Cimahi adalah salah satu kota yang terletak di Provinsi Jawa Barat. Kota ini baru diresmikan pada tahun 2004 setelah sebelumnya masuk ke dalam Kabupaten Bandung Barat. Tidak banyak ciri khas yang ada di Kota ini, mengingat bukan Kota Besar pada umumnya. Namun salah satu menarik di Kota Cimahi yaitu terdapat sebuah Kampung Adat yang di beri nama Cireundeu. Namun karena tidak dijadikan sebagai objek wisata oleh warga setempat, masih banyak yang belum mengetahui letak Kampung tersebut.
Kampung Adat Cireundeu terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kotamadya Cimahi, Propinsi Jawa Barat. Cireundeu berasal dari nama “pohon reundeu”, karena sebelumnya di kampung ini banyak sekali populasi pohon reundeu. Pohon reundeu itu sendiri ialah pohon untuk bahan obat herbal, hingga kampung ini di sebut Kampung Cireundeu. Alasan Kampung Adat Cireundeu tidak memposisikan desanya sebagai tempat wisata bagi pengunjung, karena masyarakat di Kampung tersebut memilih untuk lebih fokus dalam memelihara tradisi lama yang telah mengakar yang diwariskan oleh tetua adat dulu. Masyarakat Kampung Cireundeu beranggapan bahwa sekecil apapun filosopi kehidupan yang diwariskan oleh nenek moyang mereka wajib untuk dipertahankan. Di kampung Cirendeu sendiri terdapat 50 kepala keluarga atau 800 jiwa, yang sebagian besar bermata pencaharian bertani ketela.
Kampung Cirendeu sendiri memiliki keunikan tersendiri dan mungkin berbeda dari kampung adat lainnya, diantaranya: • Masyarakat di Kampung Cirendeu masih memiliki keyakinan juga kepercayaan yang kuat terhadap sunda wiwitan. Ajaran Sunda Wiwitan ini pertama kali dibawa oleh Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan pada tahun 1918.
• Masyarakat adat Cireundeu sangat memegang teguh kepercayaannya, kebudayaan serta adat istiadat mereka. Mereka memiliki prinsip “Ngindung Ka Waktu, Mibapa Ka Jaman” arti kata dari “Ngindung Ka Waktu” ialah kita sebagai warga kampung adat memiliki cara, ciri dan keyakinan masing-masing. Sedangkan “Mibapa Ka Jaman” memiliki arti masyarakat Kampung Adat Cireundeu tidak melawan akan perubahan zaman akan tetapi mengikutinya seperti adanya teknologi, televisi, alat komunikasi berupa handphone, dan penerangan.
• Masyarakat Kampung Cirendeu masih mengadakan upacara adat yaitu 1 sura. Bagi masyarakat Kampung Cireundeu, Bagi masyarakat Kampung Adat Cireundeu perayaan 1 Sura layaknya lebaran bagi kaum muslim. Sebelum tahun 2000, saat perayaan mereka selalu menggunakan pakaian baru. Namun setelah adat mereka dilembagakan, akhirnya konsepnya dirubah yaitu kaum laki-laki menggunakan pakaian pangsi warna hitam dan ikat kepala dari kain batik. Sedangkan untuk kaum perempuan menggunakan pakaian kebaya berwarna putih. Selain itu terdapat buah-buahan yang dibentuk menyerupai janur, nasi tumpeng rasi, hasil bumi seperti rempah-rempah dan ketela yang menjadi pelengkap wajib dalam ritual ini. Selain itu kesenian kecapi suling, memelihara budaya sunda serta wuwuhan atau nasihat dari Sesepuh atau ketua Adat menjadi rukun dalam upacara 1 Sura.
Untuk jarak tempuhnya sendiri dari pusat Kota Cimahi, dibutuhkan waktu 1 jam, dengan rute jalan dari Masjid Agung Cimahi, kemudian mengikuti jalan ke arah Baros, atau bisa menaiki angkot kuning dengan jurusan Leuwigajah. Setelah itu anda akan dijumpai dengan sebuah patung gajah yang menandakan anda telah sampai di Leuwigajah. Lalu naik angkota biru jurusan Cangkorah dan turun di pertigaan arah Cireundeu. Kemudian anda naik gojek dengan rute tujuan Kampung Cirendeu, setelah itu anda akan melihat sebuah tulisan yang berarti telah sampai di Kampung Adat Cirendeu. Untuk dari Kota Bandung sendiri, jarak yang ditempuh bisa memakan waktu 2 jam perjalanan, dengan rute yang dituju adalah Kota Cimahi terlebih dahulu. Adapun hal lain yang harus di perhatikan ketika memasuki Kampung ini adalah Leuweung Larangan (hutan terlarang) yaitu dilarang menebang pohon di sekitar situ, karena bertujuan sebagai tempat penyimpanan air untuk masyarakat Kampung Cirendeu. Masyarakat Kampung ini sebagian besar masih menggunakan ketela atau singkong sebagai makanan pokok sehari-harinya sebagai pengganti beras. Hal ini dikarenakan prinsip mereka yaitu: “Teu nyawah asal boga pare, teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal bisa nyangu, teu nyangu asal dahar, teu dahar asal kuat”. Artinya adalah tidak punya sawah asal punya beras, tidak punya beras asal menanak nasi, tidak punya nasi asal makan, tidak makan asal kuat. Maksudnya adalah manusia tidak harus bergantung pada satu makanan pokok saja. Seperti makanan pokok di Indonesia adalah beras. Namun pandangan masyarakat Kampung Adat Cireundeu memiliki alternatif lain yaitu dengan menggunakan singkong.
Menurut UU no 5 tahun 2017 tentang Objek Pemajuan Kebudayaan, Kampung Adat Cireundeu dapat digolongkan menjadi objek yang no 4 yaitu tentang Ritus. Ritus yaitu perilaku atau sebuah upacara yang berkaitan dengan pelayanan keagamaan yang pelaksanaannya telah diatur sedemikian rupa, sebagai bentuk penyembahan dalam rangka merealisasikan ajaran Tuhannya dan menjalankan hidup secara religious menuju takwa. Kampung Adat Cirendeu dapat dikatakan sebagai tempat yang jarang diketahui oleh orang mengingat tidak banyak orang yang mengeksposnya ke media, namun bukan berarti Kampung ini tidak pernah didatangi pengunjung. Terdapat beberapa orang luar yang kerap terlihat berkunjung ke Kampung tersebut, sebagian besar bertujuan untuk melihat keunikan dari Kampung tersebut. Ada juga yang mendokumentasikannya mengingat ada beberapa keunikan tersendiri yang berbeda dari Kampung Adat lainnya.
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja