Kondo Buleng atau Kondobuleng adalah teater tradisional masyarakat penutur bahasa Makassar di Sulawesi Selatan. Secara etimologis, kata Kondobuléng dalam bahasa Bugis dan bahasa Makassar, terbentuk dari dua kata. Kondo berarti bangau, sejenis burung yang berkaki, berleher, dan berparuh panjang. Burung ini pemangsa ikan, hidup di rawa-rawa atau di tempat berair, seperti tepi pantai atau sawah. Kata buléng ada yang mengartikannya “putih”, tapi dalam percakapan sehari-hari, kata “putih” berarti kébo’ dalam bahasa Makassar. Dalam Kamus Indonesia-Makassar (Arif, dkk: 1992), kata “putih” diterjemahkan kébo’.
Teater rakyat Kondobuleng merupakan bentuk teater bernafaskan komedi satir. Teater ini dimainkan oleh lima orang memerankan tokoh nelayan, satu tokoh memerankan Kondobuleng (bangau putih), satu tokoh memerankan Pemburu, dan satu tokoh memerankan Pak Lurah. Dalam pertunjukannya, pemain menggunakan dialog, kostum dan properti sesuai perannya dengan diiringi oleh kelompok musik antara 5 sampai 10 orang.
Pertunjukan teater rakyat Kondobuleng (PTRK) pada awal munculnya sampai sekarang tidak pernah menggunakan naskah tertulis. Mencermati materi awal pertunjukannya yang berulang kali serta hasil wawancara dengan para pendukungnya, kita diperhadapkan hanya pada ide dalam bentuk lisan, dan tidak pernah dalam bentuk tulisan, semacam sinopsis apalagi naskah.
Berdasarkan PTRK, para aktor dalam memainkan perannya menggunakan bahasa verbal dan non verbal. Bahasa verbal yang digunakan yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Makassar. Bahasa Makassar selain dipresentasikan melalui dialog, juga dipresentasikan dalam bentuk nyanyian oleh kelompok musik. Bahkan ada nuansa Islam dalam nyanyian mereka. Sedangkan bahasa non verbal yang digunakan yaitu melalui gerak, mimik, ekspresi, properti dan musik. Adapun bentuk struktur dramatik dideskripsikan sebagai berikut:
Pada tahap awal yang merupakan pengenalan atau eksposisi pertunjukan, menggambarkan tokoh Kondobuleng muncul di pesisir. Ia secara akrab mencari ikan bersama lima nelayan, yaitu Pabalewang, Pajala, Pabalibodo, Pasodo dan Papaccalak.
Pada tahap komplikasi yang merupakan penggawatan atau perumitan, dilukiskan dengan munculnya tokohPemburu menyandang senapan untuk menembak Kondobuleng. Para nelayan berupaya menghalangi meletusnya peluru dari senapan si Pemburu.
Sekali Pemburu membidik agak lama, dan pada detik tertentu, dia menembak “door”. Kondobuleng roboh ketika peluru Sang Pemburu itu berhasil mencabik keheningan. Tapi bukan Kondobuleng saja yang roboh tetapi juga si Pemburu terpental roboh dan bahkan menghilang tiba-tiba.
Para nelayan bermusyawarah, memecahkan masalah untuk mencari Pemburu dan Kondobuleng. Pajala pun melapor ke Pak Lurah. Pak Lurah menyuruh para nelayan agar cepat mencarinya sampai dapat. Dalam keadaan genting itu, salah seorang mengusulkan untuk membuat jembatan karena laut sudah dalam. Jembatan pun jadi dibuat dengan hanya membentangkan sebuah bambu pendek ukuran 60 cm. Ketika Pabalewang menaiki jembatan itu, tiba- jembatannya roboh.
Semua kembali berfikir untuk mencari Pemburu dan Kondobuleng. Muncullah ide baru dari salah seorang nelayan dengan mengusulkan untuk membuat perahu. Perahu pun jadi dengan hanya menggunakan tubuh dua orang sebagai perahu. Pabalewang dan Pabalibodo membuat komposisi saling berhadapan, saling menduduki punggung kaki masing-masing karena lutut ditegakkan. Pajala berdiri di belakang mereka sambil memegang dayung. Perahu pun mulai bergerak meninggalkan pantai, naik turun menyeberangi laut. Mereka adalah perahu tapi pada saat yang sama mereka adalah orang yang mendayung dan naik perahu. Tiba-tiba gelombang datang, perahu terbalik. Mereka saling terpisah. Pabalewang dan Pabalibodo berenang ke pantai, sedang Pajala tenggelam dan menggelepar-gelepar di laut. Papaccalak,Pabalewang dan Pabalibodo turun ke laut menolong Pajala dan menariknya ke pantai.
Keempat nelayan itu pun berenang ke pantai seberang dengan beragam gaya. Pabalewang dengan gaya katak. Pabalibodo dengan gaya dada. Papaccalak dengan hanya berlari-lari di laut. Pajala dengan gaya kupu-kupu. Mereka pun tiba di seberang dan duduk di depan Pemburu yang sedang terbaring pingsan di pantai. Pajala membacakan mantra untuk menghidupkan Pemburu. Setelah Pemburu sadar, mereka bersama-sama mencari Kondobuleng dengan menyusuri pantai. Mereka pun menemukan Kondobuleng yang sedang terkapar di pantai.
Pada tahap penyelesaian atau epilog yang merupakan puncak laku, klimaks atau saat yang menentukan digambarkan ketika semua pemain menyanyikan lagu Mala-mala Hatté dengan iringan musik yang lembut dan sakral menghidupkan Kondobuleng. Perlahan tampak Kondobuleng bergerak dan terus menerus menggerak-gerakkan kakinya, lalu pelan-pelan berdiri, berputar, mengepakkan sayap, terbang mengelilingi arena dan melayang pergi. Semua memperhatikan tingkah Kondobuleng.
*
Rombongan kesenian ini bernama I Lologading. Pertunjukan utamanya adalah kondobuleng. Namun selain kondobuleng masih terdapat sejumlah pertunjukan lainnya, berupa lagu dan musik/orkes toriolo, tarian, dan teater rakyat dengan cerita yang lain. Kondobuleng adalah salah satu judul reportoar yang dipertunjukkan kelompok kesenian I Lologading yang bermarkas di Kampung Paropo, Kecamatan Panakukang, Kota Makassar. Teater Kondobuleng bercerita tentang seorang pemburu yang mengejar seekor bangau putih di daerah rawa-wara pinggiran pantai. Di daerah rawa-rawa tersebut terdapat sejumlah nelayan yang sedang menangkap ikan. Dengan susah payah akhirnya sang pemburu dibantu oleh para nelayan berhasil menembak Kondobuleng (bangau putih). Tetapi karena kesaktiannya sang bangau dapat hidup kembali. Kesenian ini telah berlangsung secara turun temurun dalam 3-4 generasi (satu generasi 25 tahun), diperkirakan penciptaan kesenian ini ketika masih zaman penjajahan. Tujuannya adalah untuk mengajak masyarakat untuk melakukan perlawanan kepada Belanda (penjajah) tanpa harus dicurigai oleh pemerintah yang berkuasa ketika itu. Maka di ciptakanlah simbol-sibol dalam pertunjukan antara lain adalah kondobuleng (bangau putih) dan juga tokoh Tuang (orang Belanda). Kesenian ini dipentaskan di istana raja dan di kampung-kampung. Rombongan kesenian kondobuleng keluar masuk kampung memenuhi permintaan masyarakat yang melakukan hajatan tanpa mendapat hambatan dari pemerintahan kolonial. Karena rombongan kesenian ini telah mendapat kartu/surat izin. Dahulu rombongan ini hanya satu grup saja dan pemainnya masih dalam satu keluarga saja. Namun dalam perkembangannya sekarang kelompok teater rakyat ini telah berkembang menjadi tiga kelompok dan bermukim di Kampung Paropo yang sekarang sudah menjadi bagian dalam Kota Makassar. Karakter/ tokoh dalam cerita ini adalah: Kondobuleng yang diperankan oleh seorang anak laki-laki dengan menggunakan kostum serba putih dengan bebuat topeng burung bangau dari kain pula; Tuang, adalah tokoh pemburu dengan mike up dan kostum yang bercirikan seorang mandor atau tuan tanah Belanda, Nelayan 1, nelayan yang menggunakan alat pancing, Nelayan 2; nelayan yang menggunakan alat jala, dan Nelayan 3; nelayan yang menggunakan alat bubu (alat yang terbuat dari bambu). Selama pertunjukan teater ini diiringi dengan orkes to riolo yang melantunkan lagu-lagu Makassar seperti ?Daeng Camummu? dan ?Balebalang?. Pertunjukan Kondobuleng biasanya pada acara-acara pesta pernikahan, sunatan, naik rumah baru, dll.
Referensi: https://kikomunal-indonesia.dgip.go.id/jenis/1/ekspresi-budaya-tradisional/29775/kondo-buleng-makassar https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=259#:~:text=Kondo%20Buleng%20atau%20Kondobuleng%20adalah,Makassar%2C%20terbentuk%20dari%20dua%20kata.
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja