Polewali Mandar, Sulbarkita.com--Nama bahasa ini sekilas terdengar menarik: koneq-koneqe. Walau banyak dipakai warga di sekitar Kecamatan Campalagian, Kabupaten Polewali Mandar, sejatinya bahasa ini bukan asli Mandar. Melainkan, dipengaruhi oleh Suku Bugis yang banyak tinggal di wilayah itu, dan ini berkaitan dengan sejarah panjang masa lalu di masa Kerajaan. Seperti apa kisahnya?
Ahli sejarah Mandar, Darmawan Mas’ud, seperti dikutip dari kompadansamandar.or.id menjelaskan, dulunya ada kampung bernama Cempalagi, yang kebanyakan penduduknya adalah orang Bugis. Cempalagi adalah nama gunung di pesisir teluk Bone, Sulawesi Selatan. Tepatnya di Desa Mallari, Kecamatan Awangpone, sekitar 14 km.
Suatu hari, terjadi perebutan kekuasaan antara kakak-beradik yang mengincar tahta raja. Sang kakak yang dikenal tinggi hati, konon tak terima karena warga cenderung mendukung si adik yang dikenal baik hatinya. Ia bahkan berniat membunuh adik kandungnya sendiri.
Tensi menegang, hingga akhirnya si adik memilih membelot. Dia kabur dari Cempalagi, menuju kawasan perbatasan Kerajaan Tie-tie yang ketika itu dibatasi Jembatan Mapili. Si adik berkeyakinan, kakaknya yang sedang kalap tak akan berani masuk ke wilayah kerajaan lain.
Betul dugaannya. Di sana, si adik dan pengikutnya disambut baik oleh Raja Tie-tie. Bahkan Raja Tie-tie kemudian memberikan sebidang tanahnya untuk sang tamu, yang kemudian didiami putra mahkota Cempalagi. Wilayah itu kemudian dinamai Tomadio, sebelum diubah menjadi Campalagian. Adapun secara harfiah, Tomadio berarti “orang yang sejak dulu menetap dan beranak-pinak” di negara itu. Sebutan itu sendiri diberikan oleh mara’dia Tie-tie.
Pada waktu itu, Raja Tie-tie memberi syarat pada tamunya, untuk patuh pada mereka dan tidak diam-diam menghimpun kekuatan perang. Sang adik setuju dan akhirnya mereka ppun tinggal di wilayah itu. Saat ini, sayangnya, tak begitu banyak orang yang paham dan fasih bicara bahasa koneq-koneqe. Di antara sedikit penutur bahasa itu, ada yang tinggal di Desa Bonde (kampung Masigi), Desa Parappeq atau Banua Baru, Desa Passairang, Desa Katumbangan Lemo, Desa Buku, dan Desa Panyampa.
Walau ada di tanah Mandar, tapi karakteristik bahasa koneq-koneqe cenderung berbeda jauh dari bahasa Mandar. Penelitian sendiri menyebut bahwa koneq-koneqe adalah dialek ketujuh bahasa Bugis yang merupakan produk asimilasi dengan warga lokal alias Mandar. Menimbang sejarah panjang itu, tak mengherankan kiranya kalau warga Campalagian punya bahasa sendiri yang berbeda dengan tutur dan lisan di Mandar.
Muhammad Rahmat, dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Bahasa Koneq-Koneq’e Terhadap Penggunaan Bahasa Indonesia pada Masyarakat Bonde Kecamatan Campalagian Kabupaten Polewali Mandar” menyatakan, bahasa koneq-koneqe masih hidup dan lestari di kalangan warga Bonde. Walau, menariknya, telah terjadi sedikit peleburan di kalangan anak muda setempat.
Menurut Rahmat, anak muda di sana mulai memadukan bahasa tutur koneq-koneqe yang mereka pelajari dari orang tuanya, dengan bahasa Indonesia. Sehingga ketika berkomunikasi dengan kawan sebaya, mereka menggunakan bahasa campuran, Indonesia dan lokal. Ada kalanya yang dominan adalah bahasa Indonesianya, tapi kadang koneq-koneqenya yang muncul lebih kental.
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja