Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita rakyat Sulawesi Selatan Sinjai
Legenda karampuan sinjai sulawesi barat
- 6 Februari 2021

Sebuah legenda beredar dari kaki Gunung Karampuang, Kabupaten Sinjai,  Sulswesi Selatan. Legenda tentang seorang manusia sakti bernama To Manurung yang turun dari langit dan memberikan sejumlah pesan dan pengetahuan baru bagi warga desa: tentang tatanan hidup sederhana dan pentingnya kebersamaan. Pengetahuan itu hingga kini masih ditaati para pengikutnya yang hidup mengucilkan diri di sebuah desa adat yang disebut Karampuang. 

Desa yang terletak sekitar 31 kilometer dari pusat Kota Sinjai ini, memang mencerminkan suatu desa tradisional yang ketat memegang teguh amanah para leluhur. Konon, asal kata dari Karampuang tersebut diambil dari kata Karaeng dan Puang. Penamaan ini akibat dijadikannya lokasi itu sebagai pertemuan antara Kerajaan Gowa (Karaeng) dan Kerajaan Bone (Puang). Dalam legenda Karampuang juga dikisahkan bahwa asal mula adanya daratan di Sinjai berawal dari Karampuang. Dahulu daerah ini adalah wilayah lautan sehingga yang muncul ke permukaan adalah beberapa daerah saja, termasuk Karampuang. Yang muncul itu dinamakan cimbolo, yakni daratan yang timbul seperti tempurung di atas permukaan air. Di puncak cimbolo muncul To Manurung yang akhirnya digelar Manurung Karampulue (seseorang yang karena kehadirannya menjadikan bulu kuduk berdiri).

Dengan lokasi terpencil di tengah bukit berbatu, Karampuang menjadi daerah yang jarang dijamah pengaruh luar. Tak heran, kondisi seperti ini juga menyebabkan warga tak pernah berniat mengubah tatanan yang sudah ada dengan arus perkembangan begitu cepat di luar desa mereka. Tradisi lama masih mereka pegang. Tatanan baru tak mengubah tatanan lama dan kehidupan yang penuh kesederhanaan tak pernah mereka tinggalkan. Karampuang adalah sebuah desa adat yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip manajemen sebuah kerajaan. Ada raja, perdana menteri, dan beberapa menteri. Karampuang dipimpin seorang Pamatoa yang berfungsi sebagai raja, Panggela sebagai Perdana Menteri, Sangro atau dukun sebagai menteri kesehatan dan kesejahteraan. Kemudian ada Guru yang bertindak sebagai menteri pendidikan dan keagamaan.

Kendati begitu, di kerajaan ini tak akan ditemukan istana yang megah dan gemerlap layaknya kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi maupun di daerah lainnya. Istana hanya berupa dua rumah panggung beratap rumbia. Satu di antaranya menjadi tempat tingal Pamatoa dan yang lainnya menjadi kediaman Panggela dengan beberapa kamar yang menjadi hak Sangro dan Guru serta Ana Malolo yang bertugas sebagai Pabicara atau juru bicara alias menteri penerangan. Kesederhanaan juga tampak dari penampilan para raja dan pejabatnya yang hampir tak bisa dibedakan dengan warga biasa. Bagi mereka, fungsi lebih penting ketimbang sekedar simbol-simbol yang menunjukkan hirarki sosial. Sederhana, memang.

Kegiatan menonjol di komunitas Karampuang adalah pembacaan ayat-ayat suci Alquran yang digelar setiap malam Jumat. Biasanya menjelang malam, ayat-ayat Alquran akan mengalun dari sebuah rumah adat yang ditinggali oleh Panggela Mangga. Bagi warga Karampuang, Jumat adalah hari istimewa. Apalagi, ketika jagung telah dipetik dan sawah mulai dibasahi. Ini pertanda bagi mereka untuk memulai menanam padi. Saat seperti itulah, sebagai umat muslim mereka mempunyai kewajiban berkumpul untuk membacakan doa dan puji-pujian kepada Allah SWT pada malam menjelang mereka mulai menggarap sawah.

Malam Barjanji. Demikian mereka menyebut acara tersebut. Acara itu dipimpin Guru dan dihadiri hampir seluruh pejabat dan warga Karampuang. Pamatoa yang dianggap orang suci dibebaskan dari urusan-urusan kemasyarakatan. Untuk urusan seperti ini, Guru dan Ana Malolo-lah yang banyak berperan. Pamatoa dan Panggela lebih mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan pelanggaran adat.

Memang ada satu pejabat yang juga tak terlihat di forum ini yakni Sangro yang bertugas sebagai menteri kesehatan dan kesejahteran. Namun, Sangro bukannya tak ada. Tapi, malam ini justru Sangro harus bertugas mempersiapkan masakan bagi para tamu dan tugas itu dilakukannya di dapur sebagai menteri kesejahteraan. Sangro memang kerap dijabat oleh seorang wanita.

Barjanji sebenarnya mengandung makna sebagai sebuah permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar yang akan dilakukan esok hari mendapatkan hasil baik. Barjanji telah menjadi tradisi bagi warga Karampuang untuk memulai setiap tahap kegiatan yang dilakukan secara kolektif. Namun, Malam Barjanji bukan sekadar malam untuk berdoa. Malam Barjanji juga menjadi malam untuk berkumpul makan besar sambil membicarakan berbagai masalah mereka, termasuk arisan adat untuk menentukan tanah yang akan digarap esok hari. Sebagai komunitas kecil dengan sumberdaya yang terbatas, satu petak sawah di Karampuang kerap dikerjakan seluruh warga desa laki-laki dengan sistem arisan bergilir. Kali ini dua warga mendapatkan kesempatan pertama untuk digarap sawahnya.

Sesuai kesepakatan, pada pagi harinya seluruh warga bersama-sama pergi ke sawah. Namun, sawah di Karampuang terletak di lembah di antara bukit berbatu. Kondisi ini membuat warga sulit membuka lahan persawahaan. Sebidang tanah kecil harus mereka dapatkan dengan kerja keras bertahun-tahun hanya untuk sekadar menyisihkan kerikil-kerikil batu yang berserakan.

Dipimpin Panggela, seluruh kaum lelaki di sana bekerja seharian untuk mengolah sawah. Semua tenaga dikerahkan, termasuk sapi dan kerbau yang menjadi milik adat. Di saat para kaum laki tengah bersawah, kaum Hawa di sana hanya berdiam di rumah. Seusai mempersiapkan bekal bagi kaum Adam di sawah, para perempuan meluangkan waktu dengan bersantai di rumah. Berbeda dengan kediaman Panggela, di rumah ini, dalam bimbingan Sangro para wanita kembali mempersiapkan berbagai makananan untuk acara yang diberi nama Petik Jagung pada malam harinya.

Ketika matahari mulai terbenam, para lelaki pulang ke rumah. Setelah melepas lelah, mereka kembali berkumpul di kediaman Panggela untuk melaksanakan acara Petik Jagung. Acara ini sebenarnya bukan ritual yang sarat dengan unsur religius. Namun, acara ini sekadar hiburan bagi mereka yang seharian bekerja keras di sawah. Acara ini juga sekaligus untuk mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan. Uniknya, wujud syukur ini dilakukan dengan cara bernyanyi sambil membelai-belai jagung. Acara ini juga menjadi forum sosial dalam membagi hasil jagung kepada warga dan pejabat kerajaan.(ORS/Potret)

Ade” karampuang ko bulu”he Sinjai

KARAMPUANG.

Adalah kawasan adat di kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, yang tidak banyak dikenal luas. Namun ternyata, Karampuang adalah sebuah desa yang sudah ada sejak puluhan ribu tahun lalu, hal ini dapat kita lihat dari Berbagai situs peninggalan sejarah leluhur orang karampauang, yang menjadi misteri dan belum dapat terungkap sepenuhnya. 

Dengan menempuh perjalanan sekitar satu jam dari pusat kota kabupaten sinjai, dimana desa karampuang letaknya berada di bebukitan yang ketianggianya sekitar seribuh meter dari permukaan laut.

Desa karampuang yang hanya di huni sekitar 70 kepala keluarga, dimana masyarakatnya begitu, mengutamakan hidup harmonis.

Masyarakat adat Karampuang cenderung masih sangat tertutup, Bagi mereka dunia luar bisa merusak adat dan tradisi yang mereka jaga selama puluhan ribu tahun.

Karampuang adalah desa purba yang sudah ada sejak zaman megalitik atau zaman batu, sebagai Bukti adalah goresan Situs purba bernama Manusia Kangkang.

Selain itu terdapat Kolam tua di desa karampuang, dimana kolam itu digunakan untuk memandikan balita, yang diyakini masyarakat karampuang, bila air melimpah dikolam, maka warga akan berebut memandikan bayinya, karena airnya akan membawa berkah.

Di desa karampuang juga terdapat ribuan makam purba yang usianya suda puluhan ribu tahun, serta situs yang dikeramatkan yaitu situs batu lapa, dimana masyarakat karampuang menyakini jika manusia pertama dibumi ini adalah berasal dari karampuang.

