|
|
|
|
Kamanippah Leluhur Orang Enggano Tanggal 25 Feb 2021 oleh Widra . |
Hari sangat cerah. Matahari bersinar cukup terik. Laut berkilau biru bening. Butir-butir pasir putih disapa ombak. Suara ombak bersahutan dengan camar laut di udara. Namun, sekelompok orang tidak dapat menikmati keindahan itu. Mereka sibuk menebang pohon nipah, bakau, dan kelapa. Mereka tidak menebang seenaknya. Hanya pohon yang sudah cukup tua dan kuat yang mereka pilih.
Pohon-pohon yang telah ditebang dibersihkan pelepah atau rantingnya. Setelah bersih, kayu tersebut diseret beramai-ramai ke pantai. Gelondongan-gelondongan kayu itu mereka ikat jadi satu. Mereka menggunakan tali yang terbuat dari kulit kayu. Sepertinya mereka bermaksud membuat rakit. Rakit yang telah jadi ditumpuk menjadi dua lapis dan disatukan dengan rakit lainnya. Hasilnya adalah sebuah rakit yang sangat besar.
Seorang pria berteriak-teriak memberi arahan kepada para pekerja. Tubuhnya tinggi tegap. Kulitnya yang sawo matang memerah terpanggang matahari. Dia adalah ketua rombongan itu. Meskipun seorang pimpinan, sang ketua tidak segan ikut membantu pekerjaan anggota kelompoknya. Ia juga tak henti-hentinya memberi semangat kepada mereka.
Tengah hari tiba. Cuaca terlalu panas untuk melanjutkan kerja. Sang ketua yang bijaksana memberi aba-aba kepada kelompoknya untuk beristirahat. Mereka duduk di dekat mata air yang diteduhi daun-daun kelapa. Di sana keladi bakar dan kelapa telah menunggu. Sambil makan, seorang pria mendekati sang pemimpin kelompok. Dia salah seorang yang bertugas mengikat rakit menjadi satu.
“Ada apa, Kawan?” tanya sang ketua. "Maaf, tuan. Rasa-rasa sudah tertlalu besar rakit yang kita buat. Aku takut tidak akan kuat tali itu menahannya,” kata tukang ikat itu. “Begitu menurutmu?” tanya sang ketua lagi. Laki-laki itu mengangguk. “Kalau begitu apa yang bisa kita lakukan? Rakit ini tidak dapat mengangkut semua anggota suku kita,” ujar sang ketua. “Bagaimana kalau kita bagi jadi dua kelompok saja, Tuanku?” usul lelaki itu takut-takut.
Sang ketua bukanlah orang yang angkuh. Dia sangat menghargai usul anggota kelompoknya itu. Namun, di hatinya ada hal yang mengganjal. “Laut tidak selalu tenang, Kawan. Saat badai datang, aku takut kita nanti terpisah.” “Saya justru lebih cemas jika rakit besar ini kita satukan, Tuanku. Saat badai datang rakit kita bisa pecah. Semua anggota suku bisa tenggelam,” debatnya.
Ketua itu diam. Dia mempertimbangkan dengan serius usul anggotanya tersebut. “Jika kita bagi menjadi dua kelompok. Meski terpisah, akan ada satu kelompok yang berhasil,” ujar pengikat rakit itu lirih. “Aku percaya kita semua berhasil, Kawan. Aku terima usulmu. Umumkan kita akan membuat dua rakit,“ titah sang ketua. Pria itu tersenyum riang. Dia bergegas memberi tahu teman-teman lain bahwa mereka akan membuat dua rakit. Sang ketua berdiri memberi aba-aba. Anggota kelompoknya bangkit bersama untuk kembali bekerja. Mereka bekerja dengan lebih bersemangat untuk menyelesaikan rakit besar itu.
Senja menghampiri pantai. Warna jingganya memenuhi alam raya. Ini hari ketiga mereka bekerja. Mereka telah menyelesaikan kedua rakit besar. Kelompok yang diutus untuk menyiapkan bekal pun sudah kembali. Mereka membawa perbekalan sebanyak yang mereka mampu. Malam datang. Setelah cukup beristirahat, mereka bersiap mengadakan upacara adat. Mereka ingin meminta restu dari para leluhur dan Sang Kuasa. Seorang dukun maju dengan wajah tengadah ke langit. Dia membawa yang di ujungnya terdapat daun pisang. Kepalanya menggunakan ikat kepala daun yang khas. Dia lalu merapalkan doa sambil mengacung-acungkan tongkatnya ke angkasa.
Setelah ritual, dukun itu memberi kabar gembira. Mereka telah mendapat restu dari leluhur dan Roh Agung Sang Kuasa. Mereka bahagia. Perjalanan mereka telah diberkati. Mereka berpesta. Mereka makan dan minum sepuasnya. Sang dukun lalu menyanyikan lagu “Kahino Dubahay” yang berarti ‘lagu semut’. Satu per satu anggota suku menari. Penari yang datang belakangan memegang pinggang penari paling belakang. Mereka menari membentuk barisan yang mengelilingi api. Hari ini mereka bersengan-senang karena mulai besok mereka akan berpisah dengan daratan untuk waktu yang lama.
Mereka bukan pelaut. Mereka tidak punya pengalaman berlayar di laut lepas. Bagi mereka laut tak ubahnya sebagai sungai besar. Mereka belum memahami waktu-waktu yang baik untuk melaut. Mereka berangkat begitu saja saat semua anggota sudah bangun dan bersiap. Semua anggota naik. Begitu pula perbekalan. Rakit besar pun berlayarlah meski sesungguhnya dua rakit besar itu hanyut dibawa arus samudera.
Keadaan memang memaksa mereka pergi. Namun, keyakinan dan keberanian menjadi layar dan dayung mereka. Sang Kuasa sepertinya memang melindungi perjalanan ini. Langit cerah. Laut tenang. Meski sering kali terik matahari membuat mereka haus, mereka tidak kekurangan air. Selain air tawar yang mereka bawa sebagai bekal, mereka memiliki cara menyuling air laut.
Untuk makan, mereka membawa ubi, pisang, dan berbagai hasil bumi lainnya. Ikan dan makanan laut diperoleh dari dalam laut. Beberapa anggota kelompok pandai menyelam. Mereka menangkap ikan dengan tombak. Kadang-kadang mereka makan burung laut. Mereka membawa panah untuk menangkap burung tersebut.
Semakin lama mereka semakin memahami lautan. Mereka makin mengenal arus dan memakai bintang sebagai tanda arah. Namun, mereka tidak mampu berbuat banyak. Alat-alat yang mereka bawa tidak sesuai untuk berlayar. Mendayung melawan arus sungguh melelahkan. Galah kemudi rakit tidak bisa lagi menjangkau dasar. Mereka pasrah.
Makin jauh mereka terombang-ambing di lautan, semakin sulit hidup mereka. Burung-burung laut sudah tidak kelihatan lagi. Laut sudah terlalu dalam untuk diselami. Ikan-ikannya pun semakin besar dan buas. Mereka hanya menggantungkan hidup pada bekal yang mereka bawa. Hari demi hari berlalu, bekal mereka semakin menipis. Beberapa badai kecil juga sempat menerpa. Untunglah tali dari kulit kayu semakin kuat saat basah hingga rakit mereka tidak pecah. Beberapa anggota kelompok mulai cemas dan bertanya-tanya. Berapa lama lagi mereka akan sampai tujuan?
Ketua kelompok dan anggota lain yang masih optimistis meyakinkan mereka. Mereka mengatakan bahwa setiap anggota harus percaya dan bekerja sama agar sampai tujuan dengan selamat. Cara ini berhasil untuk beberapa hari. Keadaan memburuk saat bekal telah habis. Berhari-hari terapung-apung tanpa makanan membuat para anggota kelompok semakin melemah. Seorang anggota kelompok sudah habis kesabarannya. Ia memberanikan diri untuk bertanya kepada ketua kelompok.
“Masih lamakah perjalanan ini, Tuanku?” tanyanya. “Sabarlah,” jawab ketua kelompok. “Aku sudah tidak sanggup lagi bertahan. Sudah berhari-hari kita terapung-apung di lautan. Tanpa makan, sedikit minum. Setidaknya, katakan berapa lama lagi agar kami punya harapan,” desaknya. Ketua kelompok itu hanya diam. Anggota itu meradang. “Kamu tidak tahu ‘kan? Kamu sebenarnya tidak tahu bagaimana menuju tanah baru ‘kan?” teriaknya sambil menghambur ke arah ketua kelompok. Beberapa teman segera mencegahnya, lalu menarik anggota yang marah itu ke belakang rakit. Tukang ikat rakit mendatanginya. “Jangan begini terus, Tuanku. Kita semua sudah kepayahan. Setidaknya berilah kami penjelasan,” katanya. Ketua kelompok menghela napas panjang. "Biarkan aku berdoa kepada Roh Agung,” jawabnya. Ketua kelompok pergi ke ujung depan rakit. Wajahnya tengadah ke langit. Matanya terpejam. Mulutnya menyanyikan sesuatu. Ia mencoba berkomunikasi dengan Roh Agung Yang Kuasa. Sementara ia bernyanyi, awan hitam berkumpul dan menggulung. Badai segera tiba. Sang ketua Kelompok meneruskan nyanyiannya.
