di adegan awal pertunjukan tetap berada di atas panggung. Waktu pertunjukan Mendu tergantung kepada permintaan pihak penyelenggara dan respons penonton. Pada zaman dahulu penampilan Mendu bisa lebih dari empat jam. Akan tetapi, kini dipersingkat menjadi 45-90 menit. Adapun bahasa yang digunakan ialah bahasa Melayu yang disesuaikan dengan kondisi dan biasanya bercampur dengan bahasa Indonesia. Adegan di dalam cerita banyak dilakukan secara spontan, improvisasi yang disertai humor, terutama yang diperankan oleh tokoh Khadam dan Mak Miskin. Dalam pertunnjukan biasanya disisipkan dialog/pesan berupa nasihat dan pendidikan budi pekerti. Penampilan Mendu ditutup dengan lagu dan tari Beremas. Semua pemain tampil berjajar menghadap penonton dan mendendangkan lagu sambil menari. Beremas juga sebagai ungkapan rasa terima kasih para pemain kepada penonton sekaligus permohonan maaf apabila terdapat kesalahan-kesalahan yang mungkin saja mereka lakukan tanpa sengaja.
Sumber: https://mediaindonesia.com/tradisi/416321/mendu-seni-tradisi-melayu-di-kalimantan-barat
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja