Sinonggi adalah makanan yang terbuat dari pati sari sagu. Di Sulawesi Selatan, ia dikenal dengan nama kapurung dan di Kepulauan Maluku disebut papeda. Meski memiliki kemiripan bahan, namun ia berbeda pada cara penyajian. Pada sinonggi, tepung sagu yang sudah dimasak tidak dicampurkan dengan sayur, kuah ikan, sambal (dabu-dabu), atau bumbu lainnya. Peracikannya diserahkan kepada selera masing-masing Sebelum dimasak, pati sagu direndam di dalam baskom, atau sejenisnya, dengan menggunakan air dingin selama satu malam. Biarkan hingga mengendap. Kemudian air dibuang. Ketika akan diolah menjadi makanan, sagu dicairkan dengan air dingin secukupnya. Lalu, siramkan air panas (sampai mendidih) sedikit demi sedikit sambil sagu diaduk-aduk hingga mengental. Orang bilang, ia menyerupai lem. Sebaiknya, sebelum sagu diolah menjadi makanan siap saji, sayur, kuah ikan, serta sambal sudah disiapkan. Jadi bisa langsung dimakan pada saat sinonggi masih panas. Sayur dan sambal...
Tari Lumense atau Tarian Lumense adalah tarian yang berasal dari Tokotu'a, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Kata lumense sendiri berasal dari bahasa daerah setempat yakni lume yang berarti terbang dan mense yang berarti tinggi. Jadi, lumense bisa diartikan terbang tinggi. Tari lumense sendiri berasal dari kecamatan Kabaena. Suku Moronene merupakan penduduk asli dari wilayah ini. Nenek moyang suku ini adalah bangsa melayu tua yang dating dari hindia belakang pada zaman pra sejarah. Secara geografis, kecamatan kabaena merupakan pulau terbesar setelah buton dan Muna di Sulawesi tenggara. Menurut sejarah, dahulu kecamatan kabaena berada di bawah kekuasaan kerajaan Buton sehingga hubungan kekerabatan antara Kabaena dan buton pun sangat erat. Hal ini juga mempengaruhi perkembangan kebudayaan di wilayah Kabaena termasuk tari Lumense.
Di sebuah pedesaan bawah laut tinggallah Nini seekor ikan kecil berwarna biru bersama keluarganya. Karena masih kecil Nini dilarang ibunya untuk keluar rumah. Keseharian Nini adalah bermain-main di sekitar rumahnya. Padahal Nini ingin sekali berenang keluar dari rumah seperti ikan lainnya yang bebas berenang kemanapun mereka inginkan. Pada suatu hari ketika Nini sendirian di rumah datanglah ikan-ikan kecil lainnya. Mereka sangat cantik dan berwarna-warni, ada si kuning bergaris-garis putih, keemasan, dan biru seperti dirinya. Nini senang sekali. Ikan-ikan kecil itu mendatangi Nini dan mengajaknya bermain di luar rumah, mulanya Nini keberatan sebab takut dimarahi ibunya. Namun ketiga teman Nini terus membujuknya dan mengatakan bahwa pemandangan laut lainnya amat menarik, mereka juga berjanji akan menjaga Nini. Setelah berfikir akhirnya Nini ikut bersama teman-temannya bermain di luar rumah. Nini sangat terkesan dengan pemandangan di permukaan laut, dia melihat kapal yang...
Rumah Tradisional Suku Wolio di Sulawesi Tenggara Banua tada adalah rumah adat suku Wolio atau orang Buton di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, Indonesia. Rumah adat berbentuk panggung ini unik karena dapat berdiri tegak tanpa menggunakan satu pun paku.
Ladolado berasal dari daerah Sulawesi Tenggara. Alat musik tradisional ini dimainkan dengan cara digesek.
