Apem (apam) merupakan hidangan kue tradisional yang dimasak dengan pemanggang atau penggorengan. Bentuknya mirip serabi, tetapi lebih besar dan tebal. Warna apem pun beragam, ada yang memberi warna merah muda hingga hijau sesuai selera. Apem digunakan dalam berbagai kenduri dalam masyarakat Jawa.
Istilah apem diyakini berasal dari kata bahasa Arab, yaitu afwan atau affuwun. Maknanya adalah maaf atau ampunan. Karena masyarakat Jawa kesusahan untuk menyebutkan kata dalam bahasa Arab itu, mereka pun menyebutnya apem. Apem merupakan simbol permohonan ampun kepada Tuhan atas berbagai kesalahan. Hal itulah yang menjadikan apem sebagai representasi ritual saat lebaran pada masyarakat Desa Sumberejo, Gunung Kidul. Mereka meyakini bahwa apem sebagai lambang makanan untuk membersihkan hati dari perbuatan salah maupun khilaf dengan saling bersilaturahmi maaf memaafkan saat hari raya tiba. Biasanya di penghujung Ramadhan atau saat malam takbiran, masyarakat di sana membuat hidangan apem untuk disuguhkan kepada para tamu yang datang esok saat lebaran untuk memberi kesan khas di Desa Sumberejo, Gunung Kidul.
Makna lain yang terkandung dalam apem yaitu dari bentuknya yang bulat, hal itu melambangkan sebagai tempat berdoa. Bentuk bulat juga menjadi lambang sarana penghubung dengan Allah Swt. Apem juga melambangkan kesederhanaan, terlihat dari bahan-bahan pembuat apem yang mudah didapatkan. Kesederhanaan juga tampak dari proses pembuatan apem, karena untuk membuat apem tidak membutuhkan waktu lama. Rasa yang nikmat dari kue apem mengajarkan manusia tentang rasa syukur.
Untuk pembuatannya sendiri, apem dibuat dengan proses dan bahan yang sederhana. Karena bahan-bahan pembuatannya yang mudah didapatkan di antaranya yaitu tepung beras, tepung terigu gula pasir, tape nasi/tape singkong, pewarna makanan, daun jeruk, dan juga air. Sehingga apem pun juga memiliki makna kesederhanaan yang penuh kehangatan. Walau sederhana, cita rasa yang terkandung dalam apem sangat nikmat dengan aroma tape singkong dan rasa manis yang menggugah selera para tamu yang disuguhkan saat lebaran.
Pada dasarnya, apem adalah sebuah simbolik yang digunakan oleh masyarakat Jawa sebagai bentuk permohonan maaf atas kesalahan. Dengan kearifan ini, secara tidak langsung apem menjadi bagian yang tidak terlepas dari suatu tradisi terutama saat Ramadhan dan Lebaran. Ketersinambungan ini dapat memunculkan anggapan masyarakat bahwa perwujudan maaf tidak hanya ditujukan kepada yang sudah mati saja, melainkan yang masih hidup juga perlu untuk meminta maaf dan juga saling memaafkan. Oleh karena itu, maka muncullah falsafah "guyub rukun" didalamnya terkandung makna saling memaafkan.
Seperti yang kita tahu bahwa simbol ialah suatu perantara yang digunakan untuk mengartikan tindakan atau perilaku yang ditujukan kepada orang lain dengan makna dan tujuan yang diberikan. Dalam penggunaan apem sebagai salah satu metode dakwah Islamisasi, tentunya tidak menutup kemungkinan bahwa makanan merupakan salah satu metode dakwah. Tidak hanya makanan saja yang menjadi metode dakwah, itu hanya salah satu metode saja. Terdapat metode lainnya dari bidang seni seperti wayang, lewat tembang, lagu-lagu Jawa, lewat pesantren, lewat pembelajaran ilmu-ilmu kanuragan, dan sebagainya, itu semua adalah metode dakwah atau cara dakwah. Dan apem menjadi salah satunya.
REFERENSI Achroni, D. (2017). Belajar dari makanan tradisional Jawa. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Putra, L. B. (2023). Apem Sebagai Bentuk Representasi Ritual. MENDOBRAK GASTRONOMI KULTURAL JAWA: DARI PRODUKSI PENGETAHUAN, RUANG LINGKUP, SAMPAI PRAKTIK BUDAYA PENULISAN ESAI KREATIFNYA.
Bahan: 1 buah tomat, potong dadu 2 ekor ikan tongkol ukuran sedang (1/2kg) 1/2 bks bumbu marinasi bubuk 1 sdt bawang putih Secukupnya garam Secukupnya gula 7 siung bawang merah, iris 5 buah cabe rawit, iris 2 batang sereh, ambil bagian putihnya, iris 3 lembar daun jeruk, iris tipis-tipis 1 bks terasi ABC Minyak untuk menumis Secukupnya air Cara memasak: Cuci bersih ikan tongkol. Taburi bumbu marinasi desaku, garam secukupnya, air 2 sdm ke ikan tongkol. Siapkan bahan-bahan. Iris tipis bawang merah, daun jeruk, seret, cabe rawit. Kukus ikan tongkol selama 10 menit. Lapisi dengan daun pisang atau daun kunyit. Boleh jg tidak d lapisi. Setelah ikan di kukus, goreng ikan. Tumis bawang merah dan bahan lainnya. Masukkan terasi yg telah dihancurkan. Setelah matang, masukkan ikan yang telah digoreng. Aduk hingga rata. Sajikan dengan nasi hangat. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/24995999?ref=search&search_term=dabu+dabu
Bahan-bahan Porsi 2 orang Bumbu Ikan bakar : 2 ekor ikan peda 1 sdm kecap 1/2 sdm Gula merah 1/2 sdt garam Minyak goreng Bahan sambal dabu-dabu : 7 buah cabe rawit merah, iris kecil 1 buah tomat merah, iris dadu 3 siung bawang merah,iris halus 2 lembar daun jeruk, buang tulang tengah daun, iris tipis 2 sdm minyak goreng panas Cara Membuat: Marinasi ikan dengan air perasan jeruk nipis dan garam secukupnya, diamkan 20 menit, kemudian panggang diatas teflon(aku di happycall yang dialasi daun pisang) sesekali olesi minyak plus bumbu ke ikannya(aku pakai bumbu kecap dan gula merah) panggang sampai matang. Cara bikin Sambal dabu-dabu : Campurkan semua bahan sambal dabu-dabu ke dalam mangkok kecuali minyak kelapa, panaskan minyak kelapa, kemudian siram diatas sambal tadi, sajikan ikan peda bakar dengan sambal dabu-dabu. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/15232544?ref=search&search_term=peda+bakar
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.