Dahulu kala berdiri sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja muda yang bijaksana.
Kerajaan Sumedang Larang namanya.
Kerajaan Sumedang Larang terletak di daerah Sumedang, Jawa Barat sekarang.
Kerajaan Sumedang Larang memiliki alam yang subur dan makmur.
Rakyat tidak pernah mengalami kelaparan.
Rakyat hidup damai dan tentram di bawah pimpinan raja muda yang adil bijaksana.
Di kerajaan Sumedang Larang berdiri sebuah gunung bernama Gunung Gede.
Gunung tersebut memiliki hutan yang lebat, tanah yang subur dan air yang mengalir berlimpah.
Di suatu hari, tiba-tiba ada suara gemuruh menggelegar disertai tanah goyang yang cukup kuat.
Rakyat Sumedang Larang sontak merasa keget.
Mereka lari berhamburan keluar rumah menuju tempat terbuka.
Usut punya usut, ternyata suara gemuruh tersebut berasal dari gunung Gede yang tampaknya akan meletus.
Rakyat Sumedang Larang yang tinggal di kaki Gunung Gede merasa cemas dengan keadaan ini.
Mereka segera berkemas dan pergi membawa serta keluarga mengungsi menjauhi Gunung Gede.
Berita akan meletusnya Gunung Gede tentu saja terdengar hingga ke istana kerajaan Sumedang Larang.
Raja muda yang bijaksana merasa sedih dengan ancaman meletusnya gunung Gede.
Raja sangat mengkhawatirkan keadaan rakyatnya.
Oleh karenanya, raja memutuskan untuk bersemedi guna memohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa.
Raja kemudian memberitahu Patih bahwa beliau akan bersemedi.
“Aku akan bersemedi guna memohon petunjuk Yang Maha Kuasa untuk mengatasi ancaman meletusnya Gunung Gede. Untuk sementara Engkau mengurus kerajaan.” kata raja kepada sang Patih.
“Baik Raja, hamba mematuhi perintah raja.” kata sang Patih.
Raja kemudian memasuki ruangan khusus yang biasa digunakan untuk bersemedi.
Setelah beberapa hari bersemedi akhirnya raja mendengarkan bisikan gaib yang memerintahkan dirinya untuk melemparkan keris emas milik nenek moyangnya ke dalam kawah Gunung Gede.
“Jika Engkau ingin menyelamatkan rakyatmu dari bencana letusan Gunung Gede, maka lemparkanlah olehmu keris emas milik nenek moyangmu ke dalam kawah Gunung Gede. Niscaya gemuruh Gunung Gede akan mereda.”
Setelah mendengar bisikan gaib tersebut sang raja pun jatuh pingsan.
Merasa khawatir dengan kondisi raja karena telah beberapa hari tidak keluar dari ruangan semedi, prajurit penjaga memberanikan diri memasuki ruangan semedi dan mendapati sang raja pingsan.
Prajurit kemudian membawa raja keluar dan segera memanggil Patih dan para tabib istana.
Beberapa lama kemudian raja pun sadar dari pingsannya.
Raja langsung menyampaikan pada Patih bahwa ia harus menuju kawah Gunung Gede untuk melemparkan keris emas milik nenek moyangnya.
“Aku harus segera menuju kawah Gunung Gede dan melemparkan keris emas milik nenek moyangku agar gemuruh Gunung Gede reda.” kata raja.
“Tapi itu sangat berbahaya raja. Biar aku saja yang melakukannya.” kata sang Patih.
“Tidak bisa. Harus aku yang melakukannya sendiri demi menyelamatkan rakyatku dari bencana ini. Aku sudah merelakan nyawaku untuk menyelamatkan rakyatku.” kata raja.
Akhirnya dengan mengunggangi kuda, raja pergi ke puncak gunung Gede.
Berbagai rintangan dilalui raja dengan gagah.
Hanya satu yang dipikirkan raja saat itu yaitu keselamatan rakyatnya, rakyat Sumedang Larang.
Setelah tiba di puncak gunung Gede dengan susah payah, raja mendekati pinggir kawah dan melemparkan keris emas milik nenek moyangnya.
Keajaiban terjadi, kawah gunung Gede yang tadinya bergolak berangsur-angsur menjadi tenang, suara gemuruh pun tidak terdengar lagi.
Raja bersyukur petunjuk itu ternyata benar.
Pengorbanan raja mendaki Gunung Gede terbayar sudah.
Setelah memastikan kawah Gunung Gede sudah aman, akhirnya raja kembali ke istana kerajaan, rakyat menyambut kedatangan raja mereka.
Raja bahagia akhirnya gunung Gede tidak jadi meletus dan seluruh rakyat kerajaan Sumedang Larang selamat.
Semenjak kejadian itu, gunung Gede dirubah namanya menjadi gunung Tampomas karena kawahnya menerima keris emas milik nenek moyang raja Sumedang Larang.
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja