Bapak-bapak dan ibu-ibu ini sedang melantunkan salah satu jenis sastra lisan Bima yang dikenal dengan OLO sebagai salah satu jenis pantun muda mudi yang cukup memukau audiensnya. OLO hanya ada di kecamatan Langgudu, tepatnya di desa Rupe dan Karampi. Pada masa lalu muda mudi Langgudu pergi ke sebuah tanjung yang bernama LANGGUDU yang jaraknya sekitar dua jam perjalanan laut dari karumbu ke arah tenggara. OLO dilantunkan pada malam ke 14 bulan purnama. Di tanjung langgudu, muda mudi duduk saling membelakangi di atas pumcaknya lalu bersenandung OLO sambil memukul potongan bambu muda yang disebut katongga. Jika patu olo bertautan dan ada kecocokan, maka itu menjadi awal menuju mahligai pernikahan. Orang-orang dalam foto ini adalah saksi sejarah bertautnya hati melalui senandung OLO. Namun pada tahun 1984, pemerintah kabupaten Bima melarang OLO dilaksanakan di tanjung Langgudu karena kecelakaan laut yang menewaskan18 orang sepulang dari OLO akibat cuaca buruk. Olo adalah sejarah...
Saya baru pernah menikmati kuliner ini. Pangaha Kanggia, atau kue semut,demikian warga desa Padiolo kecamatan Palibelo menyebut penganan ini yang disajikan sebagai menu berbuka puasa dalam rangka safari ramadhan Pemerintah Kabupaten Bima pada Rabu, 7 Juni 2017. Rasanya manis dan lembut. Bahanya dari tepung beras yang dikukus kemudian dimasukan dalam adonan gula merah. Menu yang cocok untuk berbuka. Entah kenapa disebut pangaha Kanggia,padahal dari bentuknya tidak sama seperti Kanggia. Menurut warga penganan ini termasuk kue khas Bima. Ada juga yang menyebutnya Baneba. Tapi di desa Padolo penganan yang manis lembut ini lebih dikenal dengan naman Pangaha Kanggia. Penganan ini sangat cocok untuk berbuka puasa karena lembut dan manis. Berbuka puasa dengan yang lembut dan manis adalah anjuran Nabi Muhammad SAW dan juga petunjuk kesehatan karena lambung kita belum bias menerima makanan yang keras terutama pada awal-awal berbuka puasa.
Gunung Londa dan Wadu Mbolo yang berada di sisi timur teluk Bima, menyimpan sebuah kisah indah di masa lalu. Al kisah, permaisuri Raja Dompu Sultan Nurullah sangat cantik dan baik hati. Permaisuri itu bernama Nurul Fatirah. Kecantikan dan kebaikan budi pekertinya membuat rakyat Dompu sangat senang kepadanya. Tetapi ada seorang nenek sihir yang sangat iri hati atas kecantikan dan kemuliaan budi Sang Permaisuri. Lalu dia menyihir Permaisuri menjadi se ekor kerbau betina. Seantero negeri terkejut melihat keanehan itu. Karena merasa malu menjadi kerbau, permaisuri keluar dari istana dan menyusuri hutan belantara bersama dua orang puterinya yang masih kecil yang bernama Nurul Patindah dan Nurtindah. Dalam pengembaraan itu, mereka akhirnya tiba di Gunung Londa, sebuah gunung di tepi teluk Bima. Mereka tinggal di gunung Londa. Dengan penuh ketabahan serta kasih sayang, Nurul Fatirah membesarkan kedua puterinya. Dia mengajarkan kedua puterinya tata krama, sopan santun serta shalat lima...
Pada masa lalu, wanita Mbojo memiliki tata busana harian yang terdiri dari Baju Bodo atau Baju Poro yaitu baju berlengan pendek yang mendapat pengaruh dari Makasar. Warna baju Bodo melambangkan status pemakaianya. Baju Poro berwarna merah adalah untuk para gadis. Baju Poro berwarna hitam dan ungu adalah untuk kaum ibu. Sedangkan warna kuning dan hijau adalah untuk wanita keluarga sultan. Di ujung lengan baju di pasang “Satampa baju”, berfungsi sebagai penutup lengan dan juga sebagai asesoris. Tetapi pada masa kini, seiring pesatnya pemakaian Jilbab, untuk menutup lengan hingga pergelangan tangan, kaum wanita menggunakan manset penutut dengan berbagai macam warna yang disesuaikan dengan warna baju poro. Demikian juga masalah warna, wanita Mbojo sudah tidak lagi mengikuti aturan dan tata cara masa lalu. Warna Baju Bodo sudah disesuaikan dengan selera zaman. Untuk pakaian bawah, pada masa lalu menggunakan Tembe su’i atau tembe songke (sarung songket), warna...
Kue tradisional Mbojo yang satu ini mirip krupuk. Bahkan di kampung saya sering menyebut dengan krupuk arunggina. Kadang juga disebut Renggina. Terlepas dari perbedaan penyebutan tersebut, Arunggina maupun Renggina cukup diminati oleh semua kalangan. Memakannya diwaktu panas atau dalam keadaan hangat adalah saat-saat yang tepat. Di Pasar Ama Hami Kota Bima, krupuk Arunggina sudah jarang ditemukan. Pada masa lalu, Arunggina sering dibuat ketika ada hajatanhajatan seperti acara Doa pada malam misfus sa’ban atau yang oleh orang-orang Bima dikenal dengan Do’a Bola. Bahan pembuatan Arunggina adalah beras ketan dan sedikit garam. Beras ketan direbus dengan dandan dan setelah matang dikeluarkan serta dibebentuk seperti layaknya kerupuk. Kemudian dijemur hingga kering, lalu Arunggina digoreng seperti krupuk. Kriuk renyahnya sangat terasa ketika Arunggina disajikan bersama makanan lainnya. Maraknya peredaran kerupuk dalam berbagai jenis dan cita rasa saat ini telah mengge...
Alunan Ziki Roko adalah untaian doa dan harapan senoga kegiatan penobatan Jena Teke ke 17 Kesultanan Bima berjalan dengan lancar. Ziki Roko adalah tradisi yang tumbuh dan berkembang di lingkungan Istana Bima dalam rangka keogiatan kegiatan di istana seperti acara Maulid dan Hanta UA PUA dan hari hari besar islam. Pada masa sultan Bima ke 2 Abdul khair Sirajuddin(1640 -1682) telah ditetapkan RAWI NAE MA TOLU KALI SAMBA'A Atau tiga pekerjaan besar yang tiga kali setahun yaitu Idul Fitri, Idul Adha dan UA PUA. Calender of event telah ditetapkan oleh kesultanan Bima sejak empat abad silam. Pada masa lalu, peserta Ziki Roko adalah khusus warga Salama,Santi, Kampung Nae, Kampung Melayu. dan kampuny kampung lainnya ziki adalah zikir.Roko adalah Loru atau menemani dan mendoakan untuk keselamatan dunia dan akhirat.” Mala ini, pelantun Ziki Roko didatangkan dari kampung Salama Kota Bima”. Papar Ketua Panitia, Abdul Karim Azis, SH. Pada minggu 18 September 2016 prosesi...
Perangkat Sirih dari Emas merupakan salah satu benda cagar budaya yang masih tersisa dari ratusan benda-benda pusaka peninggalan Kerajaan dan Kesultanan Bima. Pusaka ini masih ada dan tersimpan sebagai koleksi Museum Asi Mbojo. Pembuatan perangkat sirih ini diperkirakan dibuat seiring masuknya Islam di Bima pada abad XVII. Karena perangkat sirih merupakan salah satu kelengkapan Upacara Adat Hanta UA PUA. Dalam lingkungan Istana Bima, perangkat sirih merupakan salah satu kelengkapan untuk upacara adat maupun hajatan Istana. Ada dua tempat sirih yang dimiliki Kesultanan Bima. Keduanya terbuat dari emas lengkap dengan tempat tembakaunya. Ada juga tempat ludah dari emas yang disebut “ Boko “. Kelengkapan Sirih mencakup empat cerek. Dua di antaranya terbuat dari emas dan lainnya dari perak. Sementara penutupnya terbuat dari emas. Sejumlah perangkat makan juga hampir semuanya dari emas. Terdapat dua gelas besar (Ngamo atau Muk), yang satu emas dan dari kaca namun berpe...
Sepintas kita lihat bangunan ini adalah sebuah rumah panggung seperti rumah masyarakat Bima pada umumnya. Bangunan yang terkonstruksi dari kayu jati alam Bima ini adalah sebuah Istana yang disebut ASI BOU atau Istana Baru. Istana ini terletak di samping timur Istana Bima (Sekarang Museum Asi Mbojo). Dinamakan ASI BOU karena didirikan belakangan setelah pendirian Istana Bima pada tahun v1927, tepatnya pada masa Pemerintahan Sultan Ibrahim (1881 – 1936). ASI BOU Dibangun untuk putera Mahkota Muhammad Salahuddin. Namun setelah dinobatkan menjadi sultan, Muhammad Salahuddin memilih tinggal di Istana lama. Akhirnya ASI BOU ini ditempati oleh adiknya Haji Abdul Azis atau yang dikenal dengan nama Ruma Haji. Bangunan ini menghadap ke arah utara dengan panjang sekitar 16 Meter dan lebar 8 meter. Terdiri dari Sancaka Tando (Emperan Depan ) yang berfungsi sebagai ruang tamu. Ada juga beberapa kamar tidur sultan dan keluarganya. Kemudian dibelakangnya terdapat Sancaka Kontu (Serambi B...
Syair dan senandung adalah bagian dari kehidupan masyarakat Bima tempo dulu. Di peradaban tanah Donggo, syair dan senandung melingkupi seluruh rangkaian prosesi daur hidup masyarakatnya. Salah satu syair dan senandung yang masih eksis hingga saat ini adalah Inambaru. Senandung ini adalah ratapan yang menyayat hati sebagai ritual pelepasan terhadap seseorang yang dicintai yang pergi jauh dan meninggal dunia. Ketua Sanggar Ncuhi Mbawa, Ignasius Ismail mengungkapkan bahwa pada masa lalu, Inambaru dilantunkan khusus dalam peristiwa sakral, namun saat ini hanya untuk hiburan saja.” Pada masa lalu, ketika ada keluarga yang meninggal dunia, seorang perempuan melantunkan Inambaru sambil meracau dan menyebut kebaikan-kebaikan si mayat. “ Ungkap Ignasius Ismail yang juga pendeta gereja setempat. Ketika Inambaru dilantunkan, para pelayat menggerakkan tangan seperti mengelus si mayit. Orang Donggo memang memiliki tata cara sendiri dalam menguburkan mayat. Sebelum mayat dikub...