Kenangan masa kanak kanak, sering kali membuat kita terasa ingin mengulang kembali saat saat indah penuh keceriaan bermain bersama teman teman waktu kecil dulu, dunia anak anak dunia penuh ekspresi, persahabatan dan hanya keceriaan tanpabatas batas golongan atau kelas strata sosial. Begitulah kami dulu anak anak dari kota kecil di Kendari yang menikmati dunia kanak kanak kami dengan permainan permainan “tradisional”, maklum permainan yang berbau teknologi seperti game on line atau Play Station sekarang ini di jaman kami dulu itu belum ada, kalaupun ada jenis jenis permainan yang “berteknologi” namun itu hanya terbatas pada teman teman anak orang mampu saja namun secara umum kami semua dan termasuk anak orang mampu lebih menikmati permainan tradisional seperti main enggo lari atau enggo sembunyi, main asin (gobak sodor), main cele (main benteng), main tar tar pakai sodokoro (senjata bambu dengan peluru bunga jambu air atau kertas yang dibasahi) main dende, main cukke (bahasa jawa Bhentik), main kelereng serta layangan dan lain sebagainya.
Namun ada satu permainan kami yang sangat seru dan sangat membekas dalam kenangan yakni permainan pasosso’ atau dalam bahasa indonesianya prusutan atau berseluncur, namun pasosso’ yang kami mainkan ini berseluncurnya di atas rumput alang-alang atau ilalang. Permainan pasosso’ ini merupakan permainan anak-anak di Daerah kami di Sulawesi Tenggara yang di wilayahnya yang berbukit-bukit banyak ditumbuhi oleh rumpun ilalang Saking senangnya kami bermain pasosso’ ini sampai-sampai ada diantara kami yang bolos sekolah, karena kami main pasosso’ ini siang hari maka teman yang kebetulan sekolah siang akan membolos sekolah, yang kemudian asyik bermain hingga magrib tiba bahkan kadang sampai gelap baru kami berhenti bermain.
Bermain pasosso’ ini kami lakukan di sebuah bukit kecil di belakang kompleks perumahan tempat kami tinggal, bukit setinggi 30 – 40 meter dengan kemiringan 45º yang ditumbuhi ilalang, pada musim musim tertentu ketika rumput ilalang ini cukup lebat, maka kami anak anak kompleks beramai-ramai mulai membuat landasan seluncur dengan cara merebahkan rumpun rumpun ilalang searah dari puncak bukit menuju bawah bukit, ini kami lakukan dengan kompak dan penuh canda dan tawa merebahkan ilalang yang setinggi dada kami, rasa gatal akibat goresan ilalang tidak kami pedulikan yang penting landasan seluncur dapat segera selesai kami buat, setelah rumput ilalang telah rata kami rebahkan, selanjutnya kami menyisir landasan seluncur untuk mencari dan membersihkan landasan dari kayu kayu atau ranting-ranting serta batuan yang dapat membahayakan saat kami meluncur, membuat landasan ini biasanya memerlukan waktu dua hari sampai landasan seluncur siap untuk kami pakai berseluncur.
Oh iya alas seluncur yang kami pakai secara tradisional biasanya adalah pelepah daun kelapa atau pinang, namun karena di kompleks kami jarang atau sulit mendapatkanya maka kami harus mencari akal dan memutar otak untuk mencari ide-ide atau inovasi bahan alas apa yang bisa kami gunakan, yang pastinya bahan alas itu harus dapat meluncur dengan cepat, kuat atau tahan lama, nyaman dan mudah dikendalikan, dan umumnya kami mengantinya dengan kantong bekas semen atau jerigen air bekas ukuran 20 liter yang kami belah dua. Untuk mendapatkan bahan bahan itu biasanya kami bergerilya ke proyek proyek bangunan untuk mencari kantong bekas semen demikian pula jerigen bekas yang sudah rusak kami cari di tetangga, pokoknya semua bahan yang kami pakai adalah bahan bekas yangtak perlu dibeli. Alas seluncur ini kami pakai dengan cara duduk diatasnya dan berpegang pada ujung depan alas seluncur sebagai pengendali.
Asyiknya bermain pasosso’ atau berseluncur di atas ilalang ini, memberi sensasi keseruan serta ketegangan dimana kecepatan meluncur dari ketinggian dan lintasan luncur sepanjang kira-kira 50 – 60 meter, dengan medan yang bergelombang, belum lagi di sebelah kiri lintasan ada jumpingan setinggi hampir satu meter, yang dengan sedikit nyali apabila kita jumping akan mendarat dengan sedikit keras dan berguling-guling yang walaupun terasa sakit bahkan sampai terkilir atau lecet tidak membuat kami kapok, kami hanya tertawa-tawa sambil dengan terpincang-pincang menahan sakit terus berlari membawa alas seluncur kembali naik ke bukit untuk terus meluncur lagi, kami kadang berlomba siapa yang paling laju berseluncurnya, karena landasan seluncur tidak begitu lebar maka kami berseluncur biasanya bergiliran untuk menghindari saling tabrak. Namun kadang dalam bermain seluncur ini ada juga kawan yang iseng dengan mengikat atau menyimpul ilalang sehingga jika ada teman yang tidak melihat simpul itu dan melewatinya pastilah akan terguling dari seluncurannya dan akan menjadi bahan tertawaan teman-teman yang lain. Bermain seluncur atau pasosso’ ini selain menguras tenaga karena harus naik turun bukit, juga membutuhkan keberanian serta kelincahan dalam mengendalikan seluncuran, juga semangat dan tolong menolong jika ada teman yang terjatuh, begitulah dengan bermain seluncuran ini kami anak anak Kompleks Perumahan Tumbuh, baik yang dari kalangan biasa maupun anak-anak orang yang berada selalu dalam kekompakan dan persahabatan yang kental diantara kami, yang kenangannya masih membekas sampai sekarang ini lebih dari 30 puluh tahun lalu.
Main seluncuran ini biasanya hanya berlangsung selama 2 atau 3 minggu saja karena rumput ilalang yang jadi landasan seluncur akan mengering dan mati, maka kami akan kembali mencari permainan lainnya dan menunggu tahun berikutnya sampai ilalangnya cukup tinggi dan lebat, namun sekarang seiring dengan perkembangan kota lokasi tempat kami dulu bermain pasosso’ ini sudah lama hilang, begitu juga dengan jenis jenis permainan tradisional lainnya yang sering kami mainkan dulu, dan generasi generasi setelah kami hanya dapat mengetahuinya lewat cerita-cerita kami. Padahal ragam permainan tradisional yang sering kami mainkan dulu begitu dalam mengandung arti dan pesan filosofis bagi anak anak.
Ketika saya membaca Kompasiana mengadakan kompetisi blog eksplorasi permainan tradisional bersama kemenparekraf melalui Indonesia Travel ingatan seru saya langsung kembali pada keseruan dan keceriaan masa lalu saat bermain pasosso’. Walaupun bermain pasosso’ di atas ilalang ini saat sekarang sudah sangat jarang namun saya berharap agar permainan ini bisa sekali sekali dimasyarakatkan melalui rangkaian permainan outbond, di daerah kami di sekitar Kendari dan juga di Indonesia masih bisa kita temui bukit-bukit landai dengan padang ilalang di atasnya, saya yakin ini akan sangat menarik dan menantang dengan mendesain lintasan luncur sesuai keinginan. Kalau di Eropa sana mereka berseluncur di atas salju maka kami di Kendari dan Sulawesi Tenggara berseluncur di atas ilalang.
Melestarikan ragam budaya nusantara termasuk permainan permainan tradisional anak anak nusantara yang merupakan kearifan lokal masyarakat kita merupakan wujud rasa cinta tanah air, wujud nasionalisme kita, dan tidak itu saja semoga segala kekayaan budaya tradisional kita dapat terus lestari dan diperkenalkan ke dunia internasional sebagai bagian dari industri pariwisata kita melalui Indonesia Travel dan Kemenparekraf.
Sumber: https://www.kompasiana.com/chsabara/552e14036ea8347a348b4574/berseluncur-di-atas-ilalang-pasosso-permainan-masa-kecilku-di-kendari
#SBJ
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja