Parapat atau Prapat adalah sebuah kota kecil yang berada di wilayah Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Indonesia. Kota kecil yang terletak di tepi Danau Toba ini merupakan tujuan wisata yang ramai dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun mancanegara. Kota ini memiliki keindahan alam yang sangat mempesona dan didukung oleh akses jalan transportasi yang bagus, sehingga mudah untuk dijangkau. Kota ini sering digunakan sebagai tempat singgah oleh para wisatawan yang melintas di Jalan Raya Lintas Sumatera ( Jalinsum) bagian barat yang menghubungkan Kota Medan dengan Kota Padang. Selain sebagai objek wisata yang eksotis, Parapat juga merupakan sebuah kota yang melegenda di kalangan masyarakat di Sumatera Utara. Dahulu, kota kecil ini merupakan sebuah pekan [1] yang terletak di tepi Danau Toba. Setelah terjadi suatu peristiwa yang sangat mengerikan, tempat itu oleh masyarakat diberi nama Parapat atau Prapat. Dalam peristiwa itu, muncul sebuah batu yang menyerupai...
Piso Toba ini terbuat dari kayu, besi, kuningan dan ada sekitar abad ke 19.
Piso Gading berasal dari Toba yang bahannya terbuat dari kayu, rotan, gading dan memiliki panjang 69 cm dan ada pada abad ke-19.
Dipasang di pintu utama rumah adat dengan maksud melindungi selurug penghuninya. Ornamen ini merupakan ukiran kayu seseorang dengan ayam berkokok dikepalanya, dalam posisi mempersembahkan cawan, dan menunggangi seekor singa. Ukiran/ penutup wadah tersebut memiliki panjang sekitar 10,5 cm, sedangkan wadahnya 23,5 cm. Alat ini dibuat sekitar akhir abad 19.
Ini adalah ukiran kalung sepanjang 11 cm yang menggambarkan lelaki telanjang. Dibuat sekitar abad 19 menggunakan timah.
Hujur merupakan senjata tradisional berupa tombak yang biasa digunakan oleh masyarakat. Mata tombaknya pipih terbuat dari logam, panjang sekitar 25 cm dan lebarnya 5,5 cm. Tangkai hujar terbuat dari kayu yang panjangnya sekitar 2 meter. Digunakan Suku Batak untuk berperang ketika melawan musuh dan penjajah. Sumber: https://gpswisataindonesia.info/2014/06/senjata-tradisional-sumatera-utara/
Parhalaan adalah kelender yang digunakan untuk menentukan hari baik dan hari buruk. Suku Batak tidak membuat kegiatan tertentu tanpa Parhalaan. Digunakan oleh Datu dalam menentukan hari dilakukannya upacara tertentu, perjalanan, dimulainya perang, dan juga membaca hari kelahiran bayi. Kalender Batak sendiri terdiri dari 12 bulan berdasarkan bulan.
Berbagai pisau ini dibuat sekitar Abad 19 dengan dimensi panjang sekitar 31-55 cm. Pegangan pisau ini terbuat dari kayu daj gading. Sarungnya ditutupi perak dan suasa.
Tempat ramuan untuk bahan sihir ini dibuat sekitar akhir abad 19 atau awal abad 20. Biasanya dimiliki dukun terbuat dari tanduk kerbau (berongga) permukaan luarnnya diukir ornamen khas Batak. Ujung tanduk (bagian runcing) merupakan ukiran orang yang sedang duduk dan bagian penutup/kayu penyumbatnya berbentuk ukiran singa yang ditunggangi manusia.