Menurut kepercayaan masyarakat Jawa yang ditulis pada kitab kuno abad 15, Pulau Jawa dulunya mengambang di lautan luas dan terombang-ambing dipermainkan ombak. Pada suatu saat Sang Hyang Siwa datang ke pulau tersebut dilihatnya banyak pohon Jawawut, sehingga pulau tersebut dinamakan Jawa. Namun pulau tersebut masih terombang ambing tak menentu. Para Dewa lalu memutuskan untuk memaku Pulau Jawa dengan cara memindahkan Gunung Meru di India di atas Pulau Jawa. Untuk memindahkan Gunung Meru tersebut, Dewa Wisnu kemudian menjelma menjadi seekor kura-kura raksasa dan menggendong gunung itu di punggungnya, sementara Dewa Brahma menjelma menjadi ular panjang yang membelitkan tubuhnya pada gunung dan badan kura-kura sehingga gunung itu dapat diangkut. Kedua dewa tersebut lalu meletakkan gunung Meru di bagian barat Pulau Jawa. Tetapi berat gunung itu mengakibatkan ujung pulau bagian timur terangkat ke atas. Wisnu dan Brahma lalu memotong Gunung Meru dan meletakkannya...
Prasasti Mula Malurung adalah piagam pengesahan penganugrahan desa Mula dan desa Malurung untuk tokoh bernama Pranaraja. Prasasti ini berupa lempengan-lempengan tembaga yang diterbitkan Kertanagara pada tahun 1255 sebagai raja muda di Kadiri, atas perintah ayahnya Wisnuwardhana raja Singhasari. Kumpulan lempengan Prasasti Mula Malurung ditemukan pada dua waktu yang berbeda. Sebanyak sepuluh lempeng ditemukan pada tahun 1975 di dekat kota Kediri, Jawa Timur. Sedangkan pada bulan Mei 2001, kembali ditemukan tiga lempeng di lapak penjual barang loak, tak jauh dari lokasi penemuan sebelumnya. Keseluruhan lempeng prasasti saat ini disimpan di Museum Nasional Indonesia, Jakarta.
Prasasti Dinoyo bertarikh 682 Saka atau 760 Masehi, ditulis dengan aksara Jawa Kuno (Kawi) dan menggunakan bahasa Sansekerta, dengan candrasengkala “ Nayana Vasu Rasa ”. Prasasti ini ditemukan di dekat pasar Dinoyo lama (sekarang menjadi pertokoan), dan sekarang menjadi koleksi Museun Nasional Jakarta dengan nomor inventaris D.113. Meski sudah lama dijumpai penduduk sekitar, tetapi baru tahun 1916 dipublikasikan oleh Dr. F.D.K. Bosch dengan judul “ De Sanskrit-Inscriptie op den Steen van Dinaya ”. Prasasti Dinoyo ini terpahatkan pada batu andesit dengan tinggi 1,10 meter, yang pada waktu ditemukan dalam keadaan pecah menjadi tiga bagian. Bagian terbesar berada di Dinoyo, sedangkan dua pecahan kecil lainnya ditemukan di Merjosari. Prasasti ini ditulis oleh salah seorang cucu Raja Gajayana yang bernama Anana, dan isinya menurut Poerbatjaraka adalah sebagai berikut: 1. âsîn narap...
Prasasti Galunggung memiliki tinggi sekitar 160 cm, lebar atas 80 cm, lebar bawah 75 cm. Prasasti ini terletak di Rejotangan, Tulungagung. Di sekeliling prasasti Galunggung banyak terdapat tulisan memakai huruf Jawa kuno. Tulisan itu berjajar rapi. Total ada 20 baris yang masih bisa dilihat mata. Sedangkan di sisi lain prasasti beberapa huruf sudah hilang lantaran rusak dimakan usia. Di bagian depan, ada sebuah lambang berbentuk lingkaran. Di tengah lingkaran tersebut ada gambar persegi panjang dengan beberapa logo. Tertulis pula angka 1123 C di salah satu sisi prasasti: sumber :http://ilhamblogindonesia.blogspot.com/2013/08/10-benda-benda-dan-bangunan-peningalan.html#ixzz2ymXjVn2s
Prasasti Kamulan ini berada di Desa Kamulan, Trenggalek, Jawa Timur. Prasasti ini dibuat dan dikeluarkan pada masa pemerintahan Raja Kertajaya, pada tahun 1194 Masehi, atau 1116 Caka. Melalui prasasti ini disebutkan bahwa hari jadi dari Kabupaten Trenggalek sendiri tepatnya pada hari Rabu Kliwon, tanggal 31 Agustus 1194.
Nasi Tumpang Pecel adalah makanan khas daerah Kediri yang berupa nasi yang menggunakan kuah berupa sambal tumpang dan juga sambel pecel. Sambal tumpang sendiri merupakan sambal yang dibuat dengan bahan baku tempe yang sudah kering (tempe bosok) dan dimasak dengan ayam serta kadang-kadang rambak (kulit sapi). Nasi tumpang populer di daerah Kediri dan sekitarnya dan digunakan sebagai menu sarapan pagi, dijual di warung-warung makan di pagi hari sebelum berangkat bekerja. Jika anda berjalan-jalan ke Kota Kediri pada malam hari, belum lengkap jika tidak berkunjung di Jalan Dhoho. Jalan Dhoho ini layaknya Jalan Marlboro di Yogyakarta, namun versi Kediri. Berbagai pertokoan berjajar sepanjang Jalan Dhoho. Ada toko pakaian, aneka kerajinan dan swalayan. Tidak lupa berbagai makanan khas Kediri juga terpampang sepanjang jalan ini. Setiap malam di atas pukul 21.00 WIB, setelah pertokoan tutup, seluruh trotoar di jalan itu menjadi warung lesehan nasi pecel dan nasi tumpang....
Upacara Keduk Bedji merupakan salah satu cara untuk melestarikan adat budaya penduduk Desa Tawun sejak jaman dulu. Tujuan utamanya adalah mengeduk atau membersihkan Sumber Beji dari kotoran. Karena di sumber inilah letak kehidupan penduduk Tawun. Menurut masyarakat sekitar, Keduk Bedji harus dilaksanakan pada hari Selasa Kliwon setelah panen di bulan Oktober. Inti dari ritual ini, terletak pada penyilepan atau penyimpanan kendi di pusat sumber air Beji. Pusat sumber tersebut terdapat di dalam gua yang terdapat di dalam sumber. Ritual ini berawal dari pengedukkan atau pembersihan kotoran di dalam sumber Beji. Seluruh pemuda desa terjun ke air sumber untuk mengambil sampah dan daun-daun yang mengotori kolam dalam setahun terakhir. Setelah itu, ritual dilanjutkan dengan penyilepan kendi ke dalam pusat sumber. Setelah itu, penyiraman air legen ke dalam sumber Beji dan penyeberangan sesaji dari arah timur ke barat sumber. Selama penyeberangan sesaji, para pemuda yang berad...
Sejarah diadakannya Grebeg Suro di Kabupaten Ponorogo adalah adanya kebiasaan masyarakat pada malam 1 Suro yang mengadakan tirakatan semalam suntuk dengan mengelilingi kota dan berhenti di alun-alun Ponorogo. Pada tahun 1987 Bupati Soebarkah Poetro Hadiwirjo melihat fenomena ini dan melahirkan gagasan kreatif untuk mewadahi kegiatan mereka dengan kegiatan yang mengarah pada pelestarian budaya. Sebab ditengarainya minat para pemuda terhadap kesenian khas Ponorogo mulai luntur, untuk itu diadakanlah Grebeg Suro dan memasukkan Reog didalamnya. Seni dan tradisi yang ditampilkan meliputi Festival Reog Nasional, Pawai Lintas Sejarah dan Kirab Pusaka, dan Larungan Risalah Doa di Telaga Ngebel(Wikipedia). Perayaan Grebeg Suro adalah acara yang diadakan Kabupaten Ponorogo setiap tahun guna menyambut datangnya tahun baru Islam (1 Muharram). Berbagai acara-acara dihelat di Kota Reyog dari awal bulan November ini seperti Tari SI Potro, Istighozah, Lo...
Batil adalah salah jenis makanan tradisional khas Lamongan Jawa Timur, yang biasanya di hidangkan dalam acara-acara resmi. Namun, salah seorang warga setempat, menjadikannya sebagai bahan utama dalam es dawet sajiannya. Hasilnya, tiap hari warung es Dawet Batil tersebut, tak pernah sepi dari pembeli. minuman yg terbuat dari beras yg diproses sehingga terbentuk menjadi batil ,kemudian dalam penyajian nya ditambah variasi seperti rumput laut,siwalan, muntiara,kacang ijo,ketan hitam,dan santan. Tidak mudah menjumpai jenis makanan tradisional bernama Batil di Lamongan. Meski di kenal sebagai makanan khas, Batil yang bentuknya mirip Wajik ini hanya bisa di jumpai di desa Bulu Brangsi kecamatan Laren. Saat ini, makanan yang terbuat dari beras di campur tape beras dan parutan Kelapa yang memiliki rasa manis bercampur asam ini, mulai populer dalam sajian es Dawet Batil.