Buku ini memuat dua ceritera, ialah Serat Hendramurti serta Serat Yudangkara. Teks pertama (h. 1-40) menceritakan Raja Hengseputra dari negri Maksendabumi pergi ke hutan untuk berburu hewan. Ia bertemu dengan seekor naga. Naga dipanah oleh Hangseputra, tidak mati tetapi berubah menjadi seoarang, bernama Hengganawati, anak dari Pandita Bepatma dari gunung Sunyayuri. Hengganawati terbang melarikan diri, dikejar oleh Hengseputra. Di dukuh Bangunlaya tingal seorang janda, Dresawati, dengan anaknya, Hendramurti. Hendramurti mendapat wangsit dari Dewa untuk pergi ke Suryaruri. Di Suryaruri ia bertemu dengan Prabu Hagniputra yang sedang mengejar ngejar Hangganawati. Terjadilah peperangan antara Hendramurti dan Prabu Hangniputra, yang dimenangkan oleh Hendramurti dan Prabu Hangniputra mati. Cerita ditutup dengan perkawinan antara Hendramurti dan Hangganawati. Sumber: http://navigasi-budaya.jogjaprov.go.id/heritage/naskah-kuno/1686
Cerita alegori yang mengambarkan keadaan kraton Yogyakarta pada paro kedua abad ke -18. Teks pada naskah ini rupanya seredaksi dengan teks YKM/ W18a-b. Buku pusaka K.K. Suryarajayang disimpan di Prabayeksa, Kraton Yogyakarta, juga memuat redaksi yang sama. Naskah lain dengan judul Suryaraja, tetapi belum dapat dibandingkan dengan teks-teks ini terdapat di Museum Nasional, ialah BG 164. Ricklefs-lah yang menyelidiki Serat Suryaraja ini paling tuntas. Menurut kajiannya, pengarang teks ini adalah HB II, pada tahun 1774, yaitu pada masih Putra Mahkota (Pangeran Pali) di bawah sang ayah Sri Sultan yang pertama. Sumber: http://navigasi-budaya.jogjaprov.go.id/heritage/naskah-kuno/1685
Seh Mardan (Serat Endraraja) (1-157). Menurut sinopsis Tanojo, teks ini “anyariosaken lelampahipun raja putro ing negri Darulkastana, anama Sekh Mardam inggih Sekh Endrajaja, wiwit maguru ngelmi kikmat,tuwin ngangenipun lelena ajajah purung, ngantos saged dhaup kaliyan para putrinipun Nata ing pundi-piundi nagari. Dalah piwulang lan pamejengenipun Sekh Endrajaya dhateng para garwa inggih kawrat ing dalem cariyos puniko.” Teks naskah ini seredaksi dengan edisi cetak (semarang ; van Dorp 1868, 1873), genap 23 pupuh, bahkan persis sama, sehingga kemungkinan naskah ini turunan dari edisi cetak. Uraian ceritanya serta daftar pupuh dapat dibaca pada Pretelan I:161-164. Menurut kolofon (h.1),teks ini digubah oleh R. Panji Astranegara, di Kudus, bulan Mei 1866. Bandingkan dengan naskah MSB/L320. Naskah lain dengan judul Serat Endrajaya juga ada, ialah Lor 2296, tetapi teks itu merupakan versi yang berbeda dengan MSB/L319. Redaksi Lor 2296 itu lebih panjang dengan jumla...
Sastra roman siklus Panji menceritakan Raden Panji di Jenggala yang telah menganti nama menjadi Suryawisesa, mempunyai kegemaran mencari ikan dengan tuba ( sejenis tumbuhan yang dapat memabukkan ikan ). Suryawisesa berhasil mendapatkan ikan bermahkita yang ternyata adalah besannya. Cerita selanjutnya tentang ikan bermahkota yang kemudian mati setelah dibawa ke istana. Ringkasan lebih lengkap dapat dibaca pada keterangan bibliografis MSB/L330. Teks naskah ini sama dengan teks naskah tersebut, pupiuh 1-10, kemudian putus. Naskah dilengkapi dengan ringkasan yang dibuat pada jaman Panti Boedja oleh M. Sinoe Moendisoera, sebanyak 6 halaman tulisan tangan. Pupuh 1, pada tiap bait baru memuat sandiasma :” Rahadyan Panji Ranawarsita pun sutanira Rahadyan Hangabei Ranggawarsita, pujangga ing Surakarta”. Informasi yang sama diulangi dalam kolofon depan (h.1), yang menyatakan teks asli ditulis oleh R. Panji Ranawarsita atas perintah ayahnya R.Ng. Ranggawarsita pada tahun 1791,...
Teks membagahs tatacara pakaulan yang berlaku di kampung kampungdalam keraton Surakarta. Dilengkapi contoh dengan suatu cerita yang jelas. Naskah dilengkapi dengan ringkasan yang dibuat pada jaman Panti Boedja oleh R. Tanojo sebanyak 1 halam ketikan. Teks ini ditulis/digubah oleh Ki Hajar Panitra, Panumping, Surakarat, tahun 1853 (1922). Pemrakarasa penyalinan tidak disebutkan didalam teks, tetapi melihat kertas yang digunakan rupanya masih semasa dengan penulisnya. Sumber: http://navigasi-budaya.jogjaprov.go.id/heritage/naskah-kuno/1655
Menceritakan kehidupan sepasang burung kemladeyan, dari mencari makan, membuat sarang,sengsara, bertelur, mengerami telurnya, menetas, mencari bahan makanan untuk persediaan hidup kluwarganya pada masa yang akan datang, persahabatan yang akrab dengan burung yang lain, dsb. Cerita ini semula berbentuk lisan dan diceritakan oleh seorang “ juru gotek ing jaman kina “ yang bernama Kaki Asmarandanm. Cerita kemudian dibangun oleh Ki Hajar Panitra, diklaten tahun 1930. Naskah ini dibeli oleh Panti Boedja dari Raden Mas Mangunprawira, juga di Klaten Sumber: http://navigasi-budaya.jogjaprov.go.id/heritage/naskah-kuno/1650
Buki ini melaporkan tentang R.T. Sastradiningrat, bupati carik dari Surakarta, yang memerintahkan kepada M.Ng. Jayapranata supaya mengadakan penelitian terhadap kali-kali yang kemungkinan dapat dibendung untuk pengairan sawan-ladang. Mulai h.68r sampai tamat ada beberapa catatan tambahan dari seseorang yang bernama Marsana, anak M. Jayataruna di timuran, Solo. Nama penyalin teks pokok ( h.1-67) tidak disebutkan,tetapi mungkin juga di Solo, pada awal abad ke-20. Menurut keterangan pada h. Xv, teks dikarang di Palur pada tahun 1838 (=1908). Pengarang bernama M.Ng. Jayapranata (yaitu sperti yang dijelaskan dalam jalan cerita teks sendiri), Yng menyusun laporan mengenai keadaan kali-kali di daerah Surakarta atas permintaan dari R.T. Sastradiningrat, abdidalem carik Kraton Surakarta. Sumber: http://navigasi-budaya.jogjaprov.go.id/heritage/naskah-kuno/1647
Serat Nitisruti adalah sebuah naskah kuno karangangan Pangeran Karanggayam dari Pajang, yang selesai ditulis pada tahun 1612 dan berisi petuah-petuah dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kitab ini segala hal yang menyangkut tata karma orang Jawa dibahas. Dibawah ini di kutipkan salah satu pupuh yakni pupuh pucung yang terdapat dalam serat Nitisruti yang khusus mengajarkan tentang cinta kasih terhadap sesama dan terjemahan dibawahnya dalam bahasa Indonesia untuk memudahkan pembaca di luar Jawa memahami isinya. 1 Kang sinebut ing gesang ambeg linuhung, kang wus tanpa sama, iku wong kang bangkit, amenaki manahe sasama-sama. 2 Saminipun kawuleng Hyang kang tumuwuh, kabeh ywa binada, anancepna welas asih, mring wong tuwa kang ajompo tanpa daya. 3 Malihipun rare lola kawlas ayun, myang pekir kasiyan, para papa anak yatim, openana pancinen sakwasanira. 4 Mring wong luput d...
Wayang kulit Cina - Jawa atau yang lebih dikenal dengan sebutan Wayang Thithi mulai dikenal di Yogyakarta pada tahun 1925 hingga sekitar tahun 1967. Istilah thithi sendiri didapat dari suara alat musik yang terbuat dari kayu berlubang yang biasa mengiringi setiap pertunjukan wayang kulit China yang jika dipukul akan mengeluarkan suara thek…thek…thek.. Suatu bunyi yang terdengar di telinga orang Jawa sebagai thi… thi… thi… Untuk lakon sendiri, berbeda dengan wayang kulit Jawa yang selalu mengangkat lakon dari dua epos terkenal yakni Ramayana dan Mahabarata maka untuk wayang thithi ini lakon atau cerita yang dimainkan adalah mitos dan legenda negeri Tiongkok seperti San Pek Eng Tay, Sam Kok, Thig Jing Nga Ha Ping She, dan sebagainya. Dan karena wayang thithi merupakan sebuah kesenian budaya hasil akulturasi dari kebudayaan China dan Jawa maka tokoh-tokoh yang terdapat dalam lakon wayng thithi inipun perpaduan dari dua kebudayaan...