Konon ceritanya puluhan ribu tahun lalu, sosok seorang wanita atau dewi, yang disebut dengan to manurung, membuat satu istana dan membentuk masyarakat adat karampuang, setelah itu sang wanita “to manurung” kembali kelangit dimana awalnya ia berasal.

Mitos to manurung itulah, yang terus dipertahankan oleh masyarakat adat karampuang, dan dijadikan sebagai pemacu semangat sumber penggerak kehidupan mereka.

Kendati sudah berusia 14 abad, Toma Toa “rumah tua” masih berdiri kokoh. Seluruh kegiatan pemerintahan di Karampuang berpusat di rumah yang mereka sangat sakralkan ini.

Berbeda dengan rumah adat Bugis pada umumnya, yang lebih menonjolkan sifat ke laki-lakian, sebaliknya Toma Toa melambangkan keangunan dari sosok perempuan. Masyarakat Karampuang adalah matrilinial. Sesuatu yang unik dan langka di Sulawesi Selatan.

Begitu sakralnya rumah ini, bila ingin memperbaiki Toma Toa, mereka harus melakukan ritual tertentu. Tidak sebarang orang bisa tinggal di Toma Toa. Hanya pemangku adat.

Arung adalah pemimpin masyarakat adat Karampuang yang berhak tinggal di Toma Toa. Ia sangat disegani dan hanya sesekali berbicara.

Karena sepatah kata yang keluar dari mulutnya adalah kebijakan yang harus ditaati. Tentunya Arung tidak boleh cacat moral. Arung tidak sendiri dalam memimpin. Ia dibantu 3 pemangku adat lain, Salah satunya Gella.

Dimana Gella tinggal tidak jauh dari Toma Toa, bila Arung adalah raja, maka Gella adalah perdana menteri yang juga bertanggung jawab, soal hukum dan peradilan di Karampuang.

Di tangan Gella, ketertiban Karampuang terjaga. Ia tidak segan menghukum siapapun yang melanggar aturan adat yang berlaku.

Ada dua lagi yakni Sandro dan Guru. Sandro harus dijabat seorang wanita. Dialah yang mengatur soal kesejahteraan rakyat. Selain Sandro ada juga Guru yang mengatur soal pendidikan.

Keempat pemangku adat inilah yang mengatur jalan roda kehidupan di Karampuang. Mereka sangat dihormati, namun juga bertindak bijaksana. Masyarakat Karampuanglah yang memilih mereka dan pada waktu tertentu masyarakat pula yang akan menggantinya. Biasanya 40 tahun sekali.

Setiap memasuki musim tanam padi, masyarakat Karampuang menggelar hajatan besar yang mereka namakan mapugao hanuai, hajatan menyambut masa bercocok tanam setelah mereka menikmati panen berlimpah.

MARIMPA SOLO

Tardisi yang di beri nama marimpa salo, dimana tradisi marimpa salo digelar untuk merayakan panen hasil laut. Tradisi marimpa salo digelar masyarakat yang bermungkim di daerah pesisir pantai sinjai utara, dan sinjai timur, dimana setiap tahunya mereka mengelar acara tradisi menghalau ikan dari hulu hingga ke muara sungai.

Saat perayaan marimpa solo digelar, juga dibarengi dengan pementasan tari appadekko yang menggambarkan ritual masyarakat nelayan, menikmati hasil tangkapan ikan, selain itu juga diselingi dengan ketangkasan adu silat, sebagai ungkapan kegembiraan masyarakat pesisir, setelah mereka menikmati hasil tangkapan selama setahun mereka berjuang mencari nafkah di lautan lepas.

Kabupaten sinjai yang dihuni oleh komunitas suku bugis, memiliki banyak aneka ragam tradisi adat dan budaya, serta di hiasi beberapa lokasi objek wisata, diantaranya sembilan pulau kecil yang tersebar di perairan laut sinjai.

Selain itu juga terdapat objek wisata situs purbakala yang lokasinya berada di bebukitan, yaitu objek wisata gojeng atau batu page, dimana terdapat banyak batu situs peninggalan raja-raja, dan didukung dengan keindahan panorama alam yang selama ini dijadikan sebagai objek wisata, selain itu kabupaten sinjai. juga didukung dengan kekayaan hasil laut, serta hasil pertanian dan perkebunan. (sumber:http://portalbugis.wordpress.com)

Sumber : http://amrulgunper82.blogspot.com/2014/01/legenda-karampuan-sinjai-sulawesi-barat.html

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline