Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita rakyat Sulawesi Selatan BANTAENG
Duyung yang Hilang di Dusun Batu Ruyung Bantaeng
- 6 Februari 2021

Bantaeng - Nama Dusun Batu Ruyung, Desa Karatuang, Kecamatan Bantaeng, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, konon berangkat dari cerita ruyung atau duyung. Legenda turun temurun yang dipercayai masyarakat hingga diabadikan menjadi nama sebuah dusun. Dusun Batu Ruyung tak jauh dari pusat Kecamatan, paling sekitar 4 sampai 5 kilometer dan bisa ditempuh selama 8 menit perjalanan. Akses menuju dusun juga mudah. Jalannya mulus, arus lalu lintas lancar yang dilengkapi petunjuk arah Legenda yang dipercayai masyarakat bukan sekadar cerita. Batu Ruyung memang berwujud bebatuan asli berukuran cukup esar yang terdapat di halaman rumah salah satu warga. Konon, tumpukan bebatuan itu jelmaan duyung yang akhirnya diabadikan menjadi nama daerah tersebut. Dulu, ada seekor duyung berada di sana lalu makelong-kelong atau bersyair sepanjang hari. Buah syairnya melahirkan kalimat syarat makna. Kelong-kelong ruyung kala itu mengisahkan kehidupannya yang malang. Sayang cerita rakyat ini tidak terlalu banyak diingat atau diketahui sebagian besar masyarakat di kabupaten berjuluk "Butta Toa" atau tanah tua Legenda yang dipercayai masyarakat bukan sekadar cerita. Batu Ruyung memang berwujud bebatuan asli berukuran cukup esar yang terdapat di halaman rumah salah satu warga. Konon, tumpukan bebatuan itu jelmaan duyung yang akhirnya diabadikan menjadi nama daerah tersebut. Dulu, ada seekor duyung berada di sana lalu makelong-kelong atau bersyair sepanjang hari. Buah syairnya melahirkan kalimat syarat makna. Kelong-kelong ruyung kala itu mengisahkan kehidupannya yang malang. Sayang cerita rakyat ini tidak terlalu banyak diingat atau diketahui sebagian besar masyarakat di kabupaten berjuluk "Butta Toa" atau tanah tua ini. Sore itu Sabtu 30 November 2019, Tagar menyambangi kediaman seorang kakek bernama Daeng Sakari yang akrab disapa kakek Sakari. Katanya, kakek Sakari adalah satu tetua yang mengetahui detail cerita Batu Ruyung. Sakari mengaku risau karena kebanyakan orang-orang di sana tidak lagi mengenal legenda hidup tanah Dusun Batu Ruyung. Menurutnya, cerita rakyat kian tergerus zaman. Bahkan sebagian orang di dusun tersebut tidak sedikit tahu tentang sejarah dusunnya. "Tena antu nakulle nipelak turioloa nak, nasabak tanga laniak tongki tukamma kammayyane punna taena turiolota (Kita tidak seharusnya melupakan (cerita) orang-orang terdahulu, karena tidak akan ada (eksistensi) manusia saat ini, tanpa kehadiran para pendahulu," kata kakek Sakari. Kakek yang mengaku berusia lebih 100 tahun ini tidak ingat kapan dia dilahirkan. Begitu juga istrinya, nenek Singarak yang katanya berusia sekitar 70 tahun. Kakek-nenek ini tinggal di sebuah rumah panggung yang berada tak jauh dari SD Negeri 114 Allu, Kelurahan Karatuang, kecamatan Bantaeng. Sembari perlahan mendeguk air putih hangat, Sakari mulai fokus menggali memori lamanya tentang legenda Batu Ruyung. Guratan dahi dan pancaran matanya menatap nanar bercerita. Dia mengerti bahasa Indonesia, namun tidak bisa melafalkannya "Tena antu nakulle nipelak turioloa nak, nasabak tanga laniak tongki tukamma kammayyane punna taena turiolota (Kita tidak seharusnya melupakan (cerita) orang-orang terdahulu, karena tidak akan ada (eksistensi) manusia saat ini, tanpa kehadiran para pendahulu," kata kakek Sakari. Kakek yang mengaku berusia lebih 100 tahun ini tidak ingat kapan dia dilahirkan. Begitu juga istrinya, nenek Singarak yang katanya berusia sekitar 70 tahun. Kakek-nenek ini tinggal di sebuah rumah panggung yang berada tak jauh dari SD Negeri 114 Allu, Kelurahan Karatuang, kecamatan Bantaeng. Sembari perlahan mendeguk air putih hangat, Sakari mulai fokus menggali memori lamanya tentang legenda Batu Ruyung. Guratan dahi dan pancaran matanya menatap nanar bercerita. Dia mengerti bahasa Indonesia, namun tidak bisa melafalkannya. Kita tidak seharusnya melupakan cerita orang-orang terdahulu, karena tidak akan ada manusia saat ini. Dalam bercerita, Sakari juga melantunkan kelong-kelong dengan nada-nada sakral. Sempat dua kali dia mengulangi syair duyung yang membuat suasana menjadi mistis sore itu. Usai melantukan kelong, aura dingin seperti menyusupi ruangan tersebut. Entah karena cuaca mendung yang mendukung atau memang reaksi gaib dari kelong tersebut. Nenek Singarak berperan sebagai penterjemah dendang kelong kakek Sakari. :Oh ibu, oh ibu datanglah kemari, saya haus sekali. Ibuku adalah duyung, ayahku (ikan) lumba-lumba di sana (laut)," kata nenek mengartikan kelong si kakek. Nenek Singarak mengatakan, dulunya ada manusia yang menjelma menjadi duyung. Saat itu, Tanah Butta Toa Bantaeng sebagian besar masih berupa lautan. Namun karena suatu sebab, anaknya ditinggal di salah satu titik di daerah Bantaeng. Duyung itu pergi, sementara anaknya menunggu dan terus memanggil-manggil ibunya. Kalimat-kalimat dalam kelongnya seperti menceritakan nasib yang dialaminya pada waktu itu. Nadanya meraung-raung menandakan betapa pilunya hati seorang anak yang ingin sekali berjumpa ibu dan ayahnya. Konon karena ayah duyung itu adalah seekor Lumba-lumba, orang-orang hingga kini tidak lagi berani memakan ikan Lumba-lumba hingga hari ini. Matahari kian menepi ke ufuk timur, sementara tiga orang di rumah panggung yang tak lagi kokoh masih larut dalam kisah-kisah Batu Ruyung. Tak seorang pun berani atau berniat memindahkan bebatuan tersebut dari halaman rumah kakek itu. Mereka membiarkan batu itu tetap pada posisinya. "Tena antu nakulle nipelak turioloa nak, nasabak tanga laniak tongki tukamma kammayyane punna taena turiolota (Kita tidak seharusnya melupakan (cerita) orang-orang terdahulu, karena tidak akan ada (eksistensi) manusia saat ini, tanpa kehadiran para pendahulu," kata kakek Sakari. Kakek yang mengaku berusia lebih 100 tahun ini tidak ingat kapan dia dilahirkan. Begitu juga istrinya, nenek Singarak yang katanya berusia sekitar 70 tahun. Kakek-nenek ini tinggal di sebuah rumah panggung yang berada tak jauh dari SD Negeri 114 Allu, Kelurahan Karatuang, kecamatan Bantaeng. Sembari perlahan mendeguk air putih hangat, Sakari mulai fokus menggali memori lamanya tentang legenda Batu Ruyung. Guratan dahi dan pancaran matanya menatap nanar bercerita. Dia mengerti bahasa Indonesia, namun tidak bisa melafalkannya. Kita tidak seharusnya melupakan cerita orang-orang terdahulu, karena tidak akan ada manusia saat ini. Dalam bercerita, Sakari juga melantunkan kelong-kelong dengan nada-nada sakral. Sempat dua kali dia mengulangi syair duyung yang membuat suasana menjadi mistis sore itu. Usai melantukan kelong, aura dingin seperti menyusupi ruangan tersebut. Entah karena cuaca mendung yang mendukung atau memang reaksi gaib dari kelong tersebut. Nenek Singarak berperan sebagai penterjemah dendang kelong kakek Sakari. :Oh ibu, oh ibu datanglah kemari, saya haus sekali. Ibuku adalah duyung, ayahku (ikan) lumba-lumba di sana (laut)," kata nenek mengartikan kelong si kakek. Nenek Singarak mengatakan, dulunya ada manusia yang menjelma menjadi duyung. Saat itu, Tanah Butta Toa Bantaeng sebagian besar masih berupa lautan. Namun karena suatu sebab, anaknya ditinggal di salah satu titik di daerah Bantaeng. Duyung itu pergi, sementara anaknya menunggu dan terus memanggil-manggil ibunya. Kalimat-kalimat dalam kelongnya seperti menceritakan nasib yang dialaminya pada waktu itu. Nadanya meraung-raung menandakan betapa pilunya hati seorang anak yang ingin sekali berjumpa ibu dan ayahnya. Konon karena ayah duyung itu adalah seekor Lumba-lumba, orang-orang hingga kini tidak lagi berani memakan ikan Lumba-lumba hingga hari ini. Matahari kian menepi ke ufuk timur, sementara tiga orang di rumah panggung yang tak lagi kokoh masih larut dalam kisah-kisah Batu Ruyung. Tak seorang pun berani atau berniat memindahkan bebatuan tersebut dari halaman rumah kakek itu. Mereka membiarkan batu itu tetap pada posisinya. Kakek Sakari mengatakan, anak-anak kecil yang tak tahu kisah dibalik batu itu sangat suka bermain di sekitar sana. Tak jarang ada di antara mereka yang duduk di atas batu dan seolah menungganginya. Dulu, sambung nenek Singarak, ketika ayahnya bernama I Painro masih hidup, batu itu sangat dijaga agar kisahnya terus sakral dan terjaga. Di malam-malam tertentu, ayahnya kerap menyalakan lilin sebagai penerang tumpukan bebatuan. Dari ayahnya juga, nenek Singarak dan kakek Sakari mendengar banyak cerita duyung dan berupaya melestarikannya. Mereka berdua berharap, sejarah tetap hidup sekalipun satu persatu bukti fisik hilang dan tertimbun bangunan. "Kupasangko anne nak, na nupanjari pappilajarang nanaisseng tongi ia ngasekna tau maraenga (Cerita ini saya sampaikan agar bisa engkau pelajari dan engkau bisa menceritakannya kembali kepada orang-orang di luar sana," tuturnya.  Sumber : https://www.tagar.id/duyung-yang-hilang-di-dusun-batu-ruyung-bantaeng

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline