DAHULU kala Kerajaan Balanipa, Mandar, Sulawesi Barat tengah dilanda petaka. Kerajaan ini diserang oleh Kerajaan Gowa dengan jumlah pasukan yang besar. Sementara Balanipa hanya memiliki sedikit pasukan. Kala itu Balanipa hanyalah kerajaan kecil yang selama ini hidup dengan damai.
Raja (Mara’dia) Balanipa lantas memutuskan melakukan sayembara agar para pemuda bersedia menjadi prajurit. Kelak jika menang, mereka akan mendapatkan hadiah.
Pengumuman segera disebarkan ke seluruh pelosok negeri. Membuat semua pemuda tertarik untuk ikut ambil bagian. Termasuk di kalangan pemuda di suatu kampung, di lereng gunung. Di sana tinggal seorang laki-laki setengah baya yang cacat kakinya bernama I Karake’lette, yang dalam bahasa Mandar artinya si kaki rusak.
Dia juga ingin mengikuti sayembara. Para pemuda di sekitarnya lantas tertawa mengejek karena tidak mungkin lelaki tua yang cacat mengikuti sayembara. Para peserta sayembara adalah pemuda yang juga to barani (sebutan bagi pemberani di Mandar).
Mendengar ejekan tersebut, I Karake’lette diam saja. Namun tekadnya sudah bulat. Ia kemudian menyampaikan niatnya untuk ikut sayembara kepada punggawa Kerajaan Balanipa. Sayang, jawaban punggawa juga mengejek dan menyuruh dia pulang ke rumahnya. I Karake’lette pun pasrah dan kembali ke kampungnya dengan rasa kecewa.
Sayembara pun digelar. Dipilihlah pemuda-pemuda yang kuat, tangkas, dan gagah berani untuk memperkuat pasukan Balanipa. Mereka kemudian dilatih dengan berbagai keterampilan pedang dan strategi perang. Setelah mahir berperang, para pemuda lalu diberangkatkan ke Teluk Mandar tempat bala tentara Kerajaan Gowa akan mendarat. Bermacam-macam senjata seperti tombak, pedang, dan panah dijadikan bekal untuk berperang.
Akhirnya hari peperangan pun tiba. Tampak pasukan Kerajaan Gowa yang dipimpin oleh sang raja datang dari laut hendak merapat ke dermaga pelabuhan Mandar. Pasukan Balanipa segera bersiap. Tak mau tunggu lama, ketika pasukan Kerajaan Gowa mulai turun dari kapal, serentak pasukan Balanipa menyerang. Terjadilah pertempuran sengit. Mereka saling serang dengan senjata andalannya. Pasukan Balanipa bertempur dengan gagah berani. Pasukan Gowa juga begitu berhasrat untuk menguasai kerajaan Balanipa.
Sayang, jumlah pasukan yang jauh lebih banyak, lebih kuat, dan lebih terlatih, membuat Kerajaan Gowa menang. Sementara prajurit dari Balanipa mulai kocar-kacir. Banyak di antaranya yang gugur. Hingga pada akhirnya, Panglima Perang Kerajaan Balanipa memutuskan untuk mundur ke Kota Raja, tempat Kerajaan Balanipa. Adapun pasukan Kerajaan Gowa memilih beristirahat sejenak sebelum melanjutkan peperangan ke kota Raja Balanipa.
Panglima perang Balanipa lantas melaporkan kekalahannya kepada sang raja. Kegusaran pun tak bisa disembunyikan Raja Balanipa. Namun apa hendak dikata, pasukan yang telah dikumpulkan dalam sayembara banyak yang gugur. Tak banyak lagi pemuda yang bisa diandalkan untuk berperang. Bagaimana caranya untuk mengalahkan pasukan kerajaan Gowa kalau begini? Gumam sang raja. Namun dia tak menyerah. Lebih baik mati daripada menyerahkan tanah Mandar ke orang Gowa. Sang raja pun terus berusaha mencari strategi untuk mempertahankan kerajaannya.
Kondisi yang genting tersebut sampai ke telinga I Karake’lette, si orang tua yang cacat. Keinginan membela Kerajaan Balanipa yang sempat redup karena ditolak, kini kembali membara. Ia lantas menghadap ke Raja Balanipa. Namun seperti yang sebelumnya, I Karake’lette juga merasa bakal ditolak. Hal itu lantaran raja tertawa terbahak-bahak mendengar tekad I Karake’lette.
Namun tawa sang raja terhenti ketika melihat wajah I Karake’lette yang tanpa keraguan. Ia sangat bersungguh-sunggu ingin membantu raja Balanipa melawan Kerajaan Gowa yang perkasa. Sang raja lantas bertanya, apa yang diinginkan I Karake’lette jika menang melawan Raja Gowa? I Karake’lette hanya menggeleng. Dia hanya ingin menunjukkan bakti dan cintanya kepada tanah Balanipa.
Akhirnya Raja Balanipa setuju. Berangkatlah I Karake’lette ke Teluk Mandar untuk berperang. Dia lantas menyelinap ke atas kapal yang ditumpangi oleh Raja Gowa. Di sana para pemimpin kerajaan sedang berpesta pora merayakan kemenangan. Kondisi tersebut membuat mereka lengah, sehingga I Karake’lette berhasil mendekat ke singgasana Raja Gowa. Betapa kagetnya Raja Gowa melihat kehadiran I Karake’lette. Saat hendak ditangkap, I Karake’lette menantang si raja untuk berduel. Ia mengatakan jika Raja Gowa menang, seluruh isi kerajaan Balanipa akan diserahkan kepadanya. I Karake’lette berjanji mempertaruhkan nyawa pada janji tersebut. Namun, jika Raja Gowa kalah, harus segera angkat kaki dari wilayah Balanipa dan tidak boleh kembali lagi ke tanah Mandar.
