Impalak adalah seorang anak yang tinggal di sebuah kampung pesisir Sulawesi Tengah. la tinggal bersama ayahnya yang bernama Intobu. Mereka hidup sangat miskin. Sehari-hari, Impalak membantu ayahnya menangkap ikan di laut dengan menggunakan perahu.
Intobu selalu mengajarkan Impalak untuk bekerja keras dan pantang menyerah. Saat mereka mencari ikan, terkadang cuaca buruk menghadang mereka, tetapi Intobu mengajarkan Impalak agar tidak mudah menyerah.
Kondisi kehidupan mereka yang miskin membuat Impalak jenuh dan timbul keinginannya untuk merantau. Namun, berulang kali ia merasa tak tega meninggalkan ayahnya yang sudah tua renta.
“Ayah, aku ingin merantau untuk mernperbaiki kehidupan kita ini.” kata Impalak. Intobu sangat berat membiarkan anaknya pergi. Namun, melihat kesungguhan Impalak, akhirnya Intobu mengizinkannya.
Impalak sangat gembira. la memutuskan untuk segera berangkat dengan menggunakan perahu bagga (layar).
Tahun demi tahun berlalu, Impalak belum juga kembali ke kampungnya. Ternyata, ia telah berhasil di perantauan dan menjadi orang kaya raya. la sudah menikah dengan seorang putri dari seorang saudagar kaya.
Suatu hari ketika Intobu sedang mengail ikan di pelabuhan dengan menggunakan sampan. Intobu melihat sebuah bagga yang sedang menuju pelabuhan. Saat perahu itu melintas di dekatnya, ia melihat Impalak, anaknya, dan seorang perempuan cantik. Betapa bahagia Intobu. la segera mendayung perahunya mendekati kapal tersebut.
Intobu memanggil-manggil anaknya dengan penuh kegembiraan, “Impalak! Impalak, Anakku!” teriaknya.
Impalak menoleh dan menyadari yang memanggil itu adalah ayahnya, tetapi ia pura-pura tidak tahu, karena malu kepada istrinya. Sementara itu, Intobu terus memanggil dari sampannya.
“Kak, sepertinya orangtua di sampan itu memanggil namamu. Apakah ia ayahmu?” tanya istri Impalak.
Impalak tertawa mengejek, “Dinda, manalah mungkin ayahku seperti itu!” katanya kepada sang istri.
Sementara itu, Intobu terus mendayung sampannya mengejar bagga milik Impalak sambil terus berteriak memanggil anaknya. Tiba-tiba angin kencang bertiup dan membuat sampan Intobu terombang-ambing tak terkendali.
“Impalak tolong aku!” teriak Intobu meminta tolong ketika sampannya tak terkendali. Impalak justru tertawa mengejek menyaksikan ayahnya terombang-ambing oleh gulungan badai.
“Rasakan kau!” ejek Impalak.
Intobu yang tua renta sangat kecewa diperlakukan seperti itu oleh anak kandungnya. Lalu, ia mengeluarkan kutukan kepada anaknya itu, “Kukutuk kau, Impalak dan perahu bagga yang kau turnpangi menjadi batu!'”
Tiba-tiba angin bertiup sangat kencang, ombak besar menggulung menghantam perahu Impalak dan mengempasnya ke pesisir pantai. Sekejap saja perahu bagga dan Impalak berubah menjadi batu.
Hingga kini masyarakat menyebut batu tersebut sebagai Batu Bagga.
Pesan moral dari Cerita Rakyat Sulawesi Tengah : Asal Usul Batu Bagga adalah kita harus selalu menghargai dan menyayangi orangtua kita. Tuhan akan memberikan hukuman setimpal jika kita durhaka kepada orangtua. Dan Tuhan juga akan memberikan kita kebahagiaan dan kesuksesan jika kita berbakti pada orang tua kita.
https://dongengceritarakyat.com/cerita-rakyat-sulawesi-tengah-asal-usul-batu-bagga/
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja