Naskah ini memuat "katurangganing manungsa" yang dihubungkan dengan sifat-sifat baik dan buruknya. Semula teks ini berbentuk prosa dan berbahasa Jawa ngoko, kemudian digubah dalam bentuk tembang macapat.
Lakon wayang madya disadur dalam bentuk tembang macapat, Ceritera Prabu Meru Supadma, raja dinegri para ditya, yang melamar Dyah Pramesti. Setelah ditolak, maka terjadi peperangan antara Merusupadma dari Ngima-imantaka dengan Kediri/Malang, Meru Supadma dikalahkan oleh Anging Darma dari Malwapati. Sumber: http://navigasi-budaya.jogjaprov.go.id/heritage/naskah-kuno/1622#prettyPhoto
Naskah ini berisi piwulang tentang kesulitan hidup seseorang karena 9 macam prilaku yang kesemuanya itu mulai dengan huruf “m”, yaitu : meneng, mantu, mangan, minum, madat, madon, main, maling dan mati. Naskah sejenis dengan teks ini ialah MSB/P205, yaitu serat Manising Min. Bandingkan juga serat Ma- Lima dari kraton Surakarta, SMP/KS-387 Naskah tidak dilengkapi dengan kolofon atau informasi tekstuil lain mengenai asalmulanya. Namun melihat kertas yang digunakan,maka dapat diperkirakan bahwa naskah disalin sekitar awal abad ke-20. Nama penyalin dan tepat tidak diketahui. Pada h.18 naskah terdapat catatan berbunyi “Mas Ngabei Dutapanukma, Gandekan Kiwa.” Barangkali Dutapanukma itu pernah memiliki naskah ini. Gandekan Kiwa adalah nama kampung di Surakarta. Pada halaman yang sama terdapat catatan lagi, ialah sebuah surat kepada ‘’Mas Lurah Jayamesa’’, menerangkan bahwa yang menulis surat (namanya tidak disebutkan) terpaksa p...
Buki ini melaporkan tentang R.T. Sastradiningrat, bupati carik dari Surakarta, yang memerintahkan kepada M.Ng. Jayapranata supaya mengadakan penelitian terhadap kali-kali yang kemungkinan dapat dibendung untuk pengairan sawan-ladang. Mulai h.68r sampai tamat ada beberapa catatan tambahan dari seseorang yang bernama Marsana, anak M. Jayataruna di timuran, Solo. Nama penyalin teks pokok ( h.1-67) tidak disebutkan,tetapi mungkin juga di Solo, pada awal abad ke-20. Menurut keterangan pada h. Xv, teks dikarang di Palur pada tahun 1838 (=1908). Pengarang bernama M.Ng. Jayapranata (yaitu sperti yang dijelaskan dalam jalan cerita teks sendiri), Yng menyusun laporan mengenai keadaan kali-kali di daerah Surakarta atas permintaan dari R.T. Sastradiningrat, abdidalem carik Kraton Surakarta. Sumber: http://navigasi-budaya.jogjaprov.go.id/heritage/naskah-kuno/1647
Buku ini memuat keterangan keterangan tentang rumah orang jawa, antara lain dari rumah kayuserta bentuk bentuknya, pemilihan kayu jati yang baik warnanya, awet, yang mempunyai angsar baik dan tidak baik, cara menebang, anggebing atau cara menyigar kayu, ukuran balungan,dll. Diurutkan sejak jaman kuno. Ringkasan dari masa Panti Boedja ada dua : buatan R. Tonojo (1 halaman ketikan) dan M. Sinoe Moendisoera ( 3 halaman, tulisan tangan ,huruf jawa). Naskah juga pernah dibuat alihaksara pada jaman Panti Boedja; Lihat LL13. Menurut kolofonnya (h.39), naskah disalin oleh Mangundarma di Surakarta. Penyalinan selesai pada hari 23 Robigulahir, Ehe 1836 (16 Juni 1906).
Wirid Hidayat Jati adalah Sebuah kitab mistik karya dari R. Ng. ronggowarsito . Kitab ini kadangkala disebut secara singkat dengan nama Serat Wirid atau Hidayat Jati . Kebanyakan isi dari serat Hidayat jati ini mengajarkan tentang Tasawuf. Hidayat jati disusun dalam bentuk prosa ( Jarwo ), berisi ajaran mistik yang sangat lengkap. Serat ini menerangkan secara lengkap tata cara mengajarkan ilmu makrifat untuk kesempurnaan hidup seperti yang disebutkan oleh para wali. Ajaran wali ini ada pada akhir kerajaan Demak sampai kerajaan Pajang, delapan wali yang mau memberikan ajaran wirid yaitu : Sunan Parapen, ajarannya tentang bisikan adanya zat, Sunan Drajat, ajarannya tentang wahana, Sunan Ngatasangin, penjelasan tentang keadaan zat, Sunan Kalijaga, ajarannya tentang susunan singgasana Baitul Makmur, Sunan Tambayat, ajarannya tentang singgasana Baitul Muharram, Sunan Padusan, ajarannya tentang si...
Serat Nitisruti adalah sebuah naskah kuno karangangan Pangeran Karanggayam dari Pajang, yang selesai ditulis pada tahun 1612 dan berisi petuah-petuah dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kitab ini segala hal yang menyangkut tata karma orang Jawa dibahas. Dibawah ini di kutipkan salah satu pupuh yakni pupuh pucung yang terdapat dalam serat Nitisruti yang khusus mengajarkan tentang cinta kasih terhadap sesama dan terjemahan dibawahnya dalam bahasa Indonesia untuk memudahkan pembaca di luar Jawa memahami isinya. 1 Kang sinebut ing gesang ambeg linuhung, kang wus tanpa sama, iku wong kang bangkit, amenaki manahe sasama-sama. 2 Saminipun kawuleng Hyang kang tumuwuh, kabeh ywa binada, anancepna welas asih, mring wong tuwa kang ajompo tanpa daya. 3 Malihipun rare lola kawlas ayun, myang pekir kasiyan, para papa anak yatim, openana pancinen sakwasanira. 4 Mring wong luput d...
Kata pepali dalam bahasa sastra Jawa Indonesia karangan S. Prawira Atmaja artinya “pantangan” atau “larangan”. Oleh Tardjan Hadidjaya diartikan “pakem” atau pedoman hidup. Sedangkan oleh Seotardi Soeryahoedoyo mengartikan pepali adalah ajaran, petunjuk dan aturan. Ketiga pendapat ini benar sebab apa yang ada dalam pepali Ki Ageng Selo berisi pedoman hidup yang menyangkut tentang ajaran, petunjuk, aturan, maupun larangan, yang kenyataannya masih banyak yang relevan dengan keadaan zaman sekarang. Siapa Ki Ageng Selo? Beliau adalah nenek moyang yang menurunkan raja-raja Mataram. Sri Sunan Paku Buwana XII yang bertahta di kerajaan Surakarta sekarang ini adalah keturunannya ke-17. Adapun urutannya, Prabu Brawijaya V beristeri puteri Wandan Kuning, maka lahirlah Bondan Kejawan. Bondan Kejawan mengawini Roro Nawangsih dan berputera Ki Ageng Getas Pendhawa. Ki Ageng Getas Pendhawa menikahi Putri Sunan Maja Agung, lahirlah Ki Ageng Abdul...
Wayang kulit Cina - Jawa atau yang lebih dikenal dengan sebutan Wayang Thithi mulai dikenal di Yogyakarta pada tahun 1925 hingga sekitar tahun 1967. Istilah thithi sendiri didapat dari suara alat musik yang terbuat dari kayu berlubang yang biasa mengiringi setiap pertunjukan wayang kulit China yang jika dipukul akan mengeluarkan suara thek…thek…thek.. Suatu bunyi yang terdengar di telinga orang Jawa sebagai thi… thi… thi… Untuk lakon sendiri, berbeda dengan wayang kulit Jawa yang selalu mengangkat lakon dari dua epos terkenal yakni Ramayana dan Mahabarata maka untuk wayang thithi ini lakon atau cerita yang dimainkan adalah mitos dan legenda negeri Tiongkok seperti San Pek Eng Tay, Sam Kok, Thig Jing Nga Ha Ping She, dan sebagainya. Dan karena wayang thithi merupakan sebuah kesenian budaya hasil akulturasi dari kebudayaan China dan Jawa maka tokoh-tokoh yang terdapat dalam lakon wayng thithi inipun perpaduan dari dua kebudayaan...