Datanglah ke Kota Bau-bau. Di kota kecil inilah komplek kerajaan/Kesultanan Buton berada. Terletak di puncak bukit dan menghadap ke Selat Buton, penduduk setempat menyebutnya keraton dan aura kemegahannya masih terasa nyata. Namun tidak disangka, dibalik kokohnya benteng kesultanan tercium aroma budaya demokrasi yang luhur. Iklim demokrasi yang telah tercipta di Kesultanan Buton, jauh sebelum Indonesia lahir. Meski ada tiga golongan yang berbeda tugas, Sultan Buton tidak selalu diangkat dari keturunan sebelumnya, melainkan tergantung pada rapat anggota dewan legislatif yang berada di tangan golongan Walaka. Beberapa sultan konon dicopot dan dihukum karena di nilai melakukan pelanggaran. Budaya dan system demokrasi yang berkembang di kerajaan/kesultanan Buton ditopang dengan dua struktur golongan, yaitu, golongan bangsawan atau kaomu (pemegang adat dan pengawas pemerintahan yang dijalankan oleh sultan) dan golongan walaka atau rakyat biasa. Susunan kekerabata...
Kalo atau kalosara merupakan sebuah benda yang terbuat dari tiga utas rotan yang dipilin atau dililit membentuk sebuah lingkaran. Cara memilinnya adalah berlawanan dengan arah jarum jam atau dipilin kea rah kiri. Ujung lilitannya tiga utas rotan ini kemudian disimpul dan diikat dimana dua ujung rotan disembunyikan dalam lilitan sedangkan satu ujung yang lainnya dibiarkan mencuat keluar. Lilitan atau pilinan tiga utas rotan merupakan symbol yang memiliki makna persatuan dan kesatuan dari tiga stratifikasi orang Tolaki di jaman dahulu yakni : anakia atau golongan bangsawan, towonua/ penduduk asli, toono motuo/ orang-orang yang dituakan didalam suatu kampong, toono dadio/ orang kebanyakan, dan stratifikasi yang ketiga yakni o’ata atau golongan budak. Sebagai simbol hukum adat pada orang Tolaki yang dipercaya telah diwariskan secara turun temurun, maka Kalosara ditemukan dalam berbagai aturan hukum adat itu sendiri yakni dalam bidang-bidan...
Kabhanti merupakan salah satu bentuk tradisi lisan yang ada pada masyarakat Suku Muna. Kabhanti memiliki ciri yang hampir sama dengan pantun / puisi lama. Kabhanti diciptakan oleh masyarakat Suku Muna. Tradisi berucap pantun yang ada pada masyarakat Suku Muna, Sulawesi Tenggara ini telah lama ada di Pulau Muna. Kabhanti merupakan tradisi berucap pantun, baik yang diucapkan sendiri ( monolog ) maupun secara berbalas dalam suatu kelompok (kelompok Laki-laki maupun kelompok perempuan. Isi dari kabhanti biasanya mengemukakan serta menyampaikan hal hal yang berupa pesan moral bagi masyarakat, nilai nilai keagamaan, petunjuk kehidupan / petuah, sindiran, percintaan, serta nilai nilai budaya dan adat istiadat. Bagi masyarakat muna, kabhanti bertujuan untuk memperkokoh nilai dan norma dalam masyarakat.
Kabhanti merupakan salah satu bentuk tradisi lisan yang ada pada masyarakat Suku Muna. Kabhanti memiliki ciri yang hampir sama dengan pantun / puisi lama. Kabhanti diciptakan oleh masyarakat Suku Muna. Tradisi berucap pantun yang ada pada masyarakat Suku Muna, Sulawesi Tenggara ini telah lama ada di Pulau Muna. Kabhanti merupakan tradisi berucap pantun, baik yang diucapkan sendiri ( monolog ) maupun secara berbalas dalam suatu kelompok (kelompok Laki-laki maupun kelompok perempuan. Isi dari kabhanti biasanya mengemukakan serta menyampaikan hal hal yang berupa pesan moral bagi masyarakat, nilai nilai keagamaan, petunjuk kehidupan / petuah, sindiran, percintaan, serta nilai nilai budaya dan adat istiadat. Bagi masyarakat muna, kabhanti bertujuan untuk memperkokoh nilai dan norma dalam masyarakat.