Lebaran hadir sekali setahun menyatukan kerabat yang terpisah jarak. Dari rantau, pulang ke kampung halaman membawa rindu. Kasarawi, festival rakyat yang mengumpulkan kangen anak-anak Pulau Makasar di Baubau Sulawesi Tenggara (Sultra).
Akhirman, Baubau
Tahun ini, H Sarifuddin bahagia sekali bisa lebaran lagi di kampung halamannya, di Pulau Makasar (Puma), Baubau. Sudah lama, pria itu menetap dan membangun rumah tangga di Flores, Nusa Tenggara Timur. Seingatnya, terakhir kali ia ikut salat Idul Fitri di Puma, dua tahun lalu. Bila pun pernah pulang, bukan saat lebaran.
“Banyak kawan-kawan masa kecil saya yang juga pulang ternyata. Makanya, saya senang bisa kumpul dengan keluarga besar di Puma plus bertemu kawan-kawan lama,” kata lelaki yang bekerja sebagai pegawai di Kota Kendari ini. Kebahagiaannya kian lengkap karena para tetua kampung berinisiatif menggelar sebuah festival bernama Kasarawi, pesta berkumpulnya para perantau.
Dalam hitungan penyelenggaranya, festival ini digelar jelang akhir Ramadan hingga beberapa hari usai lebaran. Kamis (22/6) lalu, hajatan ini diawali dan dipusatkan di Lapangan Kelurahan Sukanayo, Kecamatan Kokalukuna, Puma. Sebuah panggung sederhana dibangun di tengah lapangan. Orang lokal melabeli acara itu dengan Kasarawi atau Pokemba yang dalam lisan Buton diartikan, mengundang orang jauh maupun dekat untuk berkumpul membangun negeri.
“Masyarakat Buton khususnya Puma banyak yang merantau. Makanya kita berinisiatif menggelar event Festival Kasarawi sebagai wadah untuk berkumpul kembali bersama mereka yang dari rantau guna mengenang kembali masa lalunya ketika berada di kampung halaman,” kisah Junaidin, yang dipercaya jadi ketua panitia festival itu kepada jurnalis Kendari Pos yang berkunjung ke Pulau itu, empat hari lalu.
Senin (3/7) lalu, Festival Kasarawi dituntaskan. Selama beberapa hari dihelat, beragam kegiatan dipentaskan juga ada yang dilombakan. Ada kegiatan seni musik, religi, permainan tradisional hingga ritual budaya masyarakat. Seluruhnya ditampilkan dalam satu event. Makanya rangkaian kegiatannya di mulai sejak Ramadan dan baru tuntas lima hari lalu.
Rangkaian kegiatan dibagi dalam beberapa kelompok acara. Misalnya, enam hari pertama, ada lomba dangdut Kasarawi yang diikuti beberapa daerah Kabupaten/Kota di Sultra mulai dari Kota Kendari, Buton, Buteng, Busel, Kota Baubau dan Muna. Kemudian diawal Ramadan diisi pembekalan ilmu agama, lalu 10 hari ramadan diisi lomba kegiatan keagaman. Seluruhnya, diselingi dengan berbagai permainan tradisonal rakyat.
“Selama event di gelar, tercatat ada 45 permainan tradisional rakyat yang kita pentaskan. Beberapa diantaranya seperti, pease, bulugila, kaukau, kaodaoda dan masih banyak lagi. Tujuanya, untuk mengenang kembali permainan tradisional masa lampau sekaligus menghidupkanya kembali, karena suda mulai tergusur zaman,” terang Junaidin.
Setelah Idul Fitri, tepatnya, Senin (3/7) 2017 menjadi puncak kegiatan Festival Kasarawi. Sekitar pukul 09.30 Wita, ratusan masyarakat hadir dan memadati lapangan Sukanayo. Sebagian besar dari mereka membawa talang haroa dan menempati tenda yang telah disediakan memajang di sisi lapangan.
Gubernur Sultra, Nur Alam diundang dan berkesempatan hadir. Ia datang ke Puma bersama istri, Tina Nur Alam dan didampingi Walikota Baubau, AS Tamrin. Beberapa tokoh masyarakat atau pemangku adat Puma juga bergabung dan duduk berdampingan bersama unsur pemerintah. Klimaksnya acara ditandai saat seorang tokoh adat mengambil sebuah wadah yang berisi air yang kemudian dibacakan doa. Air itu dipercaya bisa menjadi sarana penyembuhan penyakit bagi anak-anak yang dalam tradisi masyarakat Puma disebut bosu-bosu (pengobatan dengan air). Setelah proses ritual itu dilakukan, sekira 70 anak dengan mengenakan sarung adat atau tenun mengambil tempat. Mereka dimandikan dengan disaring menggunakan daun kelapa muda atau janur kuning.
“Bosu-bosu ini adalah tradisi pengobatan yang telah dilakukan sejak zaman dahulu dan dipercaya untuk mengobati bisul-bisul dan deman anak. Ini adalah warisan dari leluhur yang saat ini sudah mulai terkikis zaman. Terbukti banyak masyarakat khususnya generasi muda yang tidak tahu dan mempertayakan tradisi ini. Makanya, dalam festival ini kita coba angkat kembali dengan menggelarnya secara masal,” ucap Junaidin.
Diatas panggung itu, tepat dihadapan Gubernur dan Walikota serta unsur Muspida dan para pemangku adat, telah tersedia talang haroa masing-masing. Itu berisi aneka makanan tradisonal khas Buton, yang diperuntukan bagi mereka sebagai jamuan makan siang atau pekandekandea dalam bahasa Buton.
Di tengah-tengah para tetamu, sebuah talang raksasa yang bentuknya menyerupai tower 5.000 liter dengan tinggi sekira 1,30 meter berdiri. Di sisinya ada berbagai makanan tradisional dikaitkan. Sebelum Pakande-kandea dimulai, para tokoh adat terlebih dahulu melakukan pembacaan doa, dengan mengambil tempat duduk tepat di hadapad unsur pemerintah.
“Ini adalah sesuatu yang patut mendapatkan apresiasi dari pemerintah. Event ini mencatat rekor karena kalau biasanya sebuah festival umumnya hanya dilaksanakan satu sampai dua minggu, tetapi Kasarawi Puma digelar sampai 45 hari. Ini luar biasa. Kedepan event seperti ini harus terus dipertahankan untuk kelestarian budaya dan tradisi mastarakat,” puji Nur Alam.
Uniknya, kegiatan ini terlaksana berkat kemauan tinggi dari seluruh masyarakat Puma. Baik yang ada atau menetap di Puma maupun yang berada di perantauan saling bahu-membahu menysukseskan kegiatan. “Masing-masing memberikan bantuan dan subangsih yang berarti sehingga kegiatan Festival. Baik pikiran, tenaga, makanan/talang haroa hingga uang tunai. Modal acara ini hanya Rp 3.440.000 hingga selesai. Seluruhnya dari swadaya masyarakat,” kata Junaidin lagi.
Nantinya, ada atau tanpa dukungan pemerintah, kegiatan tersebut akan tetap dilaksanakan. Hanya saja, tidak bisa setiap tahun karena para perantau tidak mungkin pulang setiap tahun. “Mungkin kita gelar dua tahun atau tiga tahun sekali. Supaya ini bisa menjadi semangat masyarakat perantauan untuk pulang kampung,” pungkas Junaidin.
Sumber: https://www.kompasiana.com/chsabara/552e14036ea8347a348b4574/berseluncur-di-atas-ilalang-pasosso-permainan-masa-kecilku-di-kendari
#SBJ
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja
Jembatan Plunyon merupakan bagian dari wisata alam Plunyon-Kalikuning yang masuk kawasan TNGM (Taman Nasional Gunung Merapi) dan wisatanya dikelola Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) setempat, yaitu Kalikuning Park. Sargiman, salah seorang pengelola wisata alam Plunyon-Kalikuning, menjelaskan proses syuting KKN Desa Penari di Jembatan Plunyon berlangsung pada akhir 2019. Saat itu warga begitu penasaran meski syuting dilakukan secara tertutup. Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan zoom-in-whitePerbesar Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan "Syuting yang KKN itu kebetulan, kan, 3 hari, yang 1 hari karena gunungnya tidak tampak dibatalkan dan diu...
Goa Jepang yang berada di kawasan wisata Kaliurang ini merupakan salah satu goa buatan peninggalan pada masa penjajahan Jepang. Goa yang dibangun pada tahun 1942-1945 ini merupakan tempat perlindungan tentara Jepang dari para tentara sekutu pada masa itu. Goa Jepang di Kaliurang ini memang memiliki fungsi yang berbeda dengan Goa Jepang di daerah Berbah yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan senjata dan bom. Goa yang terletak di Bukit Plawangan ini memiliki 25 goa buatan yang satu sama lain memiliki ruang penghubung masing-masing. Sebelum menuju goa ini, dari pintu masuk Nirmolo, pengunjung harus berjalan melalui jalan setapak terlebih dahulu kurang lebih 45 menit. Setelah sampai di area Goa Jepang, pengunjung akan dipandu oleh pemandu wisata yang akan dengan senang hati menjelaskan sejarah dan cerita mengenai goa jepang ini. Dengan dijelaskannya sejarah mengenai seluk beluk goa jepang, para pengunjung pun selain menikmati wisata sejarah, diharapkan juga mendapat pengetahuan leb...