Gundala-gundala adalah atraksi kesenian pada Masyarakat Kabupaten Karo dengan menggunakan "topeng" kayu. Gundala-gundala pada masa lampau ditampilkan dalam upacara "ndilo wari udan" (memanggil hujan) pada musim kemarau panjang (di beberapa desa masih dilaksanakan sampai sekarang). Pada mulanya atraksi ini ditampilkan di Desa Seberaya mengisahkan legenda/dongeng si Gurda Gurdi. Menurut kisahnya, di masa lampau di dataran tinggi Karo hidup masyarakat yang rukun dan damai dipimpin seorang raja yang disebut "Sibayak" Sang raja memiliki satu-satunya keturunan yaitu seorang anak perempuan. Anak raja diperlakukan sebagai sorang putri yang yang sangat dimanjakan raja dengan sejumlah dayang-dayang yang senantiasa siap melayaninya. Setelah dewasa, sang putri menikah dengan seorang pemuda yang gagah perkasa, seorang pegawai istana yang saat itu bertugas sebagai kepala pengawal raja. Setelah perkawinannya, sang pengawal raja diberi jabatan baru sebagai Panglima Kerajaan. Suatu...
Pada jaman dahulu kala di sebuah desa kecil di tepi Danau Toba hiduplah sepasang suami-isteri dengan seorang anak perempuannya yang cantik jelita bernama Seruni. Selain cantik, Seruni juga tergolong sebagai anak yang rajin karena selalu membantu kedua orang tuanya ketika mereka sedang bekerja di ladang yang hasilnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Suatu hari, Seruni harus bekerja di ladang seorang diri karena kedua orang tuanya sedang ada keperluan di desa tetangga. Ia hanya ditemani oleh anjing peliharaannya yang diberi nama Si Toki. Sesampainya di ladang Seruni hanya duduk termenung sambil memandangi indahnya alam Danau Toba. Sementara anjingnya, Si Toki, ikut duduk disamping sambil menatap wajah majikannya yang tampak seperti sedang menghadapi suatu masalah. Sesekali sang anjing menggonggong untuk mengalihkan perhatian Seruni apabila ada sesuatu yang mencurigakan di sekitar ladang. Sebenarnya, beberapa hari terakhir Seruni selalu tampak murung. Hal i...
Di wilayah Sumatera, hidup seorang janda dengan anaknya bernama Sampuraga. Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil di hutan. Setiap hari mereka bekerja keras sebagai karyawan di sebuah peternakan yang dimiliki oleh orang kaya. Suatu hari, Sampuraga dan bosnya beristirahat, bersandar pada sebuah pohon setelah bekerja sepanjang hari. Sambil menikmati makan siang mereka, bos bertanya, "Sampuraga, kau masih muda. Mengapa kamu tidak pindah ke suatu negeri yang makmur dan mencari pekerjaan yang lebih baik? "Adalah Sampuraga seorang pemuda jujur dan rajin. Itulah mengapa bosnya peduli padanya dan menginginkan kehidupan yang lebih baik baginya. "Sebenarnya aku telah bermimpi` ve bergerak untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Saya ingin membuat ibuku bahagia. Tapi ke mana? "Tanya Sampuraga. "Anda harus pergi ke Mandailing. Salah satu teman saya tinggal di sana. Sebagian besar penduduk memiliki peternakan dan ladang. Mereka juga mencari hidup dengan panning emas di sungai karena memiliki tingka...
Labuhan Batu merupakan salah satu kabupaten yang berada di kawasan Pantai Timur Sumatera Utara. Kabupaten yang beribukota Rantau Prapat ini berjarak kurang lebih 300 km dari ibukota Provinsi Sumatera Utara, Medan, dan dapat ditempuh dengan menggunakan angkutan jalan darat, mobil atau kereta api selama 7-8 jam. Kabupaten ini memiliki potensi Daerah Tujuan Wisata yang belum dikelola dengan baik. Salah satu di antaranya adalah Pulau Si Kantan yang berada di pertemuan Sungai Barumun dan Sungai Bilah (di muara ini terkenal dengan ikan terubuknya) berhadapan dengan kota Labuhan Bilik (Kecamatan Panai Tengah) dan Tanjung Sarang Olang (Kecamatan Panai Hulu). Menurut cerita, Pulau Si Kantan dulunya tidak ada. Namun, ratusan tahun yang lalu telah terjadi sebuah peristiwa yang sangat luar biasa, sehingga pulau ini muncul di tengah-tengah Sungai Barumun. Peristiwa tersebut diceritakan dalam sebuah cerita rakyat yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Labuhan Batu. Cerita rakyat ini meng...
Parapat atau Prapat adalah sebuah kota kecil yang berada di wilayah Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Indonesia. Kota kecil yang terletak di tepi Danau Toba ini merupakan tujuan wisata yang ramai dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun mancanegara. Kota ini memiliki keindahan alam yang sangat mempesona dan didukung oleh akses jalan transportasi yang bagus, sehingga mudah untuk dijangkau. Kota ini sering digunakan sebagai tempat singgah oleh para wisatawan yang melintas di Jalan Raya Lintas Sumatera ( Jalinsum) bagian barat yang menghubungkan Kota Medan dengan Kota Padang. Selain sebagai objek wisata yang eksotis, Parapat juga merupakan sebuah kota yang melegenda di kalangan masyarakat di Sumatera Utara. Dahulu, kota kecil ini merupakan sebuah pekan [1] yang terletak di tepi Danau Toba. Setelah terjadi suatu peristiwa yang sangat mengerikan, tempat itu oleh masyarakat diberi nama Parapat atau Prapat. Dalam peristiwa itu, muncul sebuah batu yang menyerupai...
Alkisah, hiduplah seorang peladang di kampung tersebut. Dia biasa dipanggil Opung (kakek) Ketaren. Sebagai seorang peladang, Opung mau membuka hutan yang masih berada tidak jauh dari kawasan perkampungan untuk dijadikan lahan bercocok tanam. Dalam perjalanan menuju lokasi tersebut, Opung bertemu dengan sesosok mahkluk bertubuh kecil dengan kakinya terbalik. Tumitnya menghadap ke depan dan jari kakinya ke belakang. Orang-orang menyebutnya Umang. “Mau kemana?” Umang bertanya pada Opung. Opung menjelaskan bahwa dia mau membuka hutan untuk berladang padi. Umang pun menawarkan bantuan kepada Opung, dengan syarat Opung tidak boleh membawa perempuan dan anak kecil ke ladangnya. Opung menyanggupinya, walaupun dia sendiri punya seorang istri yang baru saja melahirkan. Akhir kata, Umang dan kawan-kawannya membantu Opung membuka hutan. Dalam satu hari, lahan seluas tiga hektar selesai dibersihkan dan siap untuk ditanam. Sebelum senja, Opung kembali...
Tradisi lompat batu di Pulau Nias, Sumatera Utara atau disebut sebagai hombo batu atau fahombo telah berlangsung selama berabad-abad. Tradisi ini lestari bersama budaya megalit di pulau seluas 5.625 km² yang dikelilingi Samudera Hindia dan berpenduduk 700.000 jiwa itu. Tradisi fahombo diwariskan turun-termurun di setiap keluarga dari ayah kepada anak lelakinya. Akan tetapi, tidak semua pemuda Nias sanggup melakukannya meskipun sudah berlatih sedari kecil. Masyarakat Nias percaya bahwa selain latihan, ada unsur magis dari roh leluhur dimana seseorang dapat berhasil melompati batu dengan sempurna. Lompat batu di Pulau Nias awalnya merupakan tradisi yang lahir dari kebiasaan berperang antardesa suku-suku di Pulau Nias. Masyarakat Nias memiliki karakter keras dan kuat diwarisi dari budaya pejuang perang. Dahulu suku-suku di pulau ini sering berperang karena terprovokasi oleh rasa dendam, perbatasan tanah, atau mas...
Nama Pulau Nias pasti sudah tidak asing lagi di telinga wisatawan lokal dan mancanegara. Apalagi untuk mereka yang hobi berselancar, pasti menyebut pulau ini sebagai surga. Pulau ini tidak hanya memanjakan wisatawan dengan wisata baharinya saja, nias juga menjadi rumah bagi budaya zaman batu kuno yang mengagumkan untuk disambangi. Salah satu keunikan budaya di Pulau Nias adalah tradisi lompat batu yang bernama Fahombo. Tradisi Fahombo diwariskan turun temurun di setiap keluarga dari ayah kepada anak lelakinya. Akan tetapi, tidak semua pemuda di Pulau Nias sanggup melakukannya meskipun sudah berlatih sejak kecil. Masyarakat Nias percaya, selain latihan terdapat unsur magis dari roh leluhur yang mempengaruhi keberhasilan melompati batu dengan sempurna. Lompat batu di Pulau Nias awalnya merupakan tradisi yang lahir dari kebiasaan berperang antar desa suku-suku di pulau ini. Masyarakat Nias diwarisi karakter keras dan kuat oleh budaya pejuang perang. Dahulu, suku-suku di pulau ini s...
Tradisi lompat batu di Pulau Nias, Sumatera Utara atau disebut sebagai hombo batu atau fahombo telah berlangsung selama berabad-abad. Tradisi ini lestari bersama budaya megalit di pulau seluas 5.625 km² yang dikelilingi Samudera Hindia dan berpenduduk 700.000 jiwa itu. Tradisi fahombo diwariskan turun-termurun di setiap keluarga dari ayah kepada anak lelakinya. Akan tetapi, tidak semua pemuda Nias sanggup melakukannya meskipun sudah berlatih sedari kecil. Masyarakat Nias percaya bahwa selain latihan, ada unsur magis dari roh leluhur dimana seseorang dapat berhasil melompati batu dengan sempurna. Lompat batu di Pulau Nias awalnya merupakan tradisi yang lahir dari kebiasaan berperang antardesa suku-suku di Pulau Nias. Masyarakat Nias memiliki karakter keras dan kuat diwarisi dari budaya pejuang perang. Dahulu suku-suku di pulau ini sering berperang karena terprovokasi oleh rasa dendam, perbatasan tanah, atau...