Cuaca di samudera memang mudah berubah. Terik matahari sesaat, lalu hilang tak berbekas. Sebagai gantinya, lidah petir menyambar. Guruh menggelegar. Angin bertiup kencang. Ombak mulai mengayun lebih tinggi dan rapat. Hujan turun sangat deras. Dua rakit besar itu terombang-ambing. Penumpang di atasnya merapat. Mereka memegang apa pun yang bisa diraih agar tidak tercebur ke dalam laut. Rasa takut melanda mereka. Ketua kelompok tidak menghentikan nyanyiannya.
“Inikah jawaban Roh Agung? Badai untuk menenggelamkan kita?” pekik anggota yang tadi marah.
Tukang ikat rakit yang mendengar itu kesal, tetapi ia tidak bisa berbuat apa pun. Dalam kepasrahan, ia lepaskan pandangannya ke lautan. Matanya tertumbuk pada bayangan di cakrawala. Bayangan itu tersamar derasnya tirai hujan. Ia membersihkan matanya dari air untuk meyakinkan dirinya bahwa ia tak salah. Ia melihat bayangan pulau.
“Daratan! Itu daratan!” teriaknya agar didengar seluruh anggota kelompok. Ia juga memberi tahu kepada ketua kelompok di rakit satunya. Sang ketua yang mendengar teriakan itu menghentikan doanya. Ia melihat ke arah yang ditunjukkan tukang ikat rakit. Ia tersenyum. “Roh Agung tidak meninggalkan kita. Ia menjawab permintaan kita. Ayo, teman-teman kita dayung rakit kita ke pulau itu,” katanya.
Dengan aba-aba dari sang ketua, setiap anggota kelompok di dua rakit mendayung. Mereka ingin secepatnya menuju pulau. Namun, badai mengganas. Dua rakit itu menunggangi arus yang berbeda. Semakin lama, jarak mereka semakin jauh. Hingga akhirnya mereka benar-benar terpisah. Sang ketua memanggil-manggil sekerasnya. Hanya beberapa kali ia memperoleh sahutan. Itu pun diselingi gelegar suara guruh. Namun, setelah itu, rakit besar satunya tidak kelihatan lagi. Tidak pula ada sahutan darinya. “Di mana mereka?” teriak satu anggota kelompok cemas. “Kita akan bertemu mereka di pulau,” jawabnya. Ia lalu mengalihkan perhatiannya untuk mengendalikan rakit mereka.
Perairan semakin dangkal sehingga semakin banyak karang tajam yang menyembul keluar. Ombak begitu keras dan liar. Namun, mereka adalah orang-orang yang pantang menyerah. Mereka mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencapai pesisir. Usaha keras mereka berbuah bahagia. Mereka berhasil mencapai sebuah teluk. Dengan segera mereka berlabuh di pesisir pulau tersebut. Di sana mereka menumpahkan kebahagiaannya. Mereka bersujud dan berpelukan. Dalam kebahagiaan, mereka menamakan pulau itu Ekkepu Yanipah yang berarti ‘persinggahan setelah berlayar sangat lama’.
Pulau itu adalah tempat tak bertuan yang nyaman. Lautnya menyediakan bermacam ikan dan boga bahari. Daratannya menyediakan berbagai hewan buruan, burung, dan tumbuh-tumbuhan yang dapat dimakan. Tidak ada binatang buas yang hidup di sana kecuali buaya air asin dan ular-ular kecil.
Dengan segera seluruh anggota kelompokmenjadi betah. Mereka memutuskan menetap di pulau itu. Teluk tempat mereka mendarat dulu dinamakan Teluk Kinen. Mereka mendirikan yump kakadie untuk tempat tinggal kepala suku. Rumah itu bertiang tinggi dengan bangunan berbentuk bulat di atasnya. Bentuknya menyerupai menara. Di sekeliling yump kakadie tadi dibangun yump kadiop. Rumah ini berbentuk persegi dan tak
Di sekeliling yump kakadie tadi dibangun yump kadiop. Rumah ini berbentuk persegi dan tak berdinding. Di sanalah para anggota suku tinggal. Mereka mencari makan dengan memungut apa saja yang bisa dimakan, seperti keladi, umbi-umbian, dan pisang mentah. Untuk lauk, para pemburu membawakan burung dan hewan kecil. Kadang mereka juga memperoleh buah-buahan seperti buah tero, sementara yang lain menjadi nelayan untuk menangkap ikan dan penyu dari lautan. Mereka juga tahu beberapa rumput laut yang dapat dimakan. Masyarakat Teluk Kinen hidup dalam kelimpahan.
Meski hidup mereka sudah sejahtera, ketua kelompok tetap risau hatinya. Telah beberapa kali purnama berganti, tetapi belum ada kabar dari anggota suku di rakit yang satunya. Hatinya terbagi. Di satu sisi, ia yakin rakit itu berhasil mengalahkan badai dan mendarat entah di mana di pulau ini. Di sisi lain, ia cemas bahwa rakit itu telah tenggelam bersama seluruh anggota suku yang diangkutnya.
Dia lalu memanggil beberapa anggota suku yang masih muda. Mereka belum mahir untuk ditugaskan berburu, belum pula pandai menombak ikan. Tugas mereka hanya mengumpulkan bahan makanan sambil bermain. Dalam masa bermain-main anakanak pemberani ini sering kali menjelajahi tempat-tempat baru di sekitar pulau
“Hei, Bujang. Berkumpullah ke sini,” imbaunya dari atas tangga yump-nya. Anak-anak itu pun berkumpul. “Kalian dengarkan aku. Sudah tiga purnama kita terpisah dengan saudara-saudara kita di rakit satunya. Hatiku yakin mereka berhasil mencapai pulau ini. Oleh karena itu, aku meminta bantuan kalian untuk menjelajahi pulau ini. Temukan mereka,” ujarnya. “Baik, Tuanku,” jawab mereka bersemangat. “Pergilah.”
Anak-anak itu pergi sambil bercengkerama. Ini tugas yang menantang sekaligus menyenangkan bagi mereka. Mereka selalu ingin tahu dan menyukai halhal yang baru sehingga mereka sering menjelajah hingga jauh. Mereka melewati batas-batas wilayah suku. Terkadang mereka masuk pelosok hutan. Terkadang mereka berjalan jauh menyisiri pantai. Mereka juga pernah berenang hingga hulu sungai. Namun, hingga satu purnama berganti mereka belum menemukan juga tanda-tanda kelompok lainnya.
Dalam kelompok anak-anak itu, tersebutlah seorang anak laki-laki yang paling cekatan. Dia anak yang cerdas dan pemberani. Dia juga sangat gesit. Lidahnya tak kalah lincah dengan kakinya. Karena sifat-sifatnya itu, dia dianggap sebagai pemimpin oleh teman-temannya. Setiap hari anak ini diminta melaporkan kepada sang ketua hasil penjelajahan mereka. Setiap hari pula mereka melihat kekecewaan pada wajah sang ketua. Hari ini dia kembali melaporkan kepada ketua.
“Tuanku, sudah antara dua purnama kami berjalan. Sudah hampir seluruh pulau kami datangi, dari ujung hutan bakau hingga ke ujung sumur laut dan karang bolong. Kami sudah masuk ke hutanhutan. Telah juga kami susuri alur-alur sungai, tetapi tak juga kami temukan keberadaan saudarasaudara kita,” katanya melaporkan. Hati sang ketua masygul. “Aku sungguh berterima kasih atas kerja keras kalian, Bujang. Sungguh ingin aku memercayai bahwa saudara-saudara kita sudah tiada, bersatu dengan Roh Agung. Namun, hatiku yang lain ingin memastikan dulu bahwa mereka tidak ada di pulau ini.” Sang ketua berhenti sejenak kemudian bertanya, “Katakan kepadaku, Bujang, masih adakah tempat yang belum kalian datangi?” “Satu-satunya tempat yang belum kami jelajahi adalah Bukit Ekohe Nanuuwa, Tuanku,” jelas anak laki-laki itu. Sang ketua memandang Bukit Ekohe Nanuuwa yang berada di kejauhan. Bukit itu berada jauh di luar batas wilayah mereka. Tidak banyak yang mereka tahu tentang jalan ke sana. Perjalanan ke sana merupakan sesuatu yang sangat berbahaya. “Berat hatiku meminta kalian ke sana, anakanakku. Aku tidak akan memaksa kalian. Hanya saja, jika ada dari kalian yang cukup yakin dan pemberani, pergilah. Periksa Bukit Ekohe Nanuuwa hingga ke puncaknya.” Anak-anak itu lalu bubar. Dalam perjalanan pulang mereka berdiskusi. “Bukit Ekohe Nanuuwa itu sangat jauh,” gumam salah satu dari mereka. “Jujur, aku takut pergi ke sana,” timpal anak lain. “Tetapi kita harus membantu ketua kelompok,” kata anak laki-laki yang cekatan itu. Ia didukung beberapa orang yang cukup berani. “Silakan kalau kalian mau pergi. Kami tidak mau membahayakan diri kami.” Salah seorang anak berbicara mewakili kelompok yang menolak. “Lagi pula kemungkinan besar, saudarasaudara kita di rakit besar itu sudah tenggelam,” timpal yang lain.
Anak laki-laki itu geram, tetapi ia diam saja. Dalam hati ia bertekad melakukan perjalanan ke bukit tersebut besok. Teman-teman yang sependapat merangkulnya. Anak-anak itu pulang dengan keadaan terbagi ke dalam dua kelompok.
Malam tadi gempa besar mengguncang bumi. Guncangannya menyebabkan beberapa bagian yump kadiop roboh. Namun, hal itu bisa segera dengan mudah diperbaiki. Beberapa tiang kayu memang harus diganti, tetapi dengan bergotong royong mereka menyelesaikan pekerjaan itu sebelum matahari terbit.
Anak laki-laki yang cekatan itu telah bersiap. Gempa malam tadi tak bisa menyurutkan tekadnya. Ia berjanji bertemu dengan beberapa temannya. Mereka akan berangkat menuju Bukit Ekohe Nanuuwa. Mereka harus berangkat pagi benar untuk menghadapi segala kemungkinan. Ia menunggu di tempat itu hingga matahari menghangatkan pasir, tetapi teman-temannya tidak muncul juga.
Ia bisa menerka sebabnya. Sejak dini hari tadi arus mulai surut. Awalnya sedikit, tetapi semakin lama semakin jauh hingga ke tengah. Laut seakan berubah menjadi padang pasir. Ikan-ikan besar menggelepar di pasir. Beberapa terperangkap di cekungan di karang. Masyarakat Teluk Kinen berebutan menuju laut mengambil sebanyak yang mereka bisa. Ikan-ikan besar itu bisa menjadi persediaan makan mereka untuk berminggu-minggu lamanya. Teman-temannya pasti ikut mengambil ikan itu hingga jauh ke tengah.
Anak laki-laki itu menghela napas. Ia harus bergegas. Ia beranjak memulai perjalanannya. Dengan segera ia mencapai batas wilayah desa. Kaki-kaki lincahnya sudah paham benar paras tanah pulau ini. Ia bergerak lincah seakan tanpa kendala melewati tanah rawa, akar-akar, atau batu cadas. Ia berlari bagai angin melewati hutan. Ia juga tahu beberapa jalur pintas di hutan itu. Pengetahuan yang ia peroleh dari penjelajahannya selama ini.
Masih jauh dari tengah hari saat ia sampai di kaki bukit tujuannya. Lebih cepat dari yang ia perkirakan. Ia beristirahat sejenak di tepi sebuah sungai kecil. Ia minum secukupnya. Ia yakin akan mencapai puncak sebelum tengah hari. Sebentar saja ia beristirahat. Segera ia melanjutkan perjalanannya. Ia ingin pulang ke desa sebelum matahari terbenam. Jalan itu tidak terlalu ia kenali, karenanya ia harus berhati-hati. Namun, pengalamannya selama ini banyak membantunya. Ia tetap bisa bergerak lincah di antara akar pepohonan dan bebatuan besar. Ia tidak memedulikan lagi cuitan burung dan keindahan alam Bukit Ekohe Nanuuwa yang belum terjamah.
Kerja kerasnya terbayar. Tepat saat matahari di atas kepala ia tiba di puncak. Dari sini, ia dapat leluasa melihat ke seluruh daerah pulau. Dengan semangatnya yang tersisa, ia memantau sekitarnya. Akan tetapi, tak ia temukan tanda-tanda saudara mereka dari rakit lain. Jangan-jangan memang mereka semua telah tenggelam? Ia terduduk lemas membayangkan suasana tidak mengenakkan saat harus melaporkan ke ketua kelompok. Ia melemparkan pandangannya ke arah Teluk Kinen. Ia bisa melihat desanya dari sini. Namun, ada yang lebih mencolok matanya datang dari cakrawala. Ombak besar. Ombak yang sangat besar. Mungkin setinggi pohon kelapa. Ombak itu datang dengan cepat menyapu tempat yang tadi ditinggalkan air. Ia tersentak. Desanya dalam bahaya. Ia beranjak untuk memperingatkan orangorang di desanya. Sambil berlari, tak sekali pun ia lepaskan pandangannya dari arah desanya. Namun, secepat apa pun ia berlari, tak mampu ia mendahului air bah itu menyapu desanya dan menggulung semua yang ada di sana. Ia menatap nanar. Sekejap kemudian ia sadar bahwa ia harus menyelamatkan dirinya. Ia memanjat lagi ke puncak bukit karena air bah itu pun datang ke sana.
Air bah itu menyapu semua yang ada di jalannya. Setelah selesai satu, datang yang lainnya menenggelamkan semua daratan di Pulau Enggano dan hanya menyisakan puncak Bukit Ekohe Nanuuwa. Anak cekatan itu berhasil mencapai puncak tepat pada waktunya. Ia selamat dari sapuan air bah. Ia menangis melihat derasnya arus di sekitarnya. Ia menangis hingga lelah. Puas menangis, ia berteriak memanggil-manggil anggota kelompoknya. Berharap masih ada yang selamat. Ia berteriak-teriak bagai orang gila. Malam menjelang ia belum berhenti. Tak satu pun teriakan menyahutinya walau suaranya telah habis. Lelah memaksanya rebah ke tanah. Ia tertidur cukup lama hingga hujan membasahinya. Baru ia rasakan ia sangat kehausan. Ditampungnya air hujan itu untuk diminum. Perutnya yang lapar tak menemukan penawar. Tak tahu harus berbuat apa, ia akhinya hanya berdiam diri.
Laki-laki itu bertahan di atas bukit selama beberapa hari. Siang-malam ia dibasahi hujan. Tubuhnya didera dingin dan sakit. Namun, semangatnya untuk hidup membuatnya bertahan. Selama beberapa hari itu, ia tidak memperoleh apa pun untuk dimakan. Air minum pun diperolehnya dari menampung air hujan dengan tempurung kelapa. Makin lama ia makin lupa rasa sakit. Bahkan, ia lupa bahwa ia masih hidup atau sudah mati. Ia telah sampai di batas kesadarannya. Ia memeluk puncak Bukit Ekohe Nanuuwa dan bermimpi ia dalam kehangatan gendongan ibunya
Entah sudah berapa hari berlalu saat ia terjaga. Air bah itu berangsur-angsur mengering. Anak laki-laki di atas puncak bukit itu sudah tidak keruan lagi bentuknya. Bibirnya kering dan pecahpecah. Kulitnya kisut. Tubuhnya membiru karena kedinginan. Matanya hitam karena kurang tidur. Badannya kurus dan lemas karena lapar. Setelah sekian lama, ia sadar perutnya belum diisi apa pun selama berhari-hari.
Ia mencoba bangkit. Ototnya kaku. Tulangnya sakit semua. Saat berdiri, kakinya kesemutan hebat. Untuk sesaat ia tidak bisa lagi merasakannya. Kepalanya berkunang-kunang. Namun, ia kuatkan dirinya. Kesadarannya kembali. Ia segera beranjak.
Lapar membawanya turun dari bukit tempatnya berlindung selama ini. Ia menyeret-nyeret langkahnya di atas lumpur yang ditinggalkan banjir. Ia mencari-cari sesuatu untuk dimakan. Namun, sejauh mata memandang, yang ada hanya tanaman yang lembap membusuk. Dicabutnya sebatang keladi birah yang telah berwarna coklat. Umbinya sudah busuk. Ia memeriksa pohon-pohon yang sudah roboh. Ia menemukan buah pohon tero, tetapi ternyata buah itu juga sudah busuk terendam air. Buah-buah melinjo pun serupa. Tidak ada yang dapat dimakan. Air telah merendam mereka terlalu lama. Membusuk semua tanaman dari pucuk hingga akarnya.
Perutnya semakin sakit, tetapi dia berjalan terus mencari makan. Dia masih menyimpan harapan masih ada anggota kelompoknya yang hidup. Sepanjang perjalanan, ia meraih yang dapat diraih. Namun, tak ada sesuatu pun yang dapat dimakan. Daratan sudah mati hingga ia akhirnya tiba di pesisir. Ia tidak memiliki peralatan yang cukup untuk menangkap ikan. Tenaganya pun sudah sangat lemah. Namun, ia tidak menyerah. Ia menuju tubir laut. Ia tahu di antara lubang-lubang karang tinggal ikan dan makhluk laut yang bisa dijadikan makanan baginya. Hanya itu satu-satunya pilihan yang mungkin. Namun, bagaimana dia bisa menangkapnya?
Dalam lelah dan putus asa, dia mengambil kayu ahoa. Dia gunakan kayu itu untuk menusuknusuk celah-celah karang. Ia berharap ada sesuatu yang dapat ia makan keluar dari karang. Mungkin kepiting. Mungkin juga udang. Berkali-kali ia lakukan itu, berpindah-pindah dari satu lubang ke lubang lainnya. Namun, tak kunjung ia dapat apa yang dia harapkan. Satu-satunya yang ia dapat dari lubang itu adalah kerang. Ia pukul kerang itu dengan kayu ahoa yang dipegangnya. Setelah tiga pukulan kerang itu pecah, tetapi tidak ada isinya. Hatinya kecewa, tetapi ia menolak untuk menyerah.
Ia tinggalkan kayu ahoa begitu saja. Ia ambil ittora untuk menusuk lubang yang lain. Mungkin dengan kayu yang lebih kecil tetapi kuat itu ikannya akan keluar. Ia mengulangi apa yang ia lakukan tadi menggunakan kayu ittora. Tak putus-putus ia berharap akan ada ikan yang keluar dari lubang yang ia tusuk. Ia kembali menemukan sebuah kerang. Ia pukul dengan kayu ittora hingga pecah. Namun, hanya ruang kosong yang ia temukan. Harapan tinggallah harapan. Mungkinkah semua hewan di pulau ini juga hanyut terbawa arus?
Lelah mendera. Ia merasa telah kalah. Semua usahanya seakan sia-sia. Ia berbaring. Tubuhnya terlentang di atas pasir pantai. Mulutnya kering. Helaan napasnya pendek-pendek. Lelah merajamnya. Lapar menyiksanya. Terik matahari memanggangnya. Ia pejamkan matanya. Ia kembali kehilangan kesadaran, tetapi lamat-lamat ia dengar ada suara perempuan. “Kamanippah!” Suara itu datang dari belakangnya. Ia masih ragu. Mungkin dia berhalusinasi. “Kamanippah!” Suara itu berulang. Ia menoleh. Pandangannya tertumbuk pada sesosok perempuan. Perempuan itu sedang memecahkan batu. Anehnya dari batu yang ia pecahkan, muncul sesuatu yang dapat dimakan. Ia lalu disuapi dengan isi batu yang mirip kerang tersebut. “Kamanippah,” katanya. Anak laki-laki itu bingung. Dalam bahasa mereka itu terdengar seperti ‘kah kamanippa’ yang berarti ‘pecahkan’. Dia mengenal seluruh anggota masyarakat Teluk Kinen. Perempuan ini bukan salah satunya. “Siapa kamu? Mengapa tiba-tiba ada di sini? Apa yang dipecahkan? “Kamanippah, aku berasal dari kerang yang kaupecahkan dengan kayu ahoa,” jawab perempuan itu. “Tidak mungkin manusia berasal dari kerang. Apakah kamu anggota kelompok yang berada di rakit satunya?” “Bukan. Aku sungguh berasal dari kerang yang kaupecahkan dengan kayu ahoa, Kamanippah.” Ia tidak melihat kebohongan dari mata perempuan itu. “Mengapa kau memanggilku Kamanippah?” tanyanya. “Kamu pencipta kami dengan memecahkan kerang. Kamu sang pemecah. Kamanippah,” jawabnya. Anak laki-laki itu segera maklum mengapa perempuan itu terus memanggilnya Kamanippah. “Baiklah, kau boleh memanggilku Kamanippah. Siapa namamu?” Perempuan itu menggeleng. Ia tidak memiliki nama. “Kamanippahlah yang berhak memberiku nama,” jawab perempuan itu. Kamanippah diam sejenak. Perempuan ini memperlakukannya dengan begitu hormat. “Baiklah kalau begitu. Karena berasal dari kerang yang kupecahkan dengan kayu ahoa, kau Kunamakan Kaahoa.” “Baik, Kamanippah,” jawab Kaahoa bahagia. “Jika kamu berasal dari kerang yang kupecahkan, bagaimana dengan kerang lain yang kupecahkan?” dia setengah bertanya. “Aku tidak tahu, Kamanippah.” Kamanippah mengajak Kaahoa berbalik.
Menyusuri pesisir pantai yang ia lalui tadi. Ia sangat berharap ada orang lain yang dapat mereka temui di pulau itu. Benar saja, belum jauh mereka berjalan mereka bertemu seorang perempuan lain. Kamanippah bertanya, “Siapa kamu? Dari mana kamu berasal?” Perempuan itu menoleh. Ia lalu menjawab “Aku berasal dari kerang yang kaupecahkan, Kamanippah.” Seperti Kaahoa, wanita itu pun tak memiliki nama. Ia juga berkeras bahwa ia berasal dari kerang yang ia pecahkan dengan kayu. Karena ia menusuk lubang tersebut dengan kayu ittora, wanita itu pun diberi nama Kaitora oleh Kamanippah.
Hati Kamanippah bukan main senangnya. Ia tidak sendirian lagi. Ia telah menemukan teman di pulau itu. Ia lalu mengajak Kaahoa dan Kaitora untuk menusuk-nusuk lagi lubang di celah karang. Berhubung di dekat mereka hanya ada kayu arubi, mereka lalu menggunakan kayu itu untuk menusuk-nusuk lubang. Mereka menemukan lebih banyak lagi kerang dari lubang yang mereka tusuk
Mereka memecahkan kerang itu satu per satu. Ajaib! Dari sebuah kerang besar yang dipecahkan Kamanippah muncullah seorang perempuan. Perempuan itu diberi nama Kaarubi karena berasal dari kerang yang dipecahkan dengan kayu arubi. Sementara itu, dari kerang yang dipecahkan oleh Kaahoa dan Kaitora keluar ikan sebagai persediaan makanan mereka. Mereka lalu menyantap ikan itu dengan lahap hingga kenyang.
Berempat mereka menusuk-nusuk lubang di batu karang. Mereka kembali menemukan banyak sekali kerang. Mereka memecahkan kerang itu dan kembali menemukan berbagai macam bahan makanan. Mereka melakukan itu terus-menerus hingga malam menjelang. Akan tetapi, tidak ada lagi manusia yang muncul. Malam itu, Kamanippah tidur pulas dengan perut penuh. Mereka bertiga tidur di pasir pantai yang agak terlindung karang. Itu tidur terbaik yang Kamanippah miliki setelah pengalaman yang panjang dan berat beberapa hari ini.
Esoknya Kamanippah mengajak ketiga perempuan itu kembali ke Teluk Kinen. Tidak mudah menemukan Teluk Kinen. Beberapa daratan di pulau telah berubah karena air bah itu. Perjalanan makin berat karena banyak kayu yang menghalangi. Namun, mereka berhasil mencapai tempat yang mereka tuju.
Kamanippah betul-betul mengenal sudut desanya. Meski permukiman di teluk itu telah rata dengan tanah, ia masih mengenalinya. Ia tahu dari karang besar yang muncul dari permukaan laut. Ia tahu dari pohon melinjo raksasa yang tercabut dari tanah. Ia tahu dari hutan bakau yang tak rusak di satu sisi Teluk Kinen. Satu-satunya yang berbeda adalah di teluk itu tidak ada lagi permukiman. Tidak ia temukan satu pun mayat anggota sukunya. Tidak ia temukan lagi sisa anggota sukunya. Bahkan tidak ia temukan lagi sisa-sisa yump mereka.
Kamanippah lalu berdoa. Ia bukan dukun. Tidak pula pernah diajarkan bagaimana berkomunikasi dengan Roh Agung dan roh leluhur. Namun, ia yakin, jika Roh Agung akan mendengarnya. Selesai berdoa, Kamanippah mengambil sebuah kerang besar. Ia meniup kemiu sebagai tanda berkabung. Kaahoa, Kaitora, dan Kaarubi menari mengiringinya. Tari yang mereka persembahkan untuk saudara-saudara yang telah meninggal. Kamanippah memutuskan untuk menetap di sana. Ia dan ketiga putri kerang itu lalu membangun sebuah yump kakadie lagi untuknya. Lalu, mereka membangun yump kadiop untuk tempat tinggal Kaahoa, Kaitora, dan Kaarubi. Mereka memulai lagi masyarakat di Teluk Kinen.
Karena hanya ada mereka berempat di pulau tersebut, Kamanippah lalu menikahi ketiga wanita itu. Mereka hidup bahagia dan sejahtera di Teluk Kinen bersama keluarga besar mereka. Anak-anak yang lahir diberi nama sesuai dengan nama ibu mereka. Jika ia anak dari Kaahoa, ia akan diberi nama belakang Kaahoa. Begitu juga aturannya bagi anak Kaitora dan Kaarubi. Anak cucu mereka kita kenal sebagai orang Enggano saat ini. Mereka terus berkembang. Hingga saat ini sudah menjadi lima suku asli, yaitu Kaahoa, Kaitora, Kaarubi, Kauno, dan Kaaruba. Itulah cerita mengenai leluhur orang Enggano.
Ditulis oleh: Sarwo Ferdi Wibowo
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |