Tersebutlah pada zaman dahulu, kerajaan Bali berhasil membakar Desa Kenaga. Saat itu, yang menjadi pusat pemerintahan kerajaan Kenaga adalah Suradadi. Paihnya bernama Raden Satria Nata. Setelah kalah perang dengan Bali, Raden Satria Nata bersama pengikutnya mencari tempat untuk membuka desa baru. Akhirnya, dijumpailah tempat yang mirip dengan desa Kenaga. Desa itu bemama desa Madya. Raden Satria Nata dan pengikutnya kemudian membuka ladang dan bercocok tanam di situ. Tanaman yang paling cocok adalah jenis “komak” (dalam bahasa Jawa disebut “kara”). Konon, pada saat komak sedang berbunga, datanglah putri Jin mengisap sari bunga komak. Salah satu putri Jin tertangkap oleh Raden Satria Nata. Singkat cerita , putri Jin itu kemudian menjadi permaisuri Raden Satria Nata. Namun, kedua belah pihak telah bersepakat untuk tidak saling berbicara selama menjadi suami istri. Dalam perkawinan mereka, lahirlah seorang...
Naskah ini ditulis pada tanduk kerbau dengan menggunakan penulisan teknik gores, pada bagian ujung tanduk kerbau ini terdapat ukiran halus. Naskah ini terdiri dari 5 baris, dan juga naskah ini ditulis dengan menggunakan aksara Incung dan bahasa yang digunakan dalam penulisan naksah adalah bahasa Kerinci Kuno. Naskah ini berisikan tentang hal-hal mengenai tata cara pelaksanaan sesaji dan juga naskah ini berisikan mengenai petuah-petuah dan syarat-syarat untuk menjadi pemimpin. Naskah ini dipamerkan pada acara Pameran Gelar Museum Nusantara 2014 "Sabuk Peradaban Nusantara Jejak 1,5 juta tahun" yang diselenggarakan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pameran diselenggaran pada tanggal 22-24 November 2014 di Jakarta Convention Center.
Naskah La Galigo ini merupakan koleksi Museum La Galigo, Sulawesi Selatan Bahan dari kertas tidak berwatermark, sampul terbuat dari karton berwarna hitam dilapisi kertas tipis, berbentuk empat persegi panjang. Naskah ditulis dalam Aksara Lontarak, Bahasa Bugis dengan menggunakan tinta hitam. Jumlah halaman sebanyak 216. Kondisi naskah sudah tidak utuh lagi. Isi naskah antara lain: Mengisahkan tentang Sawerigading dan La Galigo ke Senrijaya. Naskah ini dipamerkan pada acara Pameran Gelar Museum Nusantara 2014 "Sabuk Peradaban Nusantara Jejak 1,5 juta tahun" yang diselenggarakan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pameran diselenggaran pada tanggal 22-24 November 2014 di Jakarta Convention Center.
Nakah ini merupakan koleksi dari Museum Provinsi Jawa Timur, Mpu Tantular Naskah ini berupa tembang dan berisi pelajaran-pelajaran Ilmu Tua atau biasa disebut Ilmu Kasampurnaan (Ilmu Kesempurnaan). Di buat di sebuah Perdikan yang bernama Kencana di daerah Surabaya sebelah selatan pada tahun 1459. Kitab ini telah diteliti oleh Prof, Dr. Purbatjaraka dan diantaranya memuat pelajaran-pelajaran tentang: Seseorang cenderung mengutamakan orang lain yang disukainya, seseorang cenderung membenci kepandaian orang lain dan menganggap kepandaian sendirilah yang paling tinggi. Ditulis oleh / Ditedunkan: I Nyoman Usana, Nusa Naskah ini dipamerkan pada acara Pameran Gelar Museum Nusantara 2014 "Sabuk Peradaban Nusantara Jejak 1,5 juta tahun" yang diselenggarakan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pameran diselenggaran pada tanggal 22-24 November 2014 di Jakarta Convention Center.
Aksara Jawa Kuno berasal dari Aksara Pallawa yang mengalami penyederhanaan bentuk huruf pada sekira abad VIII. Aksara Pallawa itu sendiri merupakan turunan Aksara Brahmi dan berasal dari daerah India bagian selatan. Aksara Pallawa menjadi induk semua aksara daerah di Asia Tenggara (e.g. Aksara Thai, Aksara Batak, Aksara Burma). Secara lengkap aksara jawa bisa dilafalkan menjadi sebuah kalimat “Hanacaraka, data-sawala, pada jayanya, magha-batanga” . Secara terpisah aksara tadi bisa dijelaskan mulai dari “Ha-Na-Ca-Ra-Ka” yang mengisahkan tentang dua orang sakti, “Da-Ta-Sa-Wa-La” menceritakan kalau keduanya terlibat perselisihan hingga mereka berkelahi. “Pa-Da-Ja-Ya-Nya” menyebutkan kalau keduanya sama – sama sakti, pada kumpulan aksara yang tersisa “Ma-Ga-Ba-Tha-Nga” menceritakan kalau akhirnya dua orang sakti tadi tewas be...
Nyobeng merupakan acara memandikan atau membersihkan tengkoran manusia hasil ngayau. Upacara Nyobeng ini dilaksanakan setiap tanggal 15 Juni, yakni setelah musim panen padi dan untuk menghadapi musim pemggarapan ladang berikutnya. Puncak ritual ini dilaksanakan di Rumah Balug (Rumah Adat) yang berada di tengah kampung, di rumah inilah tersimpan benda pusakan seperti gong, simlog atau sibakng (menyerupai bedug), tengkorak hasil ngayau para leluhur, kalung dari taring babi dan sebagainya. Sebelum acara dimulai, di batas kampung diadakan upacara "Naburi" (Upacara "Pepasan"), yakni para tamu dipercikkan air menggunakan daun anjuang yang telah diberi mantera sebagai penolak bala, kemudian tamu menginjak buah kundur yang diletakkan dalam suatu wadah. Menjelang acara ritual, setiap rumah membuat sesajen dan dioleskan darah sayap ayam, darah sayap ayam ini sebagian dipercikkan ke berbagai tempat yang dianggap sakral, sekitar rumah adat dan perkampungan. Menjelang sore hari ketua adat me...
Untuk memperbaiki kehidupan keluarga maka Ginting Mergana mendirikan perjudian yaitu “judi rampah” dan dia mengutip cukai dari para penjudi untuk mendapatkan uang. Lama kelamaan upayanya ini memang berhasil. Keberhasilan Ginting Mergana ini menimbulkan cemburu adik kandungnya sendiri. Adik kandungnya ini justru meracuni Ginting Mergana sehingga sakit keras. Akhirnya meninggal dunia. Melaratlah hidup Beru Ginting Sope Mbelin bersama Beru Sembiring. Empat hari setelah kematian Ginting Mergana, menyusul pula beru Sembiring meninggal. Maka jadilah Beru Ginting sope Mbelin benar-benar anak yatim piatu, tiada berayah tiada beribu. Beru Ginting Sope Mbelin pun tinggal dan hidup bersama pakcik dan makciknya. Anak ini diperlakukan dengan sangat kejam, selalu dicaci-maki walaupun sebenarnya pekerjaannya semua beres. Pakciknya berupaya memperoleh semua harta pusaka ayah Beru Ginting Sope Mbelin, tetapi ternyata tidak berhasil. Segala siasat dan tipu muslihat pakciknya b...
Pada suatu masa, hiduplah sepuluh orang putri raja yang sangat cantik-cantik. Ibu mereka sudah lama meninggal dan ayah mereka, sang raja, begitu sibuk dengan urusan kerajaannya sehingga mereka hampir tidak punya waktu untuk berkumpul bersama. Akibatnya putri-putri ini menjadi nakal dan manja, kecuali sang putri bungsu, putri Kuning. Ya, mereka memang diberi nama dengan nama warna. Ada putri Jambon, putri Hijau, putri merah merona, putri nila dan lain-lain. Barangkali dulu sang ibu berharap anak-anaknya akan memberi banyak warna di kehidupan ini. Sayang, sang ibu keburu meninggal sehingga tidak sempat mendidik mereka sengan baik. Kesepuluh putri ini selalu memakai pakaian dan perhiasan yang sewarna dengan nama mereka. Putri Merah selalu memakai warna merah, demikian juga putri-putri lainnya. Sementara kakak-kakaknyabermalas-malasan dan membuat keonaran, putri Kuning menghabiskan waktu dengan membantu inang-inangnya, atau membaca buku, dan atua merawat kebun bunga kesayanganny...
Pada tahun 1890 seorang pria bernama Salam tinggal di Serawak Malaysia dan mempunyai abang bernama Amran. Salam telah menjalin hubungan secara diam-diam dengan gadis bernama Rukiah. Hubungan ini tidak diketahui oleh orangtua Salam. Rukiah adalah seorang gadis baik dan berparas cantik. Ayah Salam ingin menikahkan Amran dengan seorang gadis. Pada suatu hari ia bertanya pada Amran apakah dia ingin menikah. Karena dilihatnya Amran sudah “berumur”. Amran menjawab, “Kalau Ayah hendak menikahkan aku, terserah pada Ayah saja,”. Konon pada jaman dahulu, pasangan hidup diatur oleh orangtua. Ayahnya kembali bertanya pada Amran, “Siapa yang kau suka untuk menjadi istrimu?”. “Terserah siapa yang Ayah suka untuk menjadi istriku, aku ikut saja,”. Pilihan satu-satunya gadis yang baik dan cantik di daerah Serawak ialah Rukiah. Singkat cerita, dinikahkanlah Amran dengan Rukiah. Saat pernikahan mereka, Salam menjadi putus asa. Beberapa waktu kemu...