Raja Gowa sangat marah mendengar tantangan tersebut. Dia lantas menerima tantangan itu. Di pikirannya lelaki cacat itu tak mungkin menang karena kondisinya. Si raja tak menyangka tantangan I Karake’lette berbeda. Ia mengeluarkan dua buah jeruk nipis dan sebilah keris dari sakunya. I Karake’lette mengatakan jika Raja Gowa dapat membelah dua jeruk nipis yang di lemparkannya, maka dia menjadi pemenang. Sebaliknya bila I Karake’lette yang berhasil membelah dua jeruk yang dilemparkan sang raja, I Karake’lette lah pemenang. Raja Gowa setuju dengan aturan main pertarungan itu.
Pertarungan pun dimulai, I Karake’lette yang duluan melemparkan jeruk nipis disambut ayunan keris Raja Gowa. Sayang, sabetan keris meleset. Sang raja lantas kaget karena tak mampu membelah jeruk tersebut. Dia semakin kaget lantaran kedua jeruk tersebut bisa terbelah dengan sabetan keris I Karake’lette. Karena kalah, Raja Gowa sangat marah. Dia lalu menyerang I Karake’lette. I Karake’lette menghindar dengan gesit. Dia berbalik menyerang sehingga Raja Gowa tertusuk oleh keris I Karake’lette dan tewas seketika.
Di tengah kebingungan pasukan Kerajaan Gowa lantaran kehilangan pemimpinnya, I Karake’lette segera keluar kapal dan kembali ke Kota Raja Balanipa. Sesampainya di sana, dia disambut meriah oleh rakyat Kerajaan Balanipa dan rajanya. Mereka berterima kasih karena telah menyelamatkan kerajaan. Sebagai hadiah Raja Balanipa mengangkat I Karake’lette menjadi punggawa kerajaan dan memberikan sebidang tanah yang luas untuk I Karake’lette dan anak cucunya. Sementara pasukan Kerajaan Gowa segera angkat kaki dari Teluk Mandar.
TRI S
Sumber: Kisah ini disunting dari kebudayaan.kemdikbud.go.id & musdalifahyasin.wordpress.com
Catatan: Kisah ini berasal dari dongeng yang dituturkan orang tua di Mandar, Sulawesi Barat. Tujuan publikasi untuk kelestarian cerita rakyat Sulawesi Barat.
1. Rendang (Minangkabau) Rendang adalah hidangan daging (umumnya sapi) yang dimasak perlahan dalam santan dan bumbu rempah-rempah yang kaya selama berjam-jam (4–8 jam). Proses memasak yang sangat lama ini membuat santan mengering dan bumbu terserap sempurna ke dalam daging. Hasilnya adalah daging yang sangat empuk, padat, dan dilapisi bumbu hitam kecokelatan yang berminyak. Cita rasanya sangat kompleks: gurih, pedas, dan beraroma kuat. Rendang kering memiliki daya simpan yang panjang. Rendang adalah salah satu hidangan khas Indonesia yang paling terkenal dan diakui dunia. Berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat, masakan ini memiliki nilai budaya yang tinggi dan proses memasak yang unik. 1. Asal dan Filosofi Asal: Rendang berasal dari tradisi memasak suku Minangkabau. Secara historis, masakan ini berfungsi sebagai bekal perjalanan jauh karena kemampuannya yang tahan lama berkat proses memasak yang menghilangkan air. Filosofi: Proses memasak rendang yang memakan waktu lama mela...
Ayam goreng adalah salah satu menu favorit keluarga yang tidak pernah membosankan. Namun, jika kamu ingin mencoba variasi yang lebih gurih dan harum, ayam goreng bawang putih renyah adalah pilihan yang tepat. Ciri khasnya terletak pada aroma bawang putih yang kuat serta kriukannya yang renyah saat digigit. Resep ini juga sangat mudah dibuat, cocok untuk menu harian maupun ide jualan. Bahan-Bahan Bahan Ayam Ungkep ½ kg ayam (boleh potong kecil agar lebih cepat matang) 5 siung bawang putih 4 siung bawang merah 1 sdt ketumbar bubuk 1 ruas kunyit (opsional untuk warna) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400 ml Bahan Kriuk Bawang 5–6 siung bawang putih, cincang halus 3 sdm tepung maizena ¼ sdt garam ¼ sdt lada Minyak banyak untuk menggoreng Cara Membuat Ungkep ayam terlebih dahulu Haluskan bawang putih, bawang merah, kunyit, dan ketumbar. Tumis sebentar hingga harum. Masukkan ayam, aduk rata, lalu tuang air. Tambahkan garam dan kaldu...
Ayam ungkep bumbu kuning adalah salah satu menu rumahan yang paling praktis dibuat. Rasanya gurih, aromanya harum, dan bisa diolah lagi menjadi berbagai hidangan seperti ayam goreng, ayam bakar, hingga pelengkap nasi kuning. Keunggulan lainnya, resep ini termasuk cepat dan cocok untuk kamu yang ingin memasak tanpa ribet namun tetap enak. Berikut resep ayam ungkep bumbu kuning cepat yang bisa kamu coba di rumah. Bahan-Bahan ½ kg ayam, potong sesuai selera 4 siung bawang putih 5 siung bawang merah 1 ruas kunyit 1 ruas jahe 1 ruas lengkuas (geprek) 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 batang serai (geprek) 1 sdt ketumbar bubuk (opsional) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400–500 ml Minyak sedikit untuk menumis Cara Membuat Haluskan bumbu Blender atau ulek bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, dan ketumbar bubuk (jika dipakai). Semakin halus bumbunya, semakin meresap ke ayam. Tumis bumbu hingga harum Panaskan sedikit m...
Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...