Permainan lojo ini menggunakan alat yang terbuat dari tempurung kelapa yang dilubangi. Permainan lojo ini biasa dimainkan oleh anak laki-laki. Dan untuk perempuan biasa disebut dengan pebudo. Sumber: https://www.jatikom.com/2018/11/34-provinsi-permainan-tradisional.html#ixzz5XxRPpFjK
Kenangan masa kanak kanak, sering kali membuat kita terasa ingin mengulang kembali saat saat indah penuh keceriaan bermain bersama teman teman waktu kecil dulu, dunia anak anak dunia penuh ekspresi, persahabatan dan hanya keceriaan tanpabatas batas golongan atau kelas strata sosial. Begitulah kami dulu anak anak dari kota kecil di Kendari yang menikmati dunia kanak kanak kami dengan permainan permainan “tradisional”, maklum permainan yang berbau teknologi seperti game on line atau Play Station sekarang ini di jaman kami dulu itu belum ada, kalaupun ada jenis jenis permainan yang “berteknologi” namun itu hanya terbatas pada teman teman anak orang mampu saja namun secara umum kami semua dan termasuk anak orang mampu lebih menikmati permainan tradisional seperti main enggo lari atau enggo sembunyi, main asin (gobak sodor), main cele (main benteng), main tar tar pakai sodokoro (senjata bambu dengan peluru bunga jambu air atau kertas yang dibasahi) main...
Lebaran hadir sekali setahun menyatukan kerabat yang terpisah jarak. Dari rantau, pulang ke kampung halaman membawa rindu. Kasarawi, festival rakyat yang mengumpulkan kangen anak-anak Pulau Makasar di Baubau Sulawesi Tenggara (Sultra). Akhirman, Baubau Tahun ini, H Sarifuddin bahagia sekali bisa lebaran lagi di kampung halamannya, di Pulau Makasar (Puma), Baubau. Sudah lama, pria itu menetap dan membangun rumah tangga di Flores, Nusa Tenggara Timur. Seingatnya, terakhir kali ia ikut salat Idul Fitri di Puma, dua tahun lalu. Bila pun pernah pulang, bukan saat lebaran. “Banyak kawan-kawan masa kecil saya yang juga pulang ternyata. Makanya, saya senang bisa kumpul dengan keluarga besar di Puma plus bertemu kawan-kawan lama,” kata lelaki yang bekerja sebagai pegawai di Kota Kendari ini. Kebahagiaannya kian lengkap karena para tetua kampung berinisiatif menggelar sebuah festival bernama Kasarawi, pesta berkumpulnya para perantau. Dalam hitungan penyelenggara...
Alkisah, di sebuah dusun di daerah Sulawesi Tenggara, hiduplah seorang anak laki-laki yatim bernama La Moelu yang masih berusia belasan tahun. Ibunya meninggal dunia sejak ia masih bayi. Kini, ia tinggal bersama ayahnya yang sudah sangat tua dan tidak mampu lagi mencari nafkah. Jangankan bekerja, berjalan pun harus dibantu dengan sebuah tongkat. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, La Moelu-lah yang harus bekerja keras. Karena masih anak-anak, satu-satunya pekerjaan yang dapat dilakukannya adalah memancing ikan di sungai yang terletak tidak jauh dari tempat tinggalnya. Pada suatu hari, La Moelu pergi memancing ikan di sungai. Hari itu, ia membawa umpan dari cacing tanah yang cukup banyak dengan harapan dapat memperoleh ikan yang banyak pula. Saat ia tiba di tepi sungai itu, tampaklah kawanan ikan muncul di permukaan air. Ia pun semakin tidak sabar ingin segera menangkap ikan-ikan tersebut. Dengan penuh semangat, ia segera memasang umpan pada mata kailnya lalu melemparkannya ke ten...
Alkisah, di sebuah dusun di daerah Sulawesi Tenggara, hiduplah seorang anak laki-laki yatim bernama La Moelu yang masih berusia belasan tahun. Ibunya meninggal dunia sejak ia masih bayi. Kini, ia tinggal bersama ayahnya yang sudah sangat tua dan tidak mampu lagi mencari nafkah. Jangankan bekerja, berjalan pun harus dibantu dengan sebuah tongkat. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, La Moelu-lah yang harus bekerja keras. Karena masih anak-anak, satu-satunya pekerjaan yang dapat dilakukannya adalah memancing ikan di sungai yang terletak tidak jauh dari tempat tinggalnya. Pada suatu hari, La Moelu pergi memancing ikan di sungai. Hari itu, ia membawa umpan dari cacing tanah yang cukup banyak dengan harapan dapat memperoleh ikan yang banyak pula. Saat ia tiba di tepi sungai itu, tampaklah kawanan ikan muncul di permukaan air. Ia pun semakin tidak sabar ingin segera menangkap ikan-ikan tersebut. Dengan penuh semangat, ia segera memasang umpan pada mata kailnya lalu melemparka...
Dahulu, di sebuah kampung di Sulawesi Tenggara, hiduplah sepasang suami istri. Saat itu, sang istri sedang hamil tua. Semakin mendekati masa kelahiran, ia sering mengalami kesakitan seperti ada benda tajam yang menusuk-nusuk perutnya dari dalam. Melihat keadaan tersebut, sang suami pun hanya bisa pasrah dan berdoa semoga istri yang amat dicintainya itu dapat melahirkan dengan selamat. Akhirnya, sang istri pun melahirkan anak lelaki kembar. Ajaibnya, kedua anak itu lahir bersama dengan sebuah keris pusaka di tangan kanan masing-masing. Pasangan suami istri pun baru menyadari bahwa ternyata kedua keris itulah yang kerap menusuk-nusuk perut sang istri. Mereka kemudian memberi nama kedua anak kembarnya itu Indara Pitaraa dan Siraapare dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Sepuluh tahun kemudian, Indara Pitaraa dan Siraapare telah tumbuh menjadi remaja. Namun sayangnya, mereka menjadi anak yang nakal. Keris pusaka itu menjadi sumber kenakalan mereka. Mer...
Tari Mowindahako Tari Mowindahako tarian adat tradisional daerah Sulawesi Tenggara. Bersifat ekslusif, tarian ini dilaksanakan hanya bagi bangsawan atau anakia. Yaitu dilaksanakan apabila suatu pinangan mereka sudah diterima. Hal ini dilakukan sebagai wujud rasa senang maka diadakan tarian Mowindahako atau yang dikenal dengan nama lain yaitu tarian membesara. Ada yang menyatakan bahwa tarian ini mirip dengan kegiatan pada saat upacara adat perkawinan. Seperti menggunakan kalo, siwole dan menirukan model percakapan antara juru bicara laki-laki dan wanita. https://www.silontong.com/2018/10/10/tarian-tradisional-daerah-sulawesi-tenggara-gambar/
** Rumah Adat Tolaki di Wonua Mekongga Rumah Adat Mekongga adalah rumah adat suku Tolaki. dalam dialek Mekongga Raha berarti Rumah yang memiliki arti seperti Poiaha (tempat tinggal/kediaman) . Bangunan ini berukuran luas, besar, dan berbentuk segi empat terbuat dari kayu dengan diberi atap dan berdiri diatas tiang- tiang besar yang tingginya sekitar 20 kaki dari atas tanah, rumah adat ini merupakan rumah adat hasil penduplikasian dari peninggalan ayah Kapita Konggoasa Latambaga yaitu Bokeo Latambaga alias Bio Seka, yang merupakan Raja Mekongga pada tahun 1906-1932. Bangunan ini terletak disebuah tempat yang terbuka di dalam hutan dengan dikelilingi oleh rumput alang-alang. Pada saat itu bangunan tingginya sekitar 60-70 kaki. Dipergunakan Sebagai tempat bagi raja untuk menyelenggarakan acara-acara yang bersifat seremonial atau upacara adat. Rumah Adat Tolaki di Mekongga perbentuk panggung yang terdiri dari 12 tiang penyangga yang bermakna 12 orang pemimpin yang berpengaruh...
Istana Sultan Buton (disebut Kamali atau Malige) meskipun didirikan hanya dengan saling mengait, tanpa tali pengikat ataupun paku, dapat berdiri dengan kokoh dan megah di atas sandi yang menjadi landasan dasarnya. Rumah adat Buton atau Buton merupakan bangunan di atas tiang, dan seluruhnya dari bahan kayu. Bangunannya terdiri dari empat tingkat atau empat lantai. Ruang lantai pertama lebih luas dari lantai kedua. Sedangkan lantai keempat lebih besar dari lantai ketiga, jadi makin ke atas makin kecil atau sempit ruangannya, tapi di lantai keempat sedikit lebih melebar. Seluruh bangunan tanpa memakai paku dalam pembuatannya, melainkan memakai pasak atau paku kayu. Tiang-tiang depan terdiri dari 5 buah yang berjajar ke belakang sampai delapan deret, hingga jumlah seluruhnya adalah 40 buah tiang. Pada bangunan Malige terdapat 2 macam hiasan, yaitu ukiran naga yang terdapat di atas bubungan rumah, serta ukiran buah nenas yang tergantung pada papan lis atap, dan di bawah kamar-